KETIKA menelusuri kehidupan para ulama terdahulu dan mendengarkan nasihat-nasihat mereka, kami mendapati anjuran yang berulang-ulang untuk mempersedikit makan dan minum.
Mereka pun mencontohkannya secara nyata. Bahkan, banyak di antara mereka yang seakan-akan berpuasa sepanjang hayat. Kisah semacam ini sangat mudah ditemukan dalam karya-karya klasik dan bertebaran dalam biografi banyak ulama termasyhur.
Akan tetapi, tatkala membaca artikel-artikel modern, kami mendapati hal sebaliknya. Yang mudah ditemukan justru anjuran minum sekian liter air dalam sehari, mengkonsumsi makanan yang mengandung sekian kilo kalori (kkal) dan cukup serat, kriteria berat badan ideal, dll.
Hampir tidak ditemukan anjuran berpuasa. Bahkan, bagi orang-orang yang mengalami kelebihan berat badan (obesitas) sekali pun, anjurannya tetaplah makan dan minum dalam kadar tertentu, bukannya memperbanyak puasa.
Belakangan, kami baru menyadari bahwa perbedaan pijakan dan sudut pandanglah yang melatarbelakangi kedua kecenderungan tersebut. Peradaban Islam dibangun di atas pemeliharaan ruh, sementara materi mengikuti dan menjadi pelayannya. Akan tetapi, peradaban modern (Barat) ditegakkan di atas pondasi materialisme yang menafikan peran jiwa.
Kedua cara berpikir itu kemudian mengembangkan pola-pola budaya dan peradaban yang seringkali saling berseberangan secara diametral.
Kita mendapati Abu Sulaiman ad-Darani (seorang zahid, w. 215 H) berkata, “Barangsiapa yang kekenyangan, maka ada enam bencana yang masuk kepadanya, yaitu (1) kehilangan manisnya bermunajat kepada Allah, (2) sulit menghafalkan hikmah, (3) tidak bisa berempati kepada sesama makhluk sebab bila kekenyangan ia akan menyangka semua orang juga kenyang sepertinya, (4) berat menunaikan ibadah, (5) bertambahnya syahwat, dan (6) bahwa segenap kaum muslimin berkerumun di sekitar masjid-masjid sementara orang-orang yang kekenyangan akan berkerumun di sekitar tempat-tempat pembuangan kotoran.” (Ihya’ Ulumiddin, III/87).
Beliau juga berkata, “Setiap hal memiliki penanda. Penanda keterlantaran (jiwa) adalah tidak mau menangis. Setiap hal juga memiliki karat, dan karat hati adalah terlalu kenyang. Pondasi semua kebaikan adalah merasa takut terhadap dunia, dan kunci dunia adalah kekenyangan sedangkan kunci akhirat adalah lapar.” (Siyaru A’lamin Nubala’, X/183-184).
Di sisi lain, media massa kita justru dipadati konten yang mengedepankan pemanjaan fisik, termasuk bagaimana makan dan minum yang paling nikmat.
Wisata kuliner dan kompetisi Superchef hanyalah contoh kecil dari fenomena ini, sebab jaringan pemikiran yang mendasarinya tidaklah sesederhana itu. Bahkan, sekarang kita juga mendengar adanya pakar meracik kopi, ahli cicip makanan, master kue, dan entah apa lagi. Semua ini sebetulnya merefleksikan suatu budaya tertentu.
Pernyataan Abu Sulaiman ad-Darani di atas memiliki pijakan yang kuat. Al-Qur’an sendiri pernah menggambarkan salah seorang musuh Rasulullah sebagai ‘Utullin (lihat Qs. Al-Qalam: 13).
Menurut Abu Darda’, sebutan al-‘utull menunjuk kepada semua orang yang gemar menuruti syahwat mulut dan kemaluan, berperangai keras, banyak makan-minum, dan gemar menumpuk kekayaan tetapi pelit bukan main (lihat: Tafsir fi Zhilalil Qur’an, VI/3663).
Dengan kata lain, terlalu banyak makan-minum merupakan salah satu sifat negatif yang dibenci Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menganjurkan agar tidak berlebihan dalam makan-minum.
Beliau bersabda,
“Tidaklah seorang manusia memenuhi suatu wadah yang lebih buruk dibanding perutnya. Cukuplah bagi seorang anak Adam beberapa kali makan yang akan menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa menghindar lagi, maka sepertiga (perut) untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga lainnya untuk nafasnya.” (Riwayat Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’di Karib. Hadits hasan-shahih).
Di bulan Ramadhan, terkadang fenomena berlebihan dalam makan-minum justru menggejala. Sungguh ironis, sebab puasa sebetulnya ditujukan untuk mengendalikan kerakusan.
Ada sebagian orang yang porsi makan sahurnya wajar-wajar saja, tetapi kita akan terkejut melihat seberapa banyak yang dilahapnya pada saat berbuka; belum lagi aneka camilan dan jus yang disantapnya seusai shalat tarawih.
Padahal, Rasulullah menggambarkan seorang mukmin sebagai pribadi yang sedikit makannya, sementara orang kafir adalah sosok yang rakus.
Nafi’ menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan makan kecuali dicarikan seorang miskin untuk menemaninya. Suatu kali, didatangkanlah seseorang sebagaimana biasa, namun ia makan banyak sekali.
Ibnu ‘Umar kemudian berkata, “Hai Nafi’, jangan kaubawa lagi orang ini masuk kepadaku. Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Seorang mukmin makan dalam (porsi) satu usus, sedang seorang kafir makan dalam (porsi) tujuh usus.’” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sepertinya, kerakusan pada makanan-minuman ini pula yang menghalangi kita dari karunia-karunia agung di bulan Ramadhan. Kita tidak bisa merasakan kenikmatan apa-apa di dalamnya selain payahnya menahan lapar, haus, dan melek di malam hari.
Sebagaimana pernyataan Abu Sulaiman ad-Darani di muka, kekenyangan telah menjauhkan kita dari nikmatnya bermunajat kepada Allah. Kita pun sukar merenungi hikmah-hikmah kenabian dan tidak dapat berempati kepada penderitaan orang lain. Semangat beribadah kita tidak kunjung menguat, bahkan semakin merosot justru ketika Lailatul Qadar semakin mendekat.
Nafsu syahwat pun tidak meredup, sebaliknya makin berkobar seiring mendekatnya Idul Fitri. Masjid-masjid tidak bertambah ramai, namun pasar dan pusat perbelanjaan sampai menambah jam buka maupun stok barang karena meluapnya animo pembeli dan membludaknya pengunjung.
Sekarang, mari meneliti diri sendiri: “berapa kali dan berapa banyak kita makan dalam sehari?” Sungguh, di bulan Ramadhan Allah menyuruh kita berpuasa, bukan memindah jam makan! Wallahu a’lam.
Ust Alimin Mukhtar. Senin, 18 Sya’ban 1435 H.