UMAR bin Khattab pernah berkhutbah dalam suatu kesempatan di musim haji. Beliau berkata, “Wahai manusia, ingatlah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa meminta perlindungan dari lima perkara. (Beliau berdoa): ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kebakhilan dan kelemahan hati. Aku berlindung kepada-Mu dari usia yang buruk. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah isi hati. Dan, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (Riwayat Ibnu Hibban. Hadits shahih, ‘ala syarthi muslim).
Hadits di atas sebenarnya juga diriwayatkan oleh banyak imam yang lain, seperti Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad, dengan derajat berbeda-beda sehingga saling menguatkan satu sama lain.
Oleh karenanya, sangatlah menarik untuk dipahami apa hakikat di baliknya. Dalam hadits ini, beliau mengajari kita bagaimana caranya memohon perlindungan kepada Allah, juga merinci lima persoalan penting yang harus kita perhatikan.
Pertanyaannya, mengapa Rasulullah sampai secara khusus memohon kepada Allah agar dijauhkan darinya, padahal masih banyak hal-hal lain yang juga tidak kalah buruknya?
Imam al-Manawi menjelaskan makna hadits di atas dalam Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir.
Pertama, yang dimaksud dengan “kebakhilan” adalah ketidaksediaan seseorang untuk membagi kelebihan yang dimilikinya kepada orang lain, terlebih-lebih lagi kepada orang yang membutuhkan. Ia lebih suka untuk menumpuk dan menimbunnya sendiri.
Sungguh benar. Kebakhilan adalah penyakit yang sangat membahayakan masyarakat. Dewasa ini, kapitalisme menguasai dunia, dan secara terbuka mengajarkan penumpukan harta, egoisme, serta keengganan untuk berbagi.
Seringkali, yang diajarkan adalah: “Jika bisa saya ambil semua, maka buat apa saya sisakan untuk orang lain?” Inilah yang melatari nafsu-nafsu monopoli, korupsi, suap, konglomerasi, dan kemewahan.
Karena kebakhilan segelintir orang, maka kemiskinan dan ketidakadilan merajalela. Sungguh, fenomena kemiskinan telah ada sejak masyarakat manusia terbentuk, namun tidak akan menjadi sepedih sekarang ini jika kaum kaya bersikap pemurah dan penguasa berbuat adil.
Kedua, yang dimaksud “kelemahan hati” adalah sifat pengecut, yakni ketidakberanian untuk melaksanakan apa yang seharusnya. Bentuk paling kritisnya ada di medan jihad, ketika seseorang melarikan diri dan mencari keamanan bagi dirinya sendiri.
Namun, ada banyak bentuk lebih rendah dari kepengecutan ini. Ketika seseorang membatalkan niat berjilbab semata-mata karena tidak berani menanggung komentar teman-temannya, maka inilah kepengecutan.
Ketika sepasang muda-mudi lebih asyik berpacaran, semata-mata didorong oleh nafsu dan aneka ilusi ketakutan untuk menjalani pernikahan, maka inilah kepengecutan. Ketika pemimpin memutuskan kebijakan yang sebenarnya merugikan rakyat, semata-mata karena tekanan atau takut kehilangan kekuasaan, maka inilah kepengecutan.
Dewasa ini, sikap-sikap hati yang lemah telah mendorong banyak orang untuk sekedar mengikuti tren, bukan mencari jalan yang paling baik dan benar di mata Allah. Inilah pragmatisme, yakni menimbang sesuatu menurut keuntungan jangka pendek yang bisa diraih, dan tidak perlu memikirkan akibat-akibatnya.
Menurut Al-Qur’an, kelemahan ini pasti bermula dari ketiadaan iman kepada Hari Akhir. Al-Qur’an menyitir perilaku orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat yang selalu bertindak berdasar prasangka, tanpa ilmu, dan hanya mengekor nafsu duniawi.
Memang, bisa jadi banyak orang yang secara lisan mengakui adanya akhirat, namun tindak-tanduknya samasekali tidak mencerminkan hal itu. Allah mengecam kalangan ini dalam firman-Nya,
“Dan diantara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir’, padahal sebenarnya mereka tidak beriman. Mereka hendak menipu Allah dan kaum beriman, padahal mereka tidak menipu melainkan dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya. Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah semakin memperparah penyakitnya. Bagi mereka siksa yang pedih disebabkan kebohongan mereka.” (Qs. al-Baqarah: 8-10).
Ketiga, yang dimaksud “usia yang buruk” adalah ketiadaan berkah. Tepatnya, usia yang sepi dari kebajikan dan justru diramaikan oleh penelantaran kewajiban. Istilah “usia” disini berarti tempo dan kesempatan yang diberikan Allah kepada masing-masing dari kita di dunia ini.
Betapa banyak orang yang usianya sia-sia. Masa kecilnya dipenuhi permainan, masa remajanya pun dipakai main-main. Lalu, saat dewasa tidak dijalani dengan kehati-hatian dan kesungguhan. Banyak orang yang sanggup bermain Play Station sehari penuh, namun gagal untuk duduk tenang menegakkan shalat dan berdzikir.
Tidak sedikit orang yang rela menabung untuk pergi rekreasi berkali-kali, namun samasekli tidak terpikir untuk naik haji. Terlalu banyak hal-hal melalaikan di dunia modern sekarang, dimana tidak ada seorang pun yang selamat darinya, kecuali yang dirahmati oleh Allah ta’ala.
Keempat, yang dimaksud “fitnah isi hati” adalah perasaan dan lintasan pikiran yang tidak terpuji, seperti dengki, dendam, dan akidah yang menyimpang. Rasulullah menegaskan bahwa kebaikan seluruh diri kita tergantung kebaikan hati.
Maka, memohon agar Allah selalu memperbaiki isi hati kita adalah permintaan yang tidak main-main. Berbagai hal – entah yang disadari atau tidak – pada dasarnya adalah cermin dari isi hati kita itu.
Kelima, beliau meminta perlindungan dari “siksa kubur”, entah yang manapun macamnya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits. Menurut Imam al-Manawi, siksaan ini biasanya bermula dari kecerobohan dan kesembronoan dalam melaksanakan perintah Allah maupun menjauhi larangan-Nya. Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar