AdvertisementAdvertisement

Mengenang Ustadz Amin Bahrun dan Histori Hidayatullah Manokwari

Content Partner

Santri awal Hidayatullah Manokwari (Dokumentasi Pribadi/ Syarif Bastian)

DALAM rangka membuka cabang Pesantren Hidayatullah di wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT), Ustadz Abdullah Said menyebarkan para kader ke berbagai daerah di Sulawesi, Maluku, dan Papua. Penugasan ke wilayah IBT ini memiliki tantangan yang relatif lebih berat dibandingkan wilayah lain.

Tantangan utama adalah letak geografis yang sulit dijangkau, sarana transportasi yang terbatas, sebagian penduduknya non-Muslim, serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah. Tantangan lain meliputi risiko nyamuk malaria dan gangguan keamanan dari kelompok separatis.

Ungkapan guyon bahwa di Papua “nyamuknya sebesar anak ayam” menggambarkan betapa besar dan ganasnya penyakit malaria di Irian Jaya waktu itu. Ini bukanlah sekadar berita bombastis, melainkan realitas di mana hampir tidak ada seorang pun yang bertugas di sana yang luput dari gigitan nyamuk malaria.

Pada tahun 1987, Ustadz Karim Bonggo diundang oleh komunitas Makassar di Manokwari untuk mengisi acara Isra’ Mi’raj. Namun, beliau hanya tinggal beberapa hari dan belum ada tugas untuk mendirikan cabang di sana.

Setahun kemudian, pada 1988, Ustadz Abdullah Said mengirimkan dua ustadz senior untuk membuka cabang Hidayatullah di Papua. Ustadz Suwardhani Sukarno bersama istrinya ditugaskan ke Jayapura, ditemani dua santri bujang, Dzulkhair dan Dadang.

Sementara itu, Ustadz Amin Bahrun bersama istrinya, Ustadzah Atika, serta dua anak mereka, Abu dan Fatahuddin, berangkat ke Manokwari. Setahun kemudian, putra beliau, Syarif Bastian, menyusul ke Manokwari.

Berbekal informasi dari Ustadz Karim Bonggo bahwa ada komunitas Muslim Makassar di sebuah kompleks perumahan, Ustadz Amin Bahrun langsung menuju ke sana.

Kedatangannya disambut dengan antusias karena dakwah dan pembinaan masih sangat jarang saat itu. Beliau diberikan fasilitas rumah untuk tempat tinggal serta dipenuhi kebutuhan sehari-hari. Tugasnya meliputi menjadi imam salat dan memakmurkan masjid dengan kajian-kajian keislaman.

Program pertama yang dijalankan oleh Ustadz Amin Bahrun adalah mencari orang-orang yang bisa dijadikan kader atau setidaknya mendukung pendirian pesantren. Metodenya adalah dengan mengisi pengajian di beberapa masjid kompleks perumahan serta mengadakan kajian mahasiswa di Universitas Cenderawasih.

Sebagai seorang dai berlatar belakang guru, penyampaian Ustadz Amin Bahrun sangat disenangi masyarakat. Beliau lulusan Sekolah Guru Bahasa (SGB), dikenal sebagai kutu buku yang gemar membaca dan menghafal, terutama tentang sejarah.

Bahkan, buku komik pun dibacanya dengan lahap, yang ternyata bermanfaat dalam berdakwah, karena beliau sering menyelipkan cerita sejarah maupun kisah dari komik dalam ceramahnya.

Keahlian lain yang jarang dimiliki orang lain adalah kemampuan mengetik 12 jari tanpa melihat. Saat khutbah atau pengajian, beliau sering menulis sendiri materi dakwahnya menggunakan mesin ketik yang selalu dibawanya (seolah seperti laptop pada zaman sekarang).

Dalam berdakwah, beliau menyesuaikan metode penyampaiannya dengan audiens. Jika berbicara di depan mahasiswa atau pegawai terpelajar, beliau menggunakan papan tulis serta diskusi mendalam dengan istilah-istilah ilmiah, layaknya seorang dosen mengajar.

Untuk jamaah masjid yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu, beliau menggunakan metode pengajian biasa, diselingi cerita dan humor agar mudah dicerna. Saat membina pejabat, pengusaha, atau militer, beliau menggunakan bahasa formal dan analogi yang logis. Dakwahnya mudah dipahami dan diterima oleh berbagai kalangan.

Selain pengajian rutin, beliau juga sering diundang mengisi pengajian insidental, terutama dalam Peringatan Hari Besar Islam seperti Isra’ Mi’raj dan Maulid Nabi Muhammad.

Setelah kurang lebih satu tahun tinggal di kompleks Muslim Makassar, semakin banyak jamaah binaan yang loyal. Akhirnya, beliau menyampaikan maksud dan tujuan tugasnya di Manokwari, yaitu mendirikan cabang Pesantren Hidayatullah.

Salah satu jamaah binaannya, H. Irsal, langsung mewakafkan kurang lebih satu hektar tanah untuk mendirikan pesantren. Saat itu, tanah tersebut masih berupa gunung, rawa-rawa, dan hutan, serta jauh dari kota sehingga dianggap kurang strategis.

Setelah mendapatkan tanah wakaf, Ustadz Amin Bahrun memutuskan meninggalkan kompleks Muslim Makassar dan tinggal di tanah tersebut, meskipun jauh dari permukiman.

Keputusannya tersebut mengundang keheranan banyak orang, mengingat beliau bisa tinggal lebih nyaman di kompleks yang memiliki fasilitas lengkap. Namun, dengan keyakinan dan tekad yang kuat, beliau tetap memilih tinggal di tanah wakaf tersebut.

Ustadz Amin Bahrun bersama sang istri, Atikah, serta kedua putranya, Fatahuddin dan Abu Bakar (Dokumentasi Pribadi/ Syarif Bastian)

Ketika mendengar rencana pendirian pesantren, hampir semua jamaah turut membantu. Haji Ape, seorang pengusaha kayu, menyumbangkan alat senso untuk menebang kayu.

Tak mau ketinggalan, jamaah lainnya mengumpulkan bahan bangunan seperti kayu, paku, dan seng untuk membangun asrama, mushola, serta aula. Tenaga kerja pun disediakan, dengan beberapa jamaah mengadakan kerja bakti pada hari libur demi mempercepat pembangunan.

Pembuatan sumur juga menjadi prioritas agar tersedia air bersih bagi santri. Ustadz Amin Bahrun ingin memastikan fasilitas dasar tersedia sehingga santri tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam waktu yang relatif singkat, berdirilah asrama santri berukuran 8×15 meter, aula sederhana berukuran 10×15 meter, dan mushola berukuran 8×10 meter, serta fasilitas MCK. Dengan fasilitas yang semakin representatif, santri mulai berdatangan dan kegiatan pembelajaran berjalan baik di kelas maupun masjid.

Pada tahun 1991, Ustadz Amin Bahrun berangkat menghadiri Silaturahim Syawal di Hidayatullah Gunung Tembak dan tidak kembali lagi ke Manokwari. Meski banyak karya dan prestasinya selama di Manokwari, beliau kemudian ditugaskan untuk berdakwah di wilayah lain.

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sebagai tajuk “Laporan Perjalanan” di sela sela kunjungannya ke Papua beberapa waktu lalu. Disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Ustadz Syarif Bastian.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Dik Doank Berbagi Buka Puasa Bersama Santri Hiswah, Semangat untuk Hafidz Qur’an

BOGOR (Hidayatullah.or.id) -- Suasana penuh kebersamaan terasa di Pesantren Hiswah Bilabong, Jalan Raya Bilabong Permai, Cimanggis, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img