ALLAH Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an, “Sungguh kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin: 4). Jika dibandingkan dengan mahluk Allah Ta’ala yang lain, maka manusia menduduki posisi tertinggi. Sehingga alangkah buruknya jika misalkan posisi tersebut diabaikan oleh manusia.
Setiap manusia pasti punya cita-cita cemerlang untuk menjadi yang terbaik. Namun banyak manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik hanya di hadapan manusia. Padahal tuntutan kita adalah menjadi yang terbaik di hadapan Allah, bukan saja di hadapan manusia.
Ukuran terbaik di hadapan Allah adalah dilihat dari aspek ketaqwaannya, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling tinggi ketaqwaannya”.
Semakin manusia itu taqwa dalam arti menjalankan apa yang Allah perintah dan menjauhi apa yang dilarang, maka disitulah puncak kemuliaan manusia. Namun jika sebaliknya, maka manusia tak ubahnya seperti makhluk Allah yang lainya. Yang tak punya otak untuk berfikir dan tak punya hati untuk merasakan. Sehingga kehidupannya kelam dipenuhi dengan kemaksiatan dan bahkan tak kenal rasa malu sedikitpun.
Sedangkan ukuran terbaik di hadapan manusia adalah hanya dilihat dari kacamata dunia, punya uang banyak, jabatan tinggi, istri cantik, dan liburannya ke Eropa. Sehingga pada aspek ini manusia sudah mulai mencoba mencari pengakuan dari masyarakat soal kedudukannya yang tinggi, wibawanya yang besar, dan mungkin ketenaran sehingga ia dapat merasakan kebahagiaan.
Namun ironisnya, ketika banyak orang sudah mencapai tingkatan ini, mereka justru hidup dalam kekhawatiran. Khawatir kedudukannya diduduki orang lain, khawatir hartanya dirampok orang, khawatir dengan segala apa yang dimiliki sehingga akan sangat mudah menjerumuskan manusia pada kehancuran.
Pada tulisan ini penulis akan sedikit memaparkan tentang bagaimana agar kita menjadi khairo ummah atau menjadi umat dan pribadi terbaik yang bermanfaat bagi yang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Kita akan tercatat sebagai manusia yang baik apabila keberadaan kita bermanfaat bagi orang lain. Mempunyai sikap ringan tangan, suka menolong, berbagi, bershadaqoh, membantu yang lemah, selalu mengingatkan orang lain pada kebaikan. Sehingga masyarakat akan merasa kehilangan jika kita tidak ada disisi mereka.
Ilmu, harta, jabatan, bahkan kekayaan yang kita punya tidak akan berarti jika kita tidak mampu mengelola dengan baik. Jadikanlah semua itu sebagai investasi kekayaan kita baik di dunia maupun di akhirat, sehingga kelak nanti di akhirat kita layak untuk meminta hak kita sebagai hamba Allah.
Ketika seseorang mencoba menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain dia akan merasakan indahnya kehidupan ini. Namun yang menyedihkan, kebanyakan manusia tidak sadar akan hal ini. Padahal puncak kebahagiaan itu ketika seseorang dapat bermanfaat bagi dirinya, orang lain, lingkungannya bahkan nusa dan bangsa.
Alkisah, seorang ibu bersedih hati karena persoalan yang ia hadapi. Ia kemudian mendatangi orang bijak untuk mengkonsultasikan seputar permasalahannya, dan mulailah ia bercerita tentang permasalahannya.
Setelah sang ibu bercerita, orang bijak itu bertanya, “Apa yang kurang dari ibu? Ibu mempunyai keluarga yang lengkap, pekerjaan yang berharga, rumah, mobil, harta yang berlimpah yang tidak semua orang memiliki apa yang ibu miliki. Lantas apa yang membuat ibu bersedih?,” lanjut orang bijak itu.
“Saya juga tidak mengerti kenapa saya tidak dapat merasakan kebahagiaan padahal saya sudah mendapatkan segalanya,” jawab ibu itu. Kemudian orang bijak tersebut berkata, “Ibu tidak akan mendapatkan kebahagiaan ketika ibu mencari kebahagiaan, tetapi ibu akan mendapatkan kebahagiaan ketika ibu membagi kebahagiaan itu,” demikian nasehat orang bijak tersebut.
“Maksudnya?,” tanya ibu belum paham betul. “Ibu mencari harta agar ibu bahagia, mencari pangkat agar bahagia, melakukan hal yang menyenangkan agar bahagia, tapi apakah ibu mendapatkan kebahagiaan? Cobalah bagi harta ibu dengan orang-orang yang lebih membutuhkan, dengan mereka yang hidup di pinggir sungai, di pinggir rel, dengan tetangga yang tidak dapat menyekolahkan anaknya, yang kesulitan mencari sesuap nasi, untuk anak jalanan yang seharusnya mempunyai hak sekolah, untuk anak-anak cacat yang membutuhkan penghidupan yang layak. Ketika ibu melakukan hal itu, Insya Allah ibu akan mendapatkan kebahagiaan,” tutur orang bijak itu.
Seminggu kemudian raut wajah ibu itu berubah. Ia merasakan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ia rasakan. Ia melakukan semua apa yang telah diberitahukan oleh orang bijak itu. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh orang bijak itu:
Anda tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan ketika Anda mencari kebahagiaan, tapi Anda akan mendapatkan kebahagiaan ketika Anda mau membagi kebahagiaan tersebut.
Dari cerita yang saya kutip dari Majalah Gontor di atas, kita bisa mengerti bahwa kebahagiaan dapat dicapai ketika kita dapat bermanfaat untuk orang lain. Kebahagiaan bukan diukur dari harta yang dihasilkan, pangkat yang diduduki, atau prestasi yang diraih, tapi diukur dari seberapa besar kita mau membagi kebahagiaan itu kepada orang lain, yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal.
Dalam mahfudzat-nya disebutkan, khoirunnasi ahsanuhum khuluqon wa anfauhum linnasi. Yang artinya, “Sebaik-baik manusia ialah yang paling baik budi pekertinya dan paling bermanfaat bagi orang lain”. Budi pekerti adalah nilai yang sangat dijunjung dalam masyarakat. Karena itu, untuk menjadi sebaik-baik manusia tidaklah cukup menjadi orang yang paling baik budi pekertinya, tetapi ia juga harus bermanfaat.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyeru (berbuat ) kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan kalian beriman kepada Allah” ( QS. Ali ‘Imran: 110).
Diantara tugas kita selaku hamba Allah (Abdullah) dan pengelola alam (Khalifatullah) di muka bumi ini yaitu senantiasa mengingatkan orang lain agar berbuat baik dan mencegah pada perbuatan mungkar.
Seruan ini sangat penting untuk kita tegakkan sebab ini kaitannya dengan pertama masalah kemaslahatan. Masih banyak masyarakat yang masih membutuhkan pencerahan terkait dengan masalah keagamaan yang mana mereka masih belum tersentuh sama sekali dengan terangnya lampu-lampu keislaman. Masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang hukum halal, haram, makruh, mubah dan sunnahnya suatu perbuatan.
Begitu amat pentingnya seruan ini sehingga Allah menggambarkan bagi orang yang tidak menegakkan seruan ini tergolong sebagai orang yang rugi, sebagaiamana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ashr, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi melainkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dalan saling mengingatkan pada kebenaran dan saling mengingatkan pada kesabaran”.
Lantas, siapa lagi yang akan mengingatkan? Tentu saja kita yang memegang tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar sebagai juru dakwah yang diamanahi sedikit ilmu oleh Allah Ta’ala. Kita berangkat dari keyakinan bahwa orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an, sebagai mana disabdakan Rosulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadistnya, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an,” (HR. Bukhari)
Hadist di atas sudah cukup sering kita dengarkan. Semua sepakat. Itulah formula yang dapat mengangkat umat Islam dari ketertinggalannya, dan mengantarkan mereka pada suatu kebangkitan yang didambakannya. Namun pertanyaannya sekarang, sudah seberapa jauhkan umat Islam memahami Al-Qur’an? Dan sudahkah umat Islam mengamalkan Qur’an?
Tanpa pemahaman dan pengalaman yang benar terhadap Al Qur’an, maka label sebaik-baik manusia itu tidak akan berarti apa-apa, kualitas khoiru ummah akan sirna.
Gerbang utama untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat adalah dengan ilmu, sedangkan ilmu yang paling utama adalah mempelajari Al-Qur’an dan mempelajari makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an, serta mengamalkan ilmu tersebut, bukan hanya hafalan yang kosong dari pemahaman maknanya.
Keutamaan majelis ta’lim Al-Qur’an, dan yang menguatkan hal ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam satu rumah dari rumah-rumah Allah Ta’ala -yang mereka membaca Al-Qur’an dan mengkaji makna-makna di dalamnya di antara sesama mereka-, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan rahmat yang meliputi mereka, para Malaikat akan menaungi mereka dan Allah Ta’ala akan menyebut nama-nama mereka di sisi-Nya.” (HR. Abu Dawwud, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu).
Mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya di mesjid-mesjid adalah amalan mutawwatir yang terus diamalkan kaum muslimin dari satu generasi ke generasi lainnya, bersamaan dengan perbedaan zaman-zaman mereka dan berjauhannya kota-kota mereka. Termasuk saksi dari generasi awwal terhadap masalah ini adalah perkataan Suwaid ibni ‘Abdil’Aziiz berikut:
“Adalah dahulu Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu jika selesai melaksanakan shalat shubuh di mesjid jami’ Damaskus, beliau mengumpulkan manusia untuk membaca Al-Qur’an.
Maka beliau membuat kelompok-kelompok dengan 10-orang tiap kelompoknya, dan di setiap kelompok tadi ada satu orang yang memimpin, yakni yang paling pandai membaca di kelompok tersebut. Dan sementara beliau berdiri di mihrab dan terus memantau dengan pandangannya.
Maka jika salah seorang di antara mereka salah dalam qira’ahnya, mereka menyerahkan perkaranya kepada pemimpin kelompok tadi, dan apabila si pemimpin kelompok tadi juga jatuh dalam kesalahan, maka mereka menyerahkan perkaranya kepada Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu untuk ditanyakan tentang perkara tersebut. Adalah Ibnu ‘Amir, salah seorang pemimpin kelompok yang mempunyai anggota 10-orang tadi”.
Maka ketika Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu telah wafat, beliau digantikan oleh Ibnu ‘Amir dalam memimpin tradisi halaqah ta’lim Al-Qur’an itu. Budaya mentadabburi Qur’an ini juga telah diejawantah oleh Pesantren Hidayatullah dengan halaqah rutin setiap ba’da sholat Shubuh, Ashar, dan Isya’ serta program Gerakan Nasional Membaca dan Belajar Al Qur’an (Grand MBA).
Oleh karena itu mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi hidup dan kehidupan kita. Raihlah kebahagian hidup dengan Al-Qur’an. Sehingga ketika hidup dan kehidupan kita sejalan dengan rambu-rambu yang ada dalam Al-Qur’an, maka layak bagi kita untuk mendapatkan predikat khairo ummah dan muttaqin. Wallahu a’lam.
____________
KHAIRUL UMAM, penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Haqim (STAIL), Pesantren Hidayatullah Kota Surabaya , Jawa Timur.