
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam kajian manajemen sumber daya manusia, terdapat prinsip universal yang menyatakan bahwa semakin tinggi tawaran kompensasi sebuah pekerjaan, semakin besar pula motivasi individu untuk melaksanakannya. Prinsip ini, sebagaimana diungkapkan oleh Ustaz Akib Junaid Kahar, Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah, dapat dianalogikan dengan semangat ibadah di bulan Ramadhan.
“Orang yang berpikir normal pasti lebih termotivasi untuk melakukan sesuatu jika jelas apa keuntungan yang akan dia dapatkan,” kata Akib saat mengisi kultum tarawih di Masjid Baitul Karim, Komplek Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jalan Cipinang Cempedak, Otista, Polonia, Jakarta, Selasa, 4 Ramadhan 1446 (4/3/2025).
Dia lantas menarik analogi ini dalam konteks bulan suci Ramadhan. Bulan suci ini menawarkan berbagai keutamaan yang dijanjikan Allah SWT kepada hamba-Nya, dengan puncaknya adalah pencapaian takwa. Janji tersebut menjadi dorongan utama bagi umat Islam untuk mengoptimalkan ibadah mereka sepanjang bulan Ramadhan.
Keutamaan Ramadhan tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Akib Junaid mengemukakan bahwa tujuan utama ibadah di bulan ini adalah membawa umat menuju ketakwaan, sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT.
Namun, Akib mengajukan refleksi kritis terhadap realitas yang ada khususnya di Indonesia dan mengajak hadirin untuk mengevaluasi sejauh mana ibadah Ramadhan benar-benar menghasilkan transformasi yang diharapkan.
“Sama sekali tidak bermaksud untuk menuding atau memvonis orang per orang, tapi realitas membuktikan bahwa khusus dalam konteks Indonesia sangat patut dicurigai bahwa hasil yang diperoleh di bulan Ramadhan jauh tidak seimbang dengan janji yang ditawarkan oleh Allah SWT,” katanya.
Manifestasi Takwa
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa salah satu puncak capaian Ramadhan adalah takwa. Namun, definisi takwa acapkali menjadi kabur bagi banyak orang.
“Takwa itu seperti apa wujudnya, disinilah kemudian orang seringkali kesulitan mendefinisikan takwa yang dimaksudkan. Padahal di dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat yang menjelaskan secara rinci dan begitu mudah kita mengevaluasinya apakah kita termasuk orang bertakwa atau tidak,” katanya.
Untuk memperjelas, Akib menukil Al Qur’an surah At-Talaq ayat 2-4, yang menjanjikan berbagai ganjaran bagi orang bertakwa, yaitu siapa bertakwa kepada Allah niscaya akan diberi jalan keluar dari setiap masalahnya (wa may yattaqillaaha yaj’al lahuu makhrajaa), diberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (wa yarzuq-hu min haisu laa yaḥtasib), dicukupkan keperluannya (wa may yatawakkal ‘alallaahi fa huwa ḥasbuh), dan dimudahkan segala urusannya (yaj’al lahuu min amrihii yusraa).
Ia menegaskan bahwa ayat-ayat ini memberikan jaminan kepastian dari Allah (bahwa) siapa yang bertakwa kepada Allah itu pasti diberi jalan keluar dari setiap masalah, dilimpahi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, dicukupkan keperluannya, dan dimudahkan segala urusannya.
“Orang bertakwa itu adalah orang yang dalam kehidupannya tidak pernah bermasalah dengan urusan finansial. Ini jaminan kepastian. Wa yarzuq-hu min haisi laa yaḥtasib,” imbuhnya.
Intinya Pengendalian Diri
Lebih jauh Akib juga mengakui adanya tantangan dalam memahami korelasi ini. Penjelasan seperti ini, menurutnya, kadang juga agak sulit menemukan korelasinya antara puasa di bulan Ramadhan dan kemudian urusan jadi mudah. Padahal, tegas dia, sebenarnya sangat jelas ketersambungannya.
Kunci dari korelasi ini, menurutnya, terletak pada pengendalian diri. Ia menjelaskan, kenapa masalah menjadi rumit dan pikiran begitu berat dalam kehidupan ini, salah satu kata kuncinya itu ada pada pengendalian diri.
“Dan, inilah sesungguhnya salah satu target utama daripada ibadah puasa. Orang yang sukses ibadah puasanya otomatis dia akan mampu mengendalikan dirinya. Masalah itu muncul ketika seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya, dalam artian tidak mampu mengontrol keinginannya,” tegasnya.
Puasa selama sebulan penuh ini, katanya, diharapkan menjadi modal setiap insan beriman agar mampu mengendalikan dirinya selama sebulan penuh dan mewarnai sebelas bulan berikutnya.
Akib menjelaskan, jangan dibayangkan kemudian bahwa wa yarzuq-hu min haisu laa yaḥtasib itu diwujudkan dalam bentuk harta yang melimpah ruah. Sebab, ukuran banyak dan sedikitnya harta itu bukan pada jumlah nominalnya tapi lebih daripada apa yang menjadi kebutuhannya. “Itulah substansi dari pengendalian diri sesungguhnya,” terangnya.
Ia lalu mengaitkannya dengan Surah Al-A’raf ayat 96 yang menegaskan bahwa jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah maka pastilah akan dilimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi
“Kalau bumi ini dihuni orang beriman dan bertakwa, dalam artian mampu mengendalikan diri, maka berkah Allah Ta’ala akan turun dan orang akan merasa nikmat dalam hidup ini,” katanya.
Namun, ia kembali menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi di Indonesia. “Maka inilah yang saya katakan bahwa sangat mencurigakan di Indonesia ini bahwa setelah bulan Ramadhan berlalu berkali-kali, kok pengendalian diri itu semakin susah”.
Akib mengajak merenung apakah ibadah puasa telah benar-benar menginternalisasi nilai pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, Ramadhan, dengan segala janji dan keutamaannya, seharusnya menjadi momentum transformasi menuju takwa yang nyata—bukan sekadar ritual tahunan tanpa dampak berkelanjutan.
“Kita berharap, Ramadhan kali ini benar benar melahirkan orang orang yang mampu mengendalikan diri sehingga kenikmatan hidup terasa dan benar benar Ramadhan membawa berkah,” tandasnya. (ybh/hidayatullah.or.id)