SEJAK remaja, saya selalu menjadi tempat curhat orang-orang di sekitar, dari teman dekat hingga kenalan singkat. Entah karena saya dianggap aman atau karena kepribadian yang tertutup, curhatan itu datang seperti aliran sungai, mulai dari masalah remaja hingga kini memasuki babak lebih kompleks—pernikahan.
Dari berbagai kisah yang masuk ke telinga saya, tak jarang pernikahan digambarkan dengan nuansa getir: pasangan yang tak acuh, konflik soal nafkah, atau bahkan pengkhianatan.
Ada pula yang ingin cerai karena luka lama yang tak kunjung sembuh, sementara lainnya mendamba poligami dengan alasan yang beragam. Uniknya, ada kisah bahagia di antara cerita getir, seperti pasangan yang dengan ikhlas ingin berbagi kebahagiaan demi keturunan.
Namun, sebuah pernyataan yang kini viral, “Marriage is scary” (pernikahan itu mengerikan), membuat saya termenung. Apakah benar demikian?
Saya bergumam, mengingat perjalanan rumah tangga pribadi dan kisah-kisah orang lain, lalu beristighfar. Pernikahan tidak seharusnya diberi label “mengerikan.” Sebagai sebuah syariat, ia sarat dengan tujuan mulia dan maslahat bagi manusia.
Kesalahan sering kali terletak pada individu, bukan pernikahannya. Media sosial memperkuat citra negatif ini, memperbesar kejahatan atau kegagalan dalam pernikahan, sehingga menakuti generasi muda.
Saya teringat seorang akhwat yang bertanya dengan wajah penuh trauma, “Bolehkah saya tidak menikah seumur hidup?” Trauma ini berasal dari pengalaman orang lain yang tak bahagia dan narasi-narasi menakutkan di media.
Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah terpanjang. Rasulullah SAW memberikan panduan memilih pasangan melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”
Agama, yang mencakup ilmu dan ketaatan, menjadi fondasi kokoh dalam rumah tangga.
Tidak ada perjalanan tanpa tantangan, termasuk pernikahan. Bahkan para nabi menghadapi ujian rumah tangga. Namun, persiapan yang matang dapat meminimalkan konflik dan membantu menyelesaikan masalah.
Seperti halnya safar yang hanya beberapa hari, kita mempersiapkan segala kebutuhan dengan teliti. Lalu, bagaimana dengan pernikahan yang seumur hidup? Bukankah persiapannya seharusnya lebih matang?
Pernikahan, meski singkat sekalipun, selalu membawa kebaikan. Ia menegakkan sunnah Rasulullah SAW, melindungi dari dosa besar, dan mengajarkan ketaatan serta kesabaran.
Jika pernikahan terasa pahit atau menyakitkan, sering kali itu karena salah satu pihak atau bahkan keduanya tidak memenuhi hak dan kewajiban. Maka, jangan salahkan pernikahannya, salahkan perilakunya.
Sungguh, pernikahan adalah anugerah sekaligus amanah. Ia bukanlah sesuatu yang mengerikan jika dijalani dengan kesadaran, keimanan, dan kesiapan. Sebaliknya, ia adalah perjalanan menuju keberkahan yang penuh dengan pelajaran dan hikmah.
*) Nurul Qalbi Tasyrif, penulis adalah ibu muda anak 2 yang menyelesaikan pendidikan sarjananya di Al-Azhar University, Kairo, Mesir dan Pascasarjana di Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Kini pengasuh kelas takhassus putri STIE Hidayatullah Depok