DALAM dunia organisasi modern, dinamika perubahan yang terjadi memerlukan sikap proaktif dan adaptif dari semua elemen organisasi. Ustadz Asih Subagyo telah memberikan beberapa pandangan signifikan mengenai hal ini.
Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi (PPO) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah ini orangnya ramah, gemar membagikan pengalaman dan pemikiran, serta yang paling penting, tekun sekali dalam menulis.
Bahkan belakangan, dalam kondisi sakit, pemikirannya tetap aktif dan terus mengajak semua pihak progresif memikirkan keberlanjutan organisasi.
Salah satu ulasan penting Ust. Asih adalah tentang model organisasi yang relevan di era digital. Kader yang menempa diri di Hidayatullah Yogyakarta itu mengusulkan beberapa langkah.
Pertama, organisasi harus fleksibel dan adaptif. Kedua, organisasi harus fokus pada pengembangan diri. Ketiga, organisasi perlu merumuskan tuuan yang (lebih) jelas dan tentu saja wajib impactful. Keempat, akrab dengan teknologi. Kemudian kelima, organisasi mesti bisa inklusif dan beragam.
Memang Ust. Asih dalam memberikan poin itu tidak memberikan uraian lengkap. Mungkin kalau mau dirinci, artikelnya pasti akan sangat panjang. Walakin, dari sana kita bisa mulai untuk mengambil titik start, apa yang harus kita pikirkan dan rumuskan untuk menjalankan organisasi ke depan selalu dan tetap bahkan semakin relevan.
Tidak Mudah
Hari Mantik dalam makalah berjudul “Mencermati Era Digital dalam Organisasi” menulis dalam abstraknya, “Creating an organization in the information age is not as simple as we imagine.“
Kalau kita tarik ke usulan Ust. Asih, maka jelas 5 poin usulan itu harus mendapat perhatian memadai dari semua penggerak organisasi. Abai mengurai langkah berbasis 5 langkah itu, akibatnya tidak main-main.
Sisi paling simpel, jam kerja. Bagi generasi dahulu, itu sebuah kebaikan yang perlu. Namun, bagi generasi sekarang era sudah berubah.
Jika para senior organisasi tidak update dalam perkara ini, “benturan” yang kontraproduktif tidak terhindarkan. Kalau itu dipaksakan, maka impact hadirnya organisasi bagi kader Milenial dan Gen-Z jelas tidak menguntungkan. Mereka boleh jadi berpikir, zaman seperti sekarang kok masih begitu.
Terlebih kalau di kantor ternyata tidak mendorong produktivitas kerja. Orang sibuk ngobrol tanpa bingkai tema dan target yang jelas. Tentu akan sangat tidak nyaman bagi generasi Milenial dan generasi Z.
Meskipun ini bisa jadi bahan untuk diperdalam dalam diskusi, setidaknya itulah fenomena yang terjadi. Sekarang sudah mulai masuk budaya kerja dengan nuansa “home and amunsement.”
Suatu budaya yang menghendaki ruang kerja fleksibel, jadwal fleksibel, perangkat dan teknologi yang memadai, serta pentingnya keseimbangan kerja dan hidup.
Dalam beberapa kasus, kita menemukan kader organisasi sulit maksimal dalam amanah pergerakan (sebagai pemuda) ketika ia harus juga menjalani fungsi profesional dengan baik. Tambah leader di lapangan profesional tidak mengerti, apa urgensi kader muda aktif sebagai pemuda yang memang perlu menempa diri dalam dunia pergerakan.
Transformasi
Walaupun soal itu tampak serius, sebenarnya organisasi butuh kesiapan pola transformasi. Mempertahankan nilai adalah keniscayaan, tetapi mentransformasikan pada generasi yang menghadapi tantangan tidak sama dengan pendahlunya adalah langkah sangat penting dan mendesak.
Terlebih kala memperhatikan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Semua itu harus menjadi sebuah ladang yang telah kita siapkan pola transformasinya dengan baik, sehingga peningkatan kinerja organisasi melesat positif, pada saat yang sama nilai-nilai prinsip semakin mengakar dalam kehidupan nyata.
Sebuah ungkapan menyebut, “Transforming an organization requires more than just changing the structure” (Mengubah suatu organisasi tidak selalu dilakukan dengan mengubah strukturnya). Kita butuh cara baru melakukan transformasi nilai dan kemajuan secara lebih relevan.
Langkah yang sangat dibutuhkan sekarang memang kemampuan setiap penentu organisasi mampu berpikir visioner sekaligus fleksibel dalam konsep implementasi program. Orientasinya bukan lagi “kerapian” model seragam era orde baru (kalau mau pinjam istilah yang mudah).
Akan tetapi lebih kepada kesepaduan tim (shaf) yang secara fisik mungkin tidak satu ruangan, tapi secara tujuan proses yang ditetapkan memungkinkan satu sama lain terus terhubung dan mendekati tujuan bahkan visi yang dicanangkan.
Langkah ini akan memungkinkan organisasi menjadi inklusif dan beragam sangat terbuka. Lebih-lebih kalau kita ingin memfokuskan juga pada agenda rekrutmen kader, pembinaan dan upgrading kader, yang mana cara berpikir kaum muda era sekarang benar-benar terbuka, sangat fleksibel dan sangat enjoy sebagai warga “negara” digital.
Terakhir, transformasi organisasi bukan sekadar tuntutan zaman, tetapi juga investasi jangka panjang yang akan mengokohkan organisasi dalam menghadapi tantangan masa depan. Saya ingin mengutip penuh tulisan Ust. Asih di ujung artikel itu.
“Masa depan organisasi terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, memanfaatkan teknologi, dan memberikan nilai yang relevan bagi generasi muda. Sehingga menjadi magnet yang dapat menarik dengan kuat keterlibatan gen-Z dan generasi susudahnya menjadi mesin penggerak utama bagi kemajuan dan keberlangsungan organisasi yang sesuai dengan jamannya”.
*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect), saat ini Sekretaris Perkaderan DPP Hidayatullah