AdvertisementAdvertisement

Menangis Keras karena Kader Penggembala Sapi Meninggal Dunia

Content Partner

JIKA orang menangis karena sebuah tayangan film, maka itu hal biasa. Tetapi, kalau ada orang menangis karena meninggal dunianya orang yang tak banyak orang lirik, di situ tentu ada satu hal luar biasa.

Hal ini pernah menjadi perjalanan hidup Ustadz Abdullah Said membangun pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan.

Hal itu seperti dikurasi Ustadz Masykur Suyuti dari ceramah Ustadz Abdullah Said Rahimahullah kala mengisi Kuliah Malam Jumat di Karang Bugis, Balikpapan, pada Mei 1982:

“… Maaf kami tidak memuji diri tetapi sekadar secercah pengakuan sebagai tanda syukur kepada Allah. Saya belum pernah menangis sebagaimana tangis saya kemarin, pada waktu seorang santri yang ditugaskan menggembala sapi meninggal dunia.

Pada waktu ayah saya meninggal dunia, saya tidak meneteskan air mata. Dikala kakak saya meninggal dunia juga saya tidak menangis.

Kenapa sampai pada waktu santri yang menggembala sapi meninggal dunia kemarin, mulai dari shalat Shubuh hingga diantar dan tiba di kuburan sampai selesai dikuburkan, belum pernah saya menangis sekeras itu.”

Totalitas dalam Melayani Tamu

Menangis dan berduka dapat dianggap sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan atas kontribusi seseorang terhadap nilai suci, moral dan perjuangan.

Dengan merasakan kesedihan yang mendalam, seseorang mungkin merasa bahwa mereka memberikan penghormatan yang pantas kepada yang meninggal.

Penggembala sapi itu adalah kader. Posisinya jelas, menggembala sapi. Tapi lihat kesan yang menggores sosok Ustadz Abdullah Said.

Dan, sepertinya Ustadz Abdullah Said merasakan hal tersebut.

Beliau pun melanjutkan ceramahnya:

“… Saya tahu betul siapa beliau, dia tidak pernah menyakiti hati saya, seingat saya dia tidak pernah melakukan kesalahan kepada saya.

Pada waktu kawan-kawan dari kota dan dari Gunung Tembak mengunjungi Gunung Binjai, pada waktu gubuk beliau ditempati bermalam oleh rombongan, beliau sibuk sekali mengurus beras, karena kebetulan persediaan berasnya habis.

Padahal beliau ingin sekali menjamu rombongan, pagi-pagi sekali lari ke pabrik penggilingan padi kemudian segera kembali ke Gunung Binjai membawa beras yang selesai digiling.

Rombongan sempat menikmati hasil jerih payahnya sebelum kembali ke tempat masing-masing.

Beliau melakukan ini sama sekali bukan mengharapkan pujian dan penghargaan dari sesama, beliau sama sekali tidak bermaksud untuk menanam jasa, tetapi adalah sekadar menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim yang kedatangan tamu.

Sebagai bukti keikhlasannya nasi dihidangkan sambil memohon maaf terus menerus atas keterlambatannya meladeni dan menjamu.

Berulang kali meminta maaf atas perlakuan yang dianggapnya satu kesalahan itu.

Inilah yang menyebabkan kami menangis karena khawatir kalau kalau karena keikhlasannya sehingga tidak sempat terbaca apa yang menjadi keinginannya.

Sehingga dengan itu kami berdosa dan sebelum kami semua meminta maaf dia telah keburu meninggal, tidak henti-hentinya berdetak dalam jiwa kami; Hanya Engkau ya Allah yang dapat mengampuni dosa kami itulah kami yang penuh kelemahan dan kealpaan…”

Perhatian Terhadap Kader

Sepintas kalau kita amati tampak sekali Ustadz Abdullah Said sangat perhatian kepada setiap kader. Tidak hanya yang melingkari kehidupan beliau sehari-hari. Yang sesekali bertemu pun jadi perhatian hatinya.

Perhatikan tutur katanya perihal bagagimana kader penggembala sapi itu berjuang maksimal mendapatkan beras dan melayani Ustadz Abdullah Said dan rombongan.

Mungkin itu biasa, tapi pada kapasitas sebagai penggembala sapi, upayanya itu jelas karena dorongan ingin menegakkan sunnah Nabi SAW, melayani tamu.

Dan, hal-hal seperti itu, bagi Ustadz Abdullah Said adalah perkara yang sangat utama, bahkan menggores memori dan hatinya, hingga beliau merasa sangat bersalah dan khawatir berdosa kepadanya.

Sebuah kisah nyata bahwa seorang pemimin tidak patut membenci anggotanya. Apalagi menjadikan orang yang di bawahnya sebagai “musuh.”

Di panggil kalau ada yang mau disuruh-suruh. Diabaikan kalau merasa tidak lagi dibutuhkan. Kader baik kalau bisa melayani dirinya. Kader buruk kalau tidak menuruti kemauannya. Na’udzubillah. Itu bukan jiwa kepemimpinan yang Ustadz Abdullah Said teladankan.

Justru teladan nyata dari Ustadz Abdullah Said, bahwa pemimpin harus memiliki kepekaan mendalam terhadap kader-kadernya.

Bahkan mesti mengenal jiwa dari setiap kadernya, walau dia mendapat amanah pada level yang dalam hukum sosial, sangat biasa-biasa saja. Di sini kita bisa lihat bagaimana manivestasi kader itu mahal dari sosok Ustadz Abdullah Said.

*) Penulis bergiat di lembaga kajian Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) | Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah 2020-2023. Publikasi pokok pokok pikiran Ustadz Abdullah Said ini atas kerjasama Media Center Silatnas Hidayatullah dan Hidayatullah.or.id dalam rangka menyambut Silatnas Hidayatullah 2023

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ya Allah Perbaiki Segala Urusanku dan Jangan Serahkan pada Diriku Sekejap Mata pun

JIKA Anda titip kepada seseorang agar dibelikan nasi goreng di suatu tempat yang cukup jauh dari rumah, apa yang...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img