“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang disesatkan-Nya dan sekali-kali mereka tidak mempunyai penolong.” (An-Nahl 37).
Para ahli tafsir sepakat bahwa yang dituju ayat di atas adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam (SAW). Beliau, menurut ayat di atas menyimpan keinginan keras dan hasrat yang kuat agar umatnya hidup dalam naungan hidayah Allah Shubhanahu Wa Ta’ala (SWT). Beliau sangat merindukan kehidupan yang damai, semua yang ada di muka bumi tunduk patuh dan taat pada aturan dan kehendak Ilahi.
Sama halnya dengan Nabi SAW, para dai, dan mujahid Islam juga memendam keinginan yang sama. Mereka berkeinginan agar kaum Muslimin saat ini dapat menjalankan syariat agamanya dengan baik, tanpa gangguan dan rintangan. Mereka juga berhasrat kuat agar kekuasaan yang ada di muka bumi menjadi instrumen ilahiyah untuk menjalankan perintah dan larangan-Nya.
Inilah kerja para dai, muballigh, dan guru agama. Mereka bahagia jika manusia menjalankan perintah agama dengan baik. Sebaliknya, bersedih jika melihat manusia menentang agama, melanggar syariah-Nya. Siang malam mereka bekerja dan berdoa agar Islam dapat menyebar sebagai rahmat kepada seluruh alam.
Para dai yang bekerja keras menyebarkan ajaran Islam tanpa digaji pemerintah ini pantang menyerah menghadapi medan yang sangat berat. Hanya dengan bekal keikhlasan dalam beramal, mereka menelusuri jalan dakwah dengan semangat berapi-api. Dalam jiwanya ada gumpalan kehendak untuk menyebarkan hidayah Islam kepada segenap manusia. Tidak ada yang bisa mengerem, apalagi menyetop sama sekali.
Sesekali para dai dan mujahid dakwah itu boleh marah bercampur kecewa setelah melihat ada persekongkolan jahat untuk menggagalkan gerakan dakwah. Sesekali mereka boleh hampir putus asa ketika mengetahui para penguasa, para pengambil kebijakan, dan para tokoh yang dipercayainya justru menjalin kerja sama jahat untuk mencundangi Islam.
Perasaan yang sama sesungguhnya telah dialami oleh para nabi dan rasul. Bahkan, dalam al-Qur`an banyak didapati keterangan tentang kesedihan dan kemarahan Rasulullah SAW. “Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.”(Asy-Syu’araa 3).
Tentu saja, ledakan kemarahan dan kesedihan itu tidak boleh ditumpahkan dalam bentuk aksi yang merusak dan perbuatan yang mengancam keselamatan orang banyak. Kita boleh marah dan bersedih hati, bahkan hampir putus asa, tapi kita wajib tetap bisa mengendalikan diri.
Bahkan kalau bisa, hilangkan perasaan marah, sedih hati, atau kecewa. Tanamkan dalam diri sendiri bahwa pemilik agama Islam itu adalah Allah SWT. Dia berkuasa untuk menjaganya, bahkan tanpa bantuan siapa pun juga. Tugas kita hanya berdakwah, menyampaikan kebenaran kepada manusia selebihnya, hasilnya serahkan kepada Allah SWT.
Jangan bersedih atas ulah dan perbuatan mereka. Allah berfirman, “Maka janganlah kamu bersedih terhadap orang-orang kafir itu.” (Al-Maaidah :68).
Sebagai dai dan mujahid kita tidak boleh larut dan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan kepatus asaan. Kita harus sadar bahwa langkah perjuangan kita bukan hanya hari ini dan untuk hari ini. Dakwah itu untuk Jangka panjang. Jika hari ini belum berhasil, biarlah anak cucu kita yang melanjutkan. Itulah ladang dakwah dan perjuangan mereka.
Hidayatullah sebagai wadah bergabungnya para dai menyadari sepenuhnya hal tersebut. Untuk itu, sejak awal Hidayatullah menegaskan dakwahnya dengan mengikuti manhaj nabawi, suatu metode berdakwah yang mengikuti cara-cara nabi, yang sistematis, berjenjang, bertahap, dan berkelanjutan. Wallahu a’lam bish-shawab..
(Pimpinan Umum Hidayatullah Ustadz Abdurrahman Muhammad )