Peristiwa hijrah itu terjadi pada Hari Sabtu 1 Muharram 1394 H , bertepatan dengan 26 Januari 1974. Tempat yang dituju adalah sebidang tanah yang berdekatan dengan rumah seorang tua bernama Puang Pani, ditemukan Syahyuddin, salah seorang santri di tempat ketinggian di Karang Rejo. Di tempat itu membangun gubuk-gubuk kecil dua buah. Di sekitar tempat itu hanya terdapat tiga buah rumah. Sehingga suasananya sangat sepi. Sangat berbeda dengan tempat yang baru ditinggalkan. Kalau di tempat Pak Haji segalanya serba ada. Untuk Ustadz Abdullah Said yang sekaligus sebagai menantu yang disayangi tiap hari disuguhi susu dan telur.
Lain halnya di tempat yang baru ini, semua serba sulit. Apalagi dari segi makanan. Orang tua yang berdekatan dengan gubuk yang ditempati itu yang sering merebuskan singkong lalu diantarkan. Mungkin karena kasihan melihat keberadaan anak-anak muda ini. Orang tua itu tidak pernah juga menanyakan keberadaan anak-anak muda ini. Mungkin karena melihat anak-anak muda ini selalu shalat dan membaca Al-Qur’an sehingga yakin bahwa pasti anak-anak ini adalah orang baik-baik. Serba kekurangan yang dirasakan itu mengandung hikmah yang besar. Karena santri dianjurkan melaksanakan puasa Daud. Puasa yang sudah lama dikenal namun baru kali ini dilaksanakan. Hikmah lain yang terasa adalah ketenangan jiwa dan kemudahan menyerap pelajaran.
Santri-santri yang dekat rumahnya seperti Hasan Suradji dan Soewardhany Soekarno ini yang sering pulang ke rumah lalu membawa apa saja yang dapat dimakan kawan-kawan yang tinggal di gubuk.
Selama satu tahun di tempat itu memang lebih banyak puasanya dari makannya. Terkadang puasa tanpa sahur dan bukanya biasanya turun dari gunung mencari rumah simpatisan untuk ditempati berbuka. Santri-santri yang menetap di tempat ini adalah, Abdul Qadir Jailani, Hasan Suradji, Usman Asy’ari, Soewardhany Soekarno, Muis Zubair, Marzuki Latief, Amin Palese. Santri-santri yang lain tetap di rumahnya dan pada waktu-waktu belajar datang ke tempat itu sambil membawa makanan untuk dinikmati teman-teman. Abdul Qadir Jailani, Hasan Suradji dan Usman Asy’ari yang sering ditugaskan mencari bahan makanan kalau persediaan untuk santri-santri telah habis. Pembimbing-pembimbing seperti Ustadz Hasyim Hs, walaupun di tempatkan di rumah Pak Jaksa Mukhtar namun lebih banyak berada di gubuk bersama kawan-kawan seperjuangan. Demikian juga pembimbing –pembimbing lainnya.
Dari segi pembinaan, Ustadz Abdullah Said yang tidak pernah kenal lelah dan tanpa mengenal waktu didalam melakukan pengkaderan, tempat tinggal yang sesedarhana itu tidak menghalanginya untuk memberi pelajaran, bimbingan dan motivasi perjuangan agar santri-santri jangan kehilangan fighting spirit (semangat juang) sebagai modal paling berharga.
Selama 11 bulan lamanya di tempat itu yakni dari Muharram hingga Dzul Hijjah, banyak mendapatkan kekayaan rohani yang sulit terlupakan sepanjang masa. Karena cukup banyak memberi goresan rohani, menumbuh suburkan jiwa jihad dan menajamkan cita-cita.
Dalam sebuah coretan yang dibuat setelah berada di Gunung Tembak tahun 1976, yang bertajuk Sekelumit Kissah di Celah-celah Kehidupan di Pondok Pesantren Hidayatullah, Ustadz bdullah Said menulis:
Alhamdulillah tahun pertama berhasil dilalui dengn selamat. Untuk mendapatkan nafas baru dan semangat baru, dioraklah langkah untuk hijrah pertama meninggalkan Gunung Sari menuju Karang Rejo pada tanggal 1 Muharram 1394 H. Disana, di Karang Rejo, di tempat ketinggian yang jauh dari keramaian, sedikit agak terpencil karena disekitarnya tidak lebih dari tiga buah rumah saja. Mulanya semacam berkemah dibawah pohon-pohon.
Karena tempat samasekai belum ada, sambil memulai mendirikan gubuk-gubuk dibawah sederhana berukuran 2m x 3m, bahannya dari kayu pungutan. Sifatnya tentu saja sekedar tempat bernaung dikala hujan. Sebab kalau hari panas anak-anak lebih senang dibawh pohon saja dengan mengahamparkan tikar dan alang-alang. Itu sudah cukup baginya. Untuk menyambung hidup digunakan watas tanah pinjaman untuk menanam singkong. Tetangga sebenarnya cukup merana, tapi karena iba dan prihatin melihat keadaan para santri yang demikian itu nasibnya, singkongnya yang sudah jadi yang ada disekitar gubuk santri sekali-sekali disumbangkan.
Pada ujung tulisan yang dibuat Ustadz Abdullah Said itu berisi puisi yang berbunyi:
Inilah tantangan yang harus kita jawab sekarang dan besok,
Mampukah kita mempertahankan apa yang telah dicapai kini?
Dan mampukah kita meningkatkannya dihari mendatang?
Mari kita jawab dengan prakatek dan kenyataan.
Selamat berjuang di alam realita,
Tidak di alam cerita.
Selamat bertemu di alam kenyataan,
Tidak di alam pernyataan.
Tulisan yang tertera dalam sebuah diktat stensilan ini mengingatkan kepada santri-santrinya agar mengantisipasi perjalanan ke depan. Ustadz Abdullah Said telah membayangkan bahwa setelah hijrah pertama ke Karang Rejo lalu pindah ke Karang Bugis yang mulai menampakkan cakrawala baru dengan adanya tempat berpijak dan pendukung yang semakin bertambah, berarti kemajuan dan sekaligus tantangan segera akan disongsong.