
ACEH TENGGARA (Hidayatullah.or.id) — Dalam tradisi keindonesiaan, ulama dan pesantren senantiasa menjadi benteng moral masyarakat sekaligus ruang perjumpaan intelektual keislaman. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan Mudzakarah Ulama Dayah se-Aceh Tenggara yang digelar di Pondok Pesantren Hidayatullah Aceh Tenggara.
Acara ini dibuka langsung oleh Ketua Perhimpunan Pengajian Dzikir Tasawuf, Tauhid, dan Fikih (Tastafi) Aceh Tenggara, Abuya Tengku Haji Marhaban Husni pada Sabtu, 5 Rabi’ul Akhir 1447 (27/9/2025)
Kegiatan ini digelar sebagai bentuk perhatian ulama dan pimpinan dayah Aceh Tenggara terhadap dinamika umat Islam dewasa ini yang menghadapi problem baik internal maupun eksternal.
Forum mudzakarah juga menyinggung tantangan yang dihadapi masyarakat, mulai dari lemahnya iman, hilangnya rasa percaya diri umat Islam, gaya hidup hedonis, hingga dekadensi moral generasi muda.
Mudzakaroh tersebut diinisiasi oleh Himpunan Ulama Dayah Aceh Tenggara (HUDA) dengan tujuan mempererat silaturahmi sekaligus menyelenggarakan bahtsul masa’il dan diskusi fikih kontemporer. Dengan pendekatan ini, para ulama berharap mampu memberikan pemahaman hukum Islam yang praktis dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Selama sehari penuh, 52 ulama pimpinan dayah dari seluruh kecamatan di Aceh Tenggara berkumpul bersama tokoh masyarakat. Forum ini tidak hanya menjadi ajang temu silaturahmi, tetapi juga arena perumusan strategi keilmuan dalam menghadapi persoalan keumatan.
“Umat Islam seharusnya menjadi khoiru ummah, umat terbaik sekaligus pelopor. Maka, diperlukan kajian berkelanjutan agar wawasan masyarakat tentang syariat semakin kokoh,” tegas Abuya Marhaban.
Para ulama dalam forum itu menegaskan pentingnya kajian keislaman berkesinambungan yang meliputi berbagai aspek. Langkah ini dinilai strategis untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap halal-haram serta hukum Islam yang kerap diabaikan dalam dinamika kehidupan modern.
Salah satu keputusan penting dari forum mudzakaroh ini adalah kesepakatan untuk menyelenggarakan kegiatan serupa secara rutin dengan sistem bergilir di seluruh dayah Aceh Tenggara. Model rotasi ini diharapkan memperluas jangkauan dakwah, sekaligus memperkuat jaringan keilmuan antar-pesantren.
Program berkelanjutan ini dirancang sebagai bentuk kontribusi ulama dayah dalam menyelamatkan generasi muda dari krisis moral. Kehadiran ulama di ruang publik dipandang sangat relevan dalam menjawab tantangan zaman yang ditandai oleh arus informasi tanpa batas dan perubahan gaya hidup yang sering mengikis nilai religius.
Forum ini juga meneguhkan peran dayah atau pesantren sebagai benteng budaya, moral, dan spiritual yang terus berusaha menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia.