
HARI ini, In Syaa Allah merupakan penghujung Ramadhan 1443H. Memang kepastiannya masih menunggu hasil isbat kementrian agama. Namun dari hasil metode hisab, maka sangat mungkin untuk dilakukan rukyah. Sehingga tanggal 2 Mei 2022, hampir dipastikan 1 Syawal 1443H.
Setelah satu bulan berpuasa, beserta seluruh amalan didalamnya, maka Ramadhan pasti akan meninggalkan Kita. Padahal masih terasa niktatnya beribadah di bulan Ramadhan. Demikian juga jika direnungkan masih banyaknya amalan yang belum kita optimalkan di bulan Ramadhan ini. Namun kepergiannya tidak mungkin ditunda lagi.
Mungkin diantara kita ada yang tetap ingin mendapati suasana ramadhan. Akan tetapi tidak sedikit yang menyambut dengan kegembiraan, bersuka cita karena meninggalkan ramadhan dan segera mendapati Idul Fitri. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan semua jalur transportasi sudah mulai ramai sejak beberapa hari lalu.
Toko-toko pakaian dan pasar sesak dikunjungi pembeli. Ramainya paket dari marketplace atau toko online. Bahkan, orang bersedia bermacet-macet ria, berjam-jam, untuk kemudian akan merayakan hari raya di kampung halamanya. Dengan dalih merayakan kemenangan itu.
Kebanyakan dari kita memang bersuka cita, tapi sungguh semesta alam sebenarnya sedang berduka cita karena kepergiannya. Pertanyaannya adalah, apakah tahun depan kita masih bisa menjumpai Ramadhan lagi?
Sikap kebanyakan kita seperti ini, sesungguhnya sangat menyelisihi dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para salafush shaleh. Sebab bagi mereka, kepergian bulan agung ini, seolah-olah menjadi musibah besar, sehingga tak jarang di antara mereka yang merasa sedih, pilu, dan merasa kehilangan.
Bagaimana tidak, momentum tahunan yang penuh berkah, ampunan, dan pembebasan dari api neraka ini terasa begitu singkat, sedangkan mereka belum tahu pasti apakah amalan-amalan yang dilakukan sudah diterima dan apakah dosa-dosa yang menggunung tinggi sudah diangkat? Sebagaimana dalam sebuah hadits,”Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani).
Dalam salah satu riwayat hadits, dari sahabat Jabir radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Jika malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap langit dan bumi, beserta malaikat ikut menangis. Mereka bersedih karena bencana yang menimpa umat Muhammad saw.”
Para sahabat bertanya, “bencana apakah ya Rasul?” Nabi menjawab “Kepergian bulan Ramadhan. Sebab di dalam bulan Ramadhan segala doa terkabulkan, Semua sedekah diterima dan amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya, penyiksaan sementara di hapuskan.”
Sementara itu dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al Hambali berkata;
“Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, Sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi. Hati orang-orang yang bertakwa mencintai bulan ini, dan bersedih karena pedihnya berpisah dengannya Wahai bulan Ramadhan, Mendekatlah, berderai air mata para pecintamu, terpecah hati mereka karena perihnya berpisah denganmu.
Semoga perpisahan ini mampu memadamkan api kerinduan yang membakar, Semoga masa bertaubat dan berhenti berbuat dosa mampu memperbaiki puasa yang ada bocornya, Semoga yang terputus dari rombongan orang yang diterima amalannya dapat menyusul. Semoga tawanan dosa-dosa bisa terlepaskan, Semoga orang yang seharusnya masuk neraka bisa terbebaskan. Dan semoga rahmat Allah bagi pelaku maksiat akan menjadi hidayah taufik.”
Diriwayatkan suatu saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiallahu’anhu, keluar rumah di hari Idul Fitri. Dalam khutbahnya beliau menandaskan:
“Wahai rakyatku sekalian! Kalian telah berpuasa karena Allah Subhanahu Wata’ala selama tiga puluh hari. Demikian juga telah menunaikan shalat malam tiga puluh hari. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan diterima.”
Pada momen demikian, ada seorang salaf yang menampakkan kesedihan. Kemudian ia ditanya, “Bukankah ini hari kegembiraan dan kesenangan?” Ia menjawab, “Benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Allah perintahkan melakukan amalan. Sedangkan aku tidak tahu apakah amalan itu diterima atau tidi? Itulah yang membuatku sedih.”
Jauh sebelum era khalifah Umar bin Abdul Azis ra di atas, kekhawatiran yang sama juga pernah dirasakan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya adalah Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali r.a bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ’melayatnya’.”
Sehingga wajar jika para salafush shalih sangat bersedih saat meninggalkan Ramadhan. Sebab dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, Rasulullah bersabda,“Sekiranya umatku ini mengetahui apa-apa (kebaikan) di dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar tahun semuanya itu menjadi Ramadhan.”
Sementara itu, betapa susasana Ramadhan seperti itu sangat dirindukan oleh generasi terdahulu, sebagaimana di sampaikan oleh Ibnu Rajab al-Hambali berikut, “Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada Bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan).”
Dari uraian di atas, sesungguhnya memandu kita untuk semakin realistis dan proporsional dalam bersikap ketika berpisah dengan ramadhan dan menuju idul fitri serta bulan syawal. Meski mungkin kita masih jauh dan belum sampai pada derajat sahabat, tabi’in, tabiut tabi’n dan generasi salaf sebagaimana tersebut di atas, tetapi setidaknya jangan berlebihan, boros, berfoya-foya dlsb dalam menyambut hari kemenangan tersebut.
Sikap seperti ini akan menciderai ramadhan yang susah payah kita jalankan. Justru, kita harus tetap menjaga bahkan jika mampu terus meningkatkan ibadah dan amal sholeh yang sudah menjadi habits dalam bulan Ramadhan itu.
Dengan demikian maka, tugas kita pada bulan-bulan berikutnya adalah menjadikannya sebagaimana bulan Ramadhan. Hal ini tentu tidak mudah. Akan tetapi ini bagian dn indikator dari sukses atau tidaknya selama ramadhan yang akan kita tinggalkan ini.
Benarkah predikat takwa sudah kita dapat. Atau lebih jauh dari itu, apakah lailatul qodr juga kita perolah? Mari kita buktikan dengan ibadah dan amal sholeh di sebelas bulan berikutnya. Wallahu a’lam.
Asih Subagyo, peneliti senior Hidayatullah Institute