
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) – Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Hidayatullah (GMH), Rizki Ulfahadi, menyampaikan kecaman terhadap stasiun televisi Trans7 menyusul penayangan program yang dinilai menyudutkan pesantren. Rizki mengungkapkan keprihatinan mendalam atas dampak siaran tersebut terhadap institusi pesantren dan figur kiai serta santrinya di tanah air.
Rizki menjelaskan bahwa pihaknya menilai tayangan itu melampaui batas etika penyiaran dan berpotensi mencederai kehormatan lembaga keagamaan.
“Mengecam keras penayangan program di Trans7 yang dianggap tidak beretika, menyudutkan pesantren, serta mencederai marwah kiai dan santri di seluruh Indonesia,” kata Rizki dalam keterangannya pada Rabu, 23 Rabi’ul Akhir 144 (15/10/2025).
Pernyataan tersebut menjadi inti dari sikap GMH yang menyebut tindakan itu sebagai serangan tidak hanya terhadap lembaga pesantren tertentu, tetapi terhadap citra lembaga pendidikan Islam secara kolektif.
Rizki menekankan bahwa pesantren selama ini ditempatkan sebagai poros moral dalam masyarakat, dan oleh karena itu penghinaan terhadapnya merupakan serangan terhadap nilai-nilai pendidikan keagamaan.
Lebih jauh, Rizki memaparkan posisi strategis pesantren dalam struktur moral dan pendidikan bangsa. “Pesantren adalah benteng moral dan peradaban bangsa menistakannya sama dengan meruntuhkan nilai luhur pendidikan umat,” katanya.
GMH melihat pesantren sebagai institusi yang memiliki fungsi krusial tidak sekadar dalam ranah keagamaan, tetapi juga sebagai unsur pembentuk karakter bangsa. Apabila penghinaan terhadap pesantren dibiarkan, maka akan bermakna retaknya nilai inti pendidikan keagamaan yang telah dijaga selama ini.
Tidak berhenti pada kritik moral, Rizki juga menuntut tindakan konkret dari lembaga penyiaran dan aparat penegak hukum. “Kami mendesak KPI dan aparat berwenang untuk menindak tegas sesuai dengan UU yang berlaku,” tekannya.
GMH menuntut agar kasus semacam itu tidak hanya diperingatkan secara moral atau publik, melainkan direspon melalui mekanisme regulasi penyiaran dan ranah hukum sesuai norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, jelas Rizki, tidak ada unsur impunitas terhadap pelaku penyiaran yang dinilai melanggar nilai dan tatanan etika keagamaan.
Sikap GMH ini muncul di tengah polemik yang melibatkan Trans7 dan program “Xpose Uncensored”, di mana potongan tayangan yang dianggap menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo dan figur kiai menjadi pemicu kritik luas dari berbagai pihak.
Media dan tokoh keagamaan telah ramai menyuarakan dukungan atas tuntutan agar KPI bertindak tegas. Kontroversi ini juga memicu desakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang meminta agar KPI memberikan sanksi terhadap Trans7 karena dianggap telah menayangkan konten yang tidak seimbang dan tendensius.
Selain itu, sejumlah organisasi politik dan keagamaan bersiap melakukan aksi protes terhadap stasiun televisi tersebut. Dalam kerangka regulasi, Rizki menilai, tanggung jawab KPI sebagai lembaga pengawas penyiaran menjadi hal mendasar.
Rizki menggugah agar komisi tersebut tidak tinggal diam menghadapi penyiaran yang dianggap menyimpang dari standar etika. Ia sekaligus meminta agar aparat terkait melakukan penyelidikan bila ditemui unsur pelanggaran hukum dalam produksi maupun distribusi siaran.
Kejadian ini bermula dari tayangan program yang memuat potongan-potongan wawancara, narasi, atau unsur editorial yang dianggap tidak berimbang dan kurang sensitif terhadap tradisi pesantren.
Publik bereaksi terhadap kesan bahwa narasi itu sengaja dibuat agar tampil provokatif dan merendahkan institusi pesantren. Kritik pun melebar ke ranah etika jurnalistik, verifikasi, dan tanggung jawab media terhadap dampak sosial.
Menurut Rizki, kasus ini bukan semata persoalan media melainkan cerminan terhadap kondisi ruang publik dan penghormatan terhadap lembaga pendidikan keagamaan.
“Jika tidak ada langkah tegas dari lembaga terkait, maka kewenangan moral pesantren akan tergerus dan publik akan membiarkan lembaga pendidikan keagamaan menjadi bahan sensasi media,” tandas Rizki seraya mewanti-wanti.






