
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam denyut kehidupan ibu kota yang serba cepat, masih ada ruang kecil yang menyimpan harapan akan lahirnya generasi Qur’ani. Di tengah kesibukan warga Jakarta yang tiada henti, muncul inisiatif pendidikan berbasis Al-Qur’an yang berangkat dari realitas sosial.
Usut punya usut, ternyata kendala utama bukanlah kemalasan, melainkan beban biaya hidup. Sebagian besar warga di pinggiran Jakarta tak sanggup menyisihkan uang untuk membiayai anak mereka belajar mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) yang berbayar.
Keterbatasan ekonomi menjadi tembok tebal yang menghalangi mereka dari pendidikan agama. Berangkat dari kondisi itulah, para dai memutuskan untuk bertindak. Mereka tidak ingin melihat “bibit-bibit” generasi muda layu sebelum berkembang.
Dari keprihatinan tersebut lahirlah gagasan mendirikan Rumah Qur’an, sebuah gerakan pendidikan Al-Qur’an gratis yang terbuka bagi anak-anak dari keluarga sederhana.
Nama ini dipilih untuk menggambarkan cita-cita membumikan Al-Qur’an di setiap permukiman. Sejak awal 2018, Rumah Qur’an As Shamad berdiri di Kelurahan Malaka Sari, Duren Sawit, sebagai jawaban nyata atas kebutuhan masyarakat.
Banyak anak-anak usia sekolah dasar tenggelam dalam permainan. Padahal, menurut mereka, waktu sore hingga malam bisa menjadi kesempatan berharga untuk menanamkan kecintaan pada Al-Qur’an.
Seiring waktu, Rumah Qur’an As Shamad menjelma menjadi oase pendidikan yang memberi harapan. Program ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat karena mampu memecahkan masalah yang selama ini membelenggu seperti akses terbatas anak-anak terhadap pendidikan agama.
“Keberadaan Rumah Qur’an ibarat jawaban doa banyak orang tua,” kata salah satu pengajar. Saat ini, lembaga ini telah melahirkan lebih dari 50 santri yang menempuh jalan Qur’an.
Dua guru menjadi penggerak utama yang setia mendampingi anak-anak. Mereka adalah Ustadz Adam Sukiman dan Ustadzah Deuis Nur Aprianti. Dengan bimbingan penuh kesungguhan, sejumlah santri berhasil menorehkan capaian menghafal. Ada yang menamatkan satu juz, bahkan ada pula yang menyelesaikan dua juz Al-Qur’an.
“Saat ini, ada 23 santri dari berbagai usia—dari SD hingga SMP—yang aktif belajar,” terang Ustadz Adam. Aktivitas belajar biasanya berlangsung di teras rumah warga atau balai pertemuan yang disulap menjadi ruang belajar sederhana, namun penuh semangat.
Metode pengajaran yang diterapkan bersifat sederhana, namun hasilnya nyata. “Semua ini berkat dukungan penuh Laznas BMH Jakarta,” ujarnya.

Dukungan tersebut tidak hanya berupa motivasi, melainkan juga bantuan nyata. BMH menyalurkan sembako, kafalah dai, serta wakaf Al-Qur’an. Bantuan tersebut meringankan beban sekaligus meningkatkan motivasi para santri.
Selain sebagai wadah pendidikan, Rumah Qur’an As Shamad hadir juga sebagai cermin solidaritas umat. Dari sini terlihat bagaimana keterbatasan dapat diatasi melalui kepedulian kolektif.
Di tengah keterhimpitan biaya hidup masyarakat pinggiran kota, program ini menegaskan bahwa akses terhadap pendidikan Al-Qur’an adalah hak setiap anak, bukan hanya mereka yang mampu secara finansial.
Dengan langkah sederhana, Rumah Qur’an As Shamad telah menanamkan benih harapan. Dari teras rumah dan balai warga, lahir generasi baru yang tumbuh dengan cahaya Al-Qur’an.






