DR. MUHAMMAD Imarah, seorang pemikir Islam kontemporer, dalam karyanya, Perang Terminologi Islam versus Barat (Ma’rakatul Musthalahat bainal Gharbi wal Islami), menggarisbawahi perbedaan fundamental antara pemahaman Islam dan Barat tentang agama.
Di dunia Barat, agama sering kali diterjemahkan sebagai faith, yakni keyakinan pribadi yang bersifat individual dan terbatas pada aspek spiritualitas serta ritual keagamaan. Pemahaman ini telah memengaruhi bagaimana Islam didefinisikan dan diterima, bahkan di negara-negara Muslim sendiri.
Namun, Islam bukan sekadar faith. Islam adalah diin—sebuah sistem hidup yang mencakup semua dimensi termasuk spiritual, sosial, politik, dan ekonomi. Berbeda dari agama-agama dalam konsep Barat, Islam mencakup keseluruhan aspek kehidupan, menjadikannya tidak sekadar urusan pribadi, tetapi juga bagian integral dari tatanan sosial.
Sayangnya, reduksi Islam menjadi sekadar agama dalam pengertian Barat telah menjadi dasar berkembangnya stigma terhadap Islam, yang kini kita kenal sebagai Islamofobia.
Kolonialisasi Terminologi
Dalam situasi global, narasi Islamofobia tampak tidak hanya mencerminkan ketakutan terhadap Islam, tetapi juga upaya sistematis untuk membatasi peran Islam dalam kehidupan publik.
Ketika umat Islam mencoba menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, mereka sering dicap sebagai fundamentalis, radikalis, bahkan disebut teroris. Narasi ini diperkuat oleh banyak negara, termasuk negara-negara berpenduduk Muslim, yang mengadopsi bias Barat ini.
Pemahaman yang salah akibat kolonialisasi terminologi ini tidak hanya menghambat penerapan nilai-nilai Islam, tetapi juga menciptakan rasa takut kolektif terhadap komunitas Muslim.
Data terbaru dari Pew Research Center (2024) menunjukkan bahwa 73% warga di negara-negara Barat menganggap Islam sebagai ancaman potensial, sementara 68% mengaitkannya dengan ekstremisme. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Islamofobia di dunia saat ini.
Di tengah gelombang Islamofobia global, komunitas internasional mulai mengambil langkah konkret untuk menanggulangi fenomena ini.
Salah satu upaya signifikan adalah keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengadopsi resolusi yang disponsori oleh 60 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada tahun 2022. Resolusi ini menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia.
Tanggal ini dipilih untuk memperingati serangan masjid Christchurch di Selandia Baru pada 15 Maret 2019, yang menewaskan 51 Muslim. Peringatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengenang korban, tetapi juga untuk menggalang solidaritas global dalam melawan segala bentuk diskriminasi terhadap umat Islam.
Resolusi tersebut menunjukkan bahwa Islamofobia tidak hanya masalah agama tertentu, tetapi pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ilmu dan Arah Baru
Dr. Imarah dengan tegas menyatakan bahwa pembenahan terminologi Islam dan penyelesaian masalah Islamofobia hanya dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan. Pendidikan yang tepat memainkan peran kunci dalam meluruskan pemahaman Islam sebagai diin.
Sayangnya, narasi Islamofobia sering kali diperkuat melalui media dan kurikulum pendidikan yang bias. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk memasukkan kajian Islam yang komprehensif dalam sistem pendidikan, baik di dunia Muslim maupun Barat.
Selain itu, penguatan pemahaman internal di kalangan Muslim sendiri sangat penting. Muslim perlu memahami bahwa Islam bukan sekadar agama dalam pengertian Barat, tetapi sebuah sistem yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Pemahaman ini dapat menjadi dasar bagi komunitas Muslim untuk lebih percaya diri dalam menghadapi berbagai stigma yang tidak berdasar.
Resolusi internasional untuk memerangi Islamofobia memberikan angin segar bagi upaya komunitas Muslim untuk membangun citra positif Islam di mata dunia. Namun, langkah ini harus diiringi dengan upaya internal untuk memperkuat pendidikan, meneguhkan nilai-nilai Islam, dan menggalang solidaritas lintas agama.
Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, umat Islam adalah khaira ummah (umat terbaik), yang ditugaskan untuk menegakkan keadilan dan menyampaikan kebenaran. Dengan memegang prinsip ini, umat Islam semakin meneguhkan eksistensinya untuk berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih beradab dan adil, bebas dari prasangka dan diskriminasi.
Langkah ini menegaskan bahwa Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, melainkan sistem universal yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan global. Sebuah diin yang tidak hanya memberikan makna, tetapi juga solusi bagi kehidupan umat manusia.[]
*) Adam Sukiman, penulis intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta.