SETIAP orang tentu tidak ingin melakukan kesalahan, apalagi harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh orang lain. Meski demikian, dalam kenyataan hidup, kesalahan tidak dapat dihindari.
Kesalahan sering kali meninggalkan dampak psikologis yang mendalam, seperti rasa malu, tidak tenang, berkurangnya kepercayaan diri, hingga stres akibat tekanan mental yang berat. Namun, apakah berbuat salah adalah sesuatu yang sepenuhnya buruk dan harus dihindari?
Kesalahan adalah bagian dari kehidupan manusia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَهُوَ ٱلَّذِى يَقْبَلُ ٱلتَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِۦ وَيَعْفُوا۟ عَنِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan Dia menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy-Syura: 25).
Ayat ini menegaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan, namun Allah Maha Penerima Taubat dan Pengampun.
Oleh karena itu, alih-alih memandang kesalahan sebagai sesuatu yang harus diratapi belaka, kita dapat memanfaatkannya sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh.
Dengan bekal ilmu dan pengalaman, kita dapat menganalisis dan merenungkan tindakan kita agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Mutiara Berharga
Bagi mereka yang berkomitmen untuk terus tumbuh, kesalahan tidak selalu berdampak negatif. Kesalahan dapat menjadi “mutiara berharga” yang membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dengan dibarengi taubatan nasuha.
Dalam setiap kesalahan terdapat pelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk perbaikan. Dengan evaluasi yang mendalam, kita dapat memahami kelemahan dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.
Ilmuan Steven Brown pernah menyatakan begini, “Pada dasarnya ada dua tindakan dalam hidup; perbuatan dan dalih. Buatlah suatu keputusan seperti halnya yang Anda terima dari diri Anda sendiri”. Pandangan Brown ini menggambarkan pentingnya bertindak berdasarkan kejujuran, tanpa dalih atau alasan yang memperburuk situasi.
Mengakui kesalahan adalah langkah awal menuju perbaikan. Sebaliknya, bersembunyi di balik dalih hanya akan menggerus kepercayaan orang lain. Ketika seseorang dengan jujur mengakui kesalahan, mereka menunjukkan integritas dan tanggung jawab. Hal ini selaras dengan hadis Nabi Muhammad SAW:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam adalah pendosa, dan sebaik-baik pendosa adalah mereka yang bertaubat” (HR. Tirmidzi)
Mengakui kesalahan juga membuka pintu menuju produktivitas yang lebih tinggi. Dengan menghindari pola pikir defensif, seseorang dapat lebih fokus pada solusi daripada menyalahkan keadaan atau orang lain. Sebagai hasilnya, kita tidak hanya memperbaiki diri tetapi juga membangun kredibilitas yang kokoh di mata orang lain.
Kejujuran
Kejujuran adalah nilai utama yang mendasari integritas. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk selalu jujur:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 70).
Kejujuran membawa berbagai manfaat, baik secara individu maupun sosial. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang jujur cenderung memiliki hubungan yang lebih harmonis, tingkat stres yang lebih rendah, dan kesehatan mental yang lebih baik.
Sebaliknya, berbohong atau berkelit dapat menyebabkan perasaan bersalah, kecemasan, dan rusaknya kepercayaan dalam hubungan.
Manfaat kejujuran juga dirasakan dalam konteks profesional. Individu yang jujur dan transparan lebih dihargai dan dipercaya oleh rekan kerja maupun atasan. Mereka dianggap sebagai orang yang dapat diandalkan dan berintegritas, sehingga peluang karier mereka lebih besar.
Dalam pada itu, kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses belajar. Ketika kita menerima kesalahan sebagai bagian dari perjalanan menuju kesuksesan (baca: kebahagiaan), kita dapat membangun kebiasaan baik seperti introspeksi, evaluasi, dan perbaikan diri.
Penting kiranya untuk melakukan evaluasi diri saat kita sadar telah melakukan kesalahan. Setelah melakukan kesalahan, luangkan waktu untuk merenungkan apa yang salah dan bagaimana hal itu dapat diperbaiki.
Di waktu yang sama, kita perlu menepikan ego dan melapangkan hati membuka diri untuk belajar dari orang lain, terutama mengamati bagaimana orang lain menghadapi tantangan serupa dan kita belajar dari pengalaman mereka.
Komitmen untuk perubahan harus juga didukung dengan rencana konkret untuk menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
Bahkan, tak perlu malu, jika kesalahan kita merugikan orang lain, untuk segera minta maaf dan berupaya memperbaiki kerugian tersebut.
Dalam Islam, kejujuran dan berbuat baik sangat dianjurkan. Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. An-Nahl: 90).
Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan manfaat luar biasa dari berbuat baik. Studi di bidang psikologi sosial menemukan bahwa berbuat baik meningkatkan hormon kebahagiaan seperti serotonin dan dopamin. Tindakan ini juga mempromosikan kesehatan fisik dengan mengurangi tekanan darah dan meningkatkan sistem imun.
Kejujuran, yang menjadi inti dari berbuat baik, memiliki efek jangka panjang yang positif. Sebuah studi dari University of Notre Dame menemukan bahwa orang yang hidup dengan jujur cenderung lebih sehat secara fisik dan emosional.
Peneliti menyimpulkan bahwa kejujuran mengurangi stres akibat kebohongan dan meningkatkan kualitas hubungan interpersonal.
Kesalahan adalah bagian dari kehidupan, tetapi cara kita meresponsnya menentukan siapa kita sebenarnya. Dengan mengakui kesalahan, berkomitmen untuk belajar, dan berpegang pada nilai kejujuran, kita dapat mengubah kesalahan menjadi langkah titik balik untuk menjadi lebih baik lagi.
Dalam setiap perjalanan yang gelap tertutup awan dosa dan kesalahan yang berkelindan, selalu ada peluang untuk bangkit menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijak, dan lebih bermanfaat bagi sesama.[]
*) Adam Sukiman, penulis adalah khatib dan guru ngaji. Saat ini diamanahi sebagai Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta