
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat (Dakwah Yanmat) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust. H. Drs. Nursyamsa Hadis, menjadi khatib Idulfitri di Lapangan Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan (Pusrehab Kemhan), Jalan RC. Veteran Raya No.178, RT.9/RW.3, Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Senin, 1 Syawal 1446 (31/3/2025).
Dalam khutbah yang dibawakannya, Nursyamsa mengajak umat Islam untuk merenungkan makna spiritual dan sosial dari perayaan Idul Fitri, yang tidak hanya menjadi puncak kemenangan setelah menjalani ibadah Ramadhan, tetapi juga titik awal untuk mempertahankan kebaikan dan menebar manfaat bagi umat manusia.
Khutbahnya menekankan pentingnya istiqamah dalam beramal saleh sebagai wujud syukur atas nikmat Ilahi serta komitmen untuk terus memperbaiki diri dan lingkungan sekitar.
Dalam semangat kemenangan, Idul Fitri digambarkan dia sebagai momen refleksi atas ujian Ramadhan, di mana keberhasilan meraih takwa dan ampunan menjadi hadiah bagi yang tekun, sementara penyesalan menanti mereka yang lalai.
Dalam khutbah yang dibacakannya, Nursyamsa menyoroti dua dimensi utama keimanan: hubungan vertikal dengan Allah dan tanggung jawab horizontal kepada sesama.
Dalam dimensi pertama, umat diajak untuk mempertahankan kebiasaan baik Ramadhan—seperti shalat berjamaah, tilawah Al-Qur’an, dan sedekah—sebagai bukti kesungguhan menuju fitrah sejati.
Dalam dimensi kedua, panggilan untuk menjadi agen perbaikan (mushlih) ditegaskan sebagai respons terhadap berbagai kerusakan moral dan sosial yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti korupsi, riba, dan kemaksiatan lainnya.

Dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, Nursyamsa sebagai khatib menggarisbawahi bahwa kebaikan individu harus meluas menjadi kebaikan kolektif, melalui kolaborasi dan persatuan untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman degradasi akhlak dan bencana.
Lebih jauh, Nursyamsa dalam khutbahnya mengedepankan nilai kemanusiaan dengan menekankan pentingnya peduli terhadap yang lemah—fakir miskin, anak yatim, dan orang tua—sebagai wujud nyata kesalehan sosial.
Pesan Rasulullah bahwa membantu sesama lebih utama daripada ibadah ritual tertentu menjadi landasan intelektual untuk menggeser paradigma dari kesalehan pribadi menuju kesalehan yang inklusif dan transformatif.
Masih dalam khutbahnya, ia juga menyentuh hubungan emosional dengan orang tua, yang menegaskan bahwa keberkahan hidup bergantung pada doa dan keridhaan mereka, sebuah pengingat yang mendalam tentang nilai-nilai keluarga dalam Islam.
Lebih lanjut, Nursyamsa dalam khutbahnya menawarkan kerangka berpikir yang seimbang antara kontemplasi spiritual dan aksi nyata yang tidak hanya merayakan Idul Fitri sebagai ritual tahunan, tetapi juga mengajak umat untuk menjadikannya momentum perubahan berkelanjutan. []