AdvertisementAdvertisement

Menghidupkan Kembali Masjid sebagai Pusat Peradaban

Content Partner

MASJID sering direduksi hanya sebagai ruang ibadah ritual seperti shalat, dzikir, dan kajian rutin. Padahal jika menengok ke masa Rasulullah ﷺ, fungsi masjid jauh lebih luas dan fundamental.

Masjid bukan sekadar tempat rukuk dan sujud, melainkan pusat peradaban yang menggerakkan seluruh denyut kehidupan umat. Untuk memahami hal tersebut, diperlukan kejelasan mengenai makna peradaban itu sendiri.

Peradaban, sebagaimana dijelaskan KH Suharsono Darbi dalam bukunya “Membangun Peradaban Islam: Menata Indonesia Masa Depan dengan Al-Qur’an”, adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Definisi ini dapat diperluas, bahwa, peradaban adalah perwujudan konkret dari landasan akidah pada seluruh sektor kehidupan.

Dengan demikian, peradaban Islam lahir ketika nilai tauhid teraktualisasi dalam pendidikan, sosial, ekonomi, politik, kesehatan, pertahanan, dan seluruh dimensi kehidupan seorang muslim.

Dari kerangka ini dapat dipahami bahwa peradaban bukan semata infrastruktur atau capaian teknologi. Ia adalah arah hidup, orientasi nilai, dan tata kelola masyarakat yang bersumber dari keyakinan.

Pada masa Rasulullah ﷺ, pusat dari seluruh arah peradaban itu berada di Masjid Nabawi. Masjid menjadi fondasi tempat kehidupan umat diikat, diatur, dan diarahkan berdasarkan manhaj nabawi dan syariat Islam.

Dalam bidang tarbiyah, Masjid Nabawi berfungsi sebagai ruang pembinaan iman dan ilmu. Para sahabat menghadiri halaqah, belajar langsung dari Rasulullah ﷺ, menerima nasihat, dan menyerap ajaran Islam melalui interaksi harian.

Masjid pada masa itu bukan ruang singgah untuk belajar lalu pulang, melainkan institusi pembentuk karakter, tempat tumbuhnya generasi yang matang secara intelektual dan spiritual.

Dari aspek kesehatan, masjid berperan sebagai pusat penanganan darurat. Ketika terjadi peperangan, para pejuang yang terluka dirawat di Masjid Nabawi, dan para muslimah berperan sebagai perawat. Fakta ini menunjukkan bahwa masjid memberi ruang kontribusi kepada perempuan dalam kerja peradaban dan tidak membatasi fungsinya hanya pada satu ranah.

Dalam bidang militer, masjid menjadi pusat konsolidasi dan perencanaan strategi. Rasulullah ﷺ mengumpulkan para sahabat sebelum berangkat berperang, menyusun taktik, dan menguatkan mental umat dari dalam masjid. Hal ini menunjukkan bahwa pertahanan tidak dilepaskan dari nilai spiritual, tetapi justru bertumpu pada tauhid sebagai sumber kekuatan.

Pada aspek pemerintahan dan sosial, masjid berfungsi sebagai balai musyawarah, forum diplomasi, ruang penyelesaian masalah publik, hingga kantor pelayanan masyarakat. Delegasi dari berbagai kabilah menemui Rasulullah ﷺ di masjid. Masalah sosial ditangani di sana, dan kebijakan dibicarakan bersama para sahabat. Secara fungsional, masjid pada masa Rasulullah ﷺ merupakan balai kota, pusat komunikasi, sekaligus kantor pemerintahan umat.

Di era teknologi seperti sekarang, peluang untuk menghidupkan kembali fungsi peradaban masjid justru semakin besar. Digitalisasi manajemen, transparansi keuangan, aplikasi zakat-infak-wakaf, serta penguatan tata kelola takmir dapat mempercepat pelayanan jika dirancang secara profesional dan berkelanjutan.

Salah satu contoh konkret adalah Masjid Jogokariyan di Yogyakarta. Masjid ini dikenal karena pengelolaannya yang tidak menumpuk dana di kas, melainkan mengembalikannya kepada masyarakat. Program sosial berjalan aktif, fasilitas ibadah terawat, dan jamaah merasakan pelayanan yang hadir dalam keseharian. Masjid menjadi mitra masyarakat, bukan sekadar bangunan ritual.

Di berbagai wilayah lain, pelatihan takmir mulai menekankan pengelolaan digital, pemetaan kebutuhan jamaah, hingga penyusunan program sosial yang berkelanjutan. Semua ini bertujuan mengembalikan masjid pada fungsi aslinya sebagai pusat pembinaan, pelayanan, dan pemberdayaan umat.

Apabila masjid kembali dihidupkan sebagaimana pada masa Rasulullah ﷺ, umat akan terbiasa berkumpul, bersinergi, memperkuat ukhuwah, dan bekerja dalam arah yang sama. Pada titik itu, masjid bukan lagi struktur fisik, melainkan pusat kekuatan kolektif umat.

Principle tersebut selaras dengan firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kukuh.” (Q.S. As-Shaff: 4)

Ayat ini menegaskan pentingnya kerapian barisan dan kesatuan langkah. Islam tidak bangkit hanya oleh semangat individu yang terpisah-pisah, tetapi oleh jamaah yang bersatu dalam satu visi dan saf yang kokoh. Semua itu sangat mungkin dimulai dari satu bangunan yang selama ini sering dipahami secara sempit sebagai tempat ibadah belaka: masjid.[]

*) Mercyvano Ihsan, penulis santri Kelas X peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Munas VI Mushida Teguhkan Peran Perempuan sebagai Penyangga Ketahanan Keluarga

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) ke-VI Muslimat Hidayatullah (Mushida), berbagai agenda persiapan terus dimaksimalkan untuk memastikan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img