DALAM sebuah organisasi dan gerakan apapun itu bentuknya, yang menginginkan untuk sustain, berjalan lama melintasi generasi, pastilah mempersiapkan generasi pelanjut untuk meneruskan visi dan misi yang sudah ditetapkan. Biasanya dua kelompok besar yang dikader dalam melakukan proses regenerasi ini.
Pertama adalah mempersiapkan kader biologis. Dimana mereka adalah orang-orang yang memiliki garis keturunan dan lahir dari keluarga yang sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Sehingga secara otomatis mereka sudah termasuk sebagai kader organisasi itu. Selanjutnya dianggap sudah paham dengan seluruh aturan yang ada di dalam organisasi tersebut, karena sudah berinteraksi sejak lahir dengan orang tuanya yang memang sudah menjadi kader, dan menjadi bagian dari ekosistem yang ada. Sehingga pada gilirannya diharapkan akan meneneruskan estafeta kepemimpinan organisasi dimaksud.
Kedua adalah mempersiapkan kader ideologis, yaitu orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi itu, setelah melakukan interaksi yang cukup panjang. Mereka awalnya outsider, yang kemudian bergabung di dalamnya. Sehingga untuk mendapatkan gelar kader organisasi itu, setelah mengikuti pendidikan ataupun proser perkaderan berjenjang serta pembinaan yang ada di organisasi tersebut.
Konsekwensinya, kader ideologis ini faham atas seluruh proses, aturan yang ada dalam organisasi, dan selanjutnya menjadi bagian dari organisasi tersebut di berbagai struktur dan underbow-nya, untuk ikut andil dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan organisasi dimasa mendatang.
Jika melihat proses dan penjelasan dua model kader tersebut di atas, secara sekilas kita pasti berkesimpulan bahwa kader biologis akan lebih militan. Sebab sejak kecil dia telah berada dalam bi’ah (lingkungan) dimana orang tuanya yang memang kader. Ada proses tranformasi menyertai pertumbuhannya. Sehingga setiap aktifitasnya untuk organisasi pasti didukung lingkungan sekitarnya. Apalagi jika didukung dengan mengikuti jenjang kekaderan yang ada.
Beda dengan kader ideologis yang notabene bukan berasal bagian organisasi sejak awal. Maka ketika hendak menjadi bagian dari organisasi, maka harus berbagai cara, dari jenjang perkaderan tingkat bawah, hingga pada tingkat tertentu untuk mendapatkan “pengakuan” sebagai kader. Dan selanjutnya dapat berkecimpung dan menjadi bagian ataupun pengurus organisasi tersebut.
Dengan demikian maka, jika kita hanya melihat dari sisi nasab atau keturunan, maka yang berpeluang besar untuk berjuang melanjutkan estafeta kepemimpinan di organisasi adalah kader biologis. Namun, jika kita melihat dari segi tantangan dan perjuangan, dan kematangan karena digembleng melalui serangkain proses perkaderan, maka kader ideologislah yang lebih memiliki militansi, sebab perjuanganya cukup keras dan panjang, baik berjuang untuk meyakinkan diri dan keluarganya, maupun meyakinkan organisasi.
Apakah benar demikian? Sebab jika kita lihat realita di lapangan ternyata dijumpai banyak kader biologis yang tidak mau mengurusi organisai. Bahkan ada juga yang berlawanan jika tidak dikatakan memusuhi. Hal ini bisa terjadi karena banyak kemungkinan; bisa jadi karena proses transformasi ideologi dari orangtuanya yang kurang karena kesibukanya, jenuh dengan rutinitas, kebiasaan dan lingkungan yang ada, kecewa dengan apa yang terjadi dengan orang tuanya dan langsung dikaitkan dengan organisasi, enggan mengikuti jenjang perkaderan karena merasa memiliki privilege, dan lain sebagainya.
Sehingga seringkali justru sebaliknya yang terjadi pada kader ideologis. Sebab kebanyakan kader ideologis inilah yang lebih giat dalam memajukan serta mengembangkan organisasi untuk kemaslahatan umat.
Sejatinya, militan atau tidaknya seseorang itu tergantung dari seberapa besar kecintaan dan kesadaranya dalam berorganisasi. Tentu saja setelah melalui serangkaian proses pembinaan dan perkaderan. Sebab, tidak mungkin sebuah perjuangan bisa berjalan dengan baik, kalau tidak dilandaskan rasa cinta didalamnya.
Jangan Mempertentangkan
Kita tidak dapat kemudian mempertentangkan secara diametral antara kader biologis dan kader ideologis mana yang lebih unggul. Namun, setidaknya kita harus melakukan proses untuk menjadikan kader biologis yang ideologis dan kader ideologis yang biologis. Bagaimana caranya?
Dalam surat al-Baqarah: 33, merupakan contoh ideal bagaimana Nabi Ya’qub as mempersiapkan kader biologis yang ideologis. Firman Allah ta’ala:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
Ayat ini berkenaan dengan Nabi Ya’qub yang sudah memiliki tanda-tanda akan kematiannya. Maka Nabi Ya’qub mengumpulkan anak keturannya untuk mentajdid ulang atas pemahaman mereka.
Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur, menafsirkan ayat ini dengan cukup indah. Ketika diajukan pertanyaan oleh Nabi Ya’qub a.s kepada anak-anaknya {مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى} “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”, { قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ } “Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu”, { وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي } “Dan aku pengikut agama bapak-bapakku” [ Yusuf : 38 ], { إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ } “”sesunggguhnya kami mendapati leluhur kami di atas suatu ajaran dan agama, dan sesungguhnya kami hanya mengikuti dan meneladani manhaj dan jejak mereka” [ az-Zukhruf : 23 ].
Konsistensi para ayah dan orang-orang tua atas apa yang menjadi kewajiban mereka sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri anak-anak dan keturunan-keturunan mereka. Dan hal ini merupakan perkara yang sebagian besarnya adalah nyata dan perkara ini tidak mungkin diingkari. Maka dapat dipastikan bahwa hidayah itu bisa menjadi warisan yang turun temurun terus berlanjut secara fitrah.
Adapun kesesatan sebagian besarnya disebabkan oleh fanatisme golongan. Oleh karena itu menjadi sebuah kewajiban bagi seorang ayah melindungi keluarganya dari perkara ini, dan jika kamu menghendaki untuk anak-anak dan keturunan-keturunanmu berada dalam kebaikan maka jadilah kamu orang tua yang baik { وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا } “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh” [al-Kahfi 82].
Dari sini jelas menunjukkan bagaimana kapasitas dan kapabilitas Nabi Ya’qub a.s sebagai seorang ayah dalam melakukan transformasi ideologis terhadap anak keturunannya. Bahkan konsistensi dalam pendampingan serta mengujinya terus dilakukan hingga menjelang ajal. Seolah menjelaskan bahwa, Nabi Ya’qub telah menyiapkan kader-kader biologisnya untuk selanjutnya menjadikan kader ideologis.
Dan ingat, Beliau saat mengumpulkan anak-anaknya itu, berwasiat berkenaan dengan perkara tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan urusan dunia. Dan ini patut menjadi uswah bagi setiap orang tua.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana proses kader ideologis menjadi kader biologis. Sirah Nabawiyah telah mengajarkan dengan cukup indah bagaimana kemudian Rasulullah saw beserta sahabatnya saling menjadikan besan dan bahkan saling menjadikan menantu.
Dari proses ini terjadilah ikatan kekerabatan dan kekeluargaan yang demikian kuat dan kokoh. Pada gilirannya, anak keturunannya juga akan berlanjut menjadi kader biologis yang ideologis sekaligus sebagai kader biologis yang ideologis. Sebuah proses perkaderan yang patut diwarisi oleh generasi saat ini dan masa mendatang. Wallahu a’lam
Asih Subagyo│Senior Researcher Hidayatullah Institute