DARI Anas bin Malik RA ia berkata Rasulullah SAW bersabda, “jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka Ia memanfatkannya, ” lalu dikatakan, “Bagaimana Ia memanfaatkannya?” Beliau menjawab, “Allah memberi taufiq kepadanya untuk beramal shalih sebelum wafat.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dihasankan oleh Albani).
Setiap makhluk hidup pasti mati. Tapi model manusia dalam menghadapi kematian tidaklah sama. Ada yang meninggal dalam keadaan khusnul-khatimah, ada pula yang su’ul-khatimah.
Khusnul-khatimah adalah dambaan setiap orang. Namun untuk meraih predikat mulia ini tidak mudah. Mujahadah mutlak selalu dihadirkan. Doa harus selalu terucap. Tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Tak seorangpun bisa memastikan model kematiannya. Hanya Allah SWT yang tahu perkara ghaib itu. Kita hanya dibekali dengan ciri dan sebab untuk meraih khusnul-khatimah dan menghindari su’ul khatimah.
Melalui Hadist di atas, Rasulullah SAW mengabarkan jika seorang hamba dikehendaki kebaikan di akhir hayatnya, Allah SWT menjadikannya berada di atas ketaatan.
Ali al-Qari berkata, “Ia senantiasa dalam ketaatan dan taubat saat ajal menjemputnya hingga akhirnya wafat dalam keadaan khusnul-khatimah. (MirqatulMafatih syrahu Misykatul-Mashabih, juz 8, hal 3310).
Saat menjelang kematian amatlah rawan. Saat itu setan gigih menjerumuskan. Ia tahu jika waktu menjelang kematian adalah kesempatan terakhir. Di saat yang sama sebagian manusia sangat lemah. Hatinya sibuk memikirkan penyakit atau urusan dunia yang ditinggalkannya.
Ibnul Qayyim pernah mengingatkan, “Jika seorang hamba dalam keadaan segar pikirannya, kuat fisiknya, sempurna ingatannya bisa dikuasai oleh setan dan dikendalikan sesuai kehendaknya dalam maksiat, hatinya dibuat lalai dari mengingat Allah, lisannya macet dari dzikir, anggota tubuhnya tidak hergerak untuk ketaatan, lalu bagaimana jika dalam keadaan lemah Iisiknya, hatinya sibuk menghadapi perihnya penyakit, sedangkan setan mengumpulkan dan mengerahkan seluruh kekuatan agar bisa menundukkannya karena saat sekarat adalah kesempatan terakhir? Dalam kondisi seperti itu setan amat kuat dan manusia sangat lemah.” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’ hal 143).
Sebuah karunia besar jika dalam kondisi seperti itu seseorang bisa tetap teguh dalam amal shalih. Taubat dan ketaatan yang melekati hari-harinya menjadi penghapus dosa yang sangat ampuh. Alhasil, ia menghadap Allah SWT dengan selamat.
Rasulullah SAW bersabda, “jika Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah mensucikanya.” Para Sahabat bertanya, “Bagaimana Ia mensucikannnya?” Nabi bersabda, “Ia diberi ilham untuk beramal shalih lalu diwafatkan di atas amal shalih yang dilakukannya. ” (Riwayat ath-Thabrani).
Segera Bertaubat
Setiap Muslim butuh untuk selalu bertaubat, sebab sudah tertetapkan bahwa manusia adalah tempatnya dosa dan kesalahan. Sikap kita hendaknya senantiasa meneladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW dan para Sahabat.
Meski telah terampuni dosanya, Rasulullah SAW tetap gigih bertaubat Beliau pernah menyatakan, “Sesungguhnya aku bertaubat seratus kali setiap harinya.” (Riwayat Muslim).
Demikian pula para Sahabat. Meski telah meraih predikat sebagai manusia yang diridhai, mereka masih herderai air mata karena mengingat dosa dan takut akan ancaman Allah. Dosa adalah sumber segala keburukan. Tapi dengan taubat, sumber itu akan tertutup. Taubat akan menjadi sumber datangnya kebaikan. Orang yang tadinya terhina oleh dosanya bisa kembali mendekap kemuliaan. Orang terancam masuk neraka berubah dengan janji surga.
Dalam kisah yang shahih Nabi SAW pernah becerita tentang lelaki yang membunuh seratus jiwa. Dan Allah SAW mengampuninya meskipun belum ada kebaikan yang sempat ditorehkan selain bertaubat. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya efek taubat.
Ciri Orang Shalih
Dalam memandang dosa, manusia tidaklah sama. Ada yang sangat sensitif. Sekecil apapun dosa itu terasa sangat mengganjal dan mengerikan. Inilah sifat seorang Mukmin. Ada pula yang menganggapnya enteng. Jangankan yang kecil, dosa besar pun tak menimbulkan kegelisahan. Berbuat dosa menjadi sangat mudah bahkan dianggap lumrah.
Anas bin Malik pernah berkata, “Sesungguhnya kalian mengerjakan suatu dosa yang kalian anggap lebih ringan daripada sehelai rambut, padahal dahulu kami dan para Sahabat menganggapnya sebagai sesuatu yang membinasakan.” (Mawaidzush-Shahabah, hal 105).
Ucapan diatas membuktikan, keshalihan seseorang selalu berbanding lurus dengan kejeliannya dalam melihat dosa dan akibatnya. Semakin shalih maka semakin giat dalam bertaubat. Inilah yang sangat mencolok dalam sejarah para salafus-shalih. Mereka menangis dan merasa bersalah oleh suatu dosa yang boleh jadi dianggap sepele oleh kebanyakan manusia.
Penghalang Khusnul Khatimah
Su ’ul-khatimah adalah perkara yang sangat menakutkan bagi seorang Mukmin. Para salaf menangis meminta kepada Allah SWT agar terhindar darinya Mereka sangat paham jika amal shalih yang dilakukan belum bisa memastikan dirinya khusnul-khatimah. Apalagi terdapat Hadits Nabi SAW:
“Dan sungguh seorang benar-benar mengamalkan amalan ahli surga hingga tak ada lagi jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta, tapi catatan takdirnya tercatat sebagai ahli neraka lalu beramalah dia dengan amalan ahli neraka lalu ia memasukinya.” (Muttafaqunalaih).
Penyebab terbesar su’ul-khatimah adalah rusaknya hati. Perusak hati yang terbesar adalah kesyirikan. Akibat kesyirikan, amalan yang ia tampilkan tidak sama dengan apa yang tersembunyi dalam hati. Abdul Haq al-Isybili berkata, “Dan ketahuilah bahwa su’ul-khatimah tidaklah menimpa orang yang istiqamah lahir dan batin, kita tidak mendengar atau mengetahui hal itu, akan tetapi su’ul-khatimah menimpa orang yang rusak aqidahnya, kontinyu dalam dosa besar…” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal 391).
Wahai para pengharap khusnul khatimah, mari berhenti dari kepura-puraan. Manusia bisa dibohongi tapi Allah SWT tidak. Belajarlah untuk menyesuaikan tampilan yang baik dengan apa yang tersimpan dalam hati. Semoga Allah memberikan kita khusnul khatimah. Amin.
Majalah Suara Hidayatullah Edisi September 2018