JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Persaudaraan Dai Indonesia (Posdai) sebagai gerakan swadaya dalam usaha pengembangan kapasitas dan kuantitas dai didodong untuk terus menghadirkan inovasi dalam menjawab tantangan kekinian. Demikian ditekankan Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Umat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Drs. Nursyamsa Hadis, saat menyampaikan arahan pada pembukaan Rapat Kerja Yayasan Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai) yang digelar di Jakarta, Sabtu, 18 Rajab 1446 (18/1/2025).
Nursyamsa menyoroti berbagai tantangan dakwah Islam di era modern sekaligus menggarisbawahi pentingnya strategi inovatif untuk menghadapi perubahan zaman.
“Dakwah Islam saat ini menghadapi arus tantangan yang semakin kompleks. Di antaranya, digitalisasi, materialisme, sekularisme, serta pluralitas budaya dan agama. Semua ini menuntut pendekatan dakwah yang lebih strategis, inovatif, dan kontekstual,” ungkap Nursyamsa.
Digitalisasi dan maraknya penggunaan media sosial menjadi sorotan utama. Menurut Nursyamsa, meskipun media sosial memberikan peluang besar untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, platform ini juga membawa risiko besar. Penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat tentang Islam sering kali memengaruhi persepsi masyarakat.
“Di tengah derasnya arus informasi, pesan dakwah sering tenggelam di antara konten-konten lain yang tidak relevan. Tantangan kita adalah bagaimana memastikan pesan Islam yang autentik mampu menjangkau audiens yang lebih luas,” katanya, seperti dikutip dari laman posdai.or.id.
Nursyamsa menambahkan, generasi muda yang akrab dengan teknologi membutuhkan jawaban cepat dan relevan dengan kehidupan mereka. Hal ini memerlukan metode dakwah yang lebih inovatif dan dinamis. “Para dai harus mendidik diri mereka sendiri untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan efektif,” ujarnya tegas.
Sekularisme dan Materialisme
Selain digitalisasi, Nursyamsa juga menyinggung ancaman sekularisme dan materialisme yang semakin merasuki kehidupan masyarakat. Nilai-nilai ini kerap kali bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan spiritualitas dan moralitas.
“Masyarakat kita mulai mengadopsi nilai-nilai yang memprioritaskan kebendaan dan mengesampingkan aspek-aspek spiritual. Karena itu, dakwah Islam harus berfungsi sebagai pengingat, bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada materi tetapi juga pada hubungan dengan Sang Pencipta,” jelasnya.
Konteks pluralitas dan multikulturalisme Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri dalam dakwah Islam. Menurut Nursyamsa, penyampaian dakwah harus dapat menyesuaikan diri dengan konteks lokal tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.
“Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya, nilai-nilai Islam harus mampu merangkul semua kalangan, tanpa memandang latar belakang budaya atau agama. Namun, ini bukan tugas yang mudah. Para dai harus memahami konteks masyarakat mereka dengan baik,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya melawan stereotip negatif tentang Islam yang sering kali dikaitkan dengan radikalisme. “Tindakan radikal yang dikaitkan dengan Islam hanya memperburuk citra agama kita ini. Kita harus mengedukasi masyarakat tentang Islam yang memiliki jatidiri al wasathiyah,” tegasnya.
Nursyamsa juga mengingatkan bahwa dakwah yang efektif dimulai dari diri sendiri. Banyak umat Islam, menurutnya, yang masih belum memahami ajaran agama secara mendalam. Hal ini dapat menjadi hambatan besar dalam menyampaikan pesan Islam yang autentik.
“Pemahaman mendalam tentang Islam adalah kunci. Kita para para dai harus terus belajar, mengasah kemampuan, dan memperkaya ilmu agar mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi umat,” tuturnya.
Langkah Strategis PosDai
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, Nursyamsa menguraikan beberapa langkah strategis yang harus dilakukan PosDai dan para dai. Diantaranya dia mendorong adanya pemanfaatan teknologi secara bijak.
“Para dai harus dibekali dengan keterampilan memanfaatkan teknologi, sehingga pesan dakwah dapat menjangkau lebih banyak orang dan tetap nyambung di era digital,” katanya, seraya menekankan pentingnya penguasaan ilmu agama yang berkualitas.
Menurutnya, pendidikan agama harus dirancang untuk menghasilkan dai yang tidak hanya kompeten, tetapi juga mampu memahami konteks sosial-budaya masyarakat.
“Metode dakwah harus fleksibel dan kontekstual, sesuai dengan karakteristik audiens yang beragam. Hal ini penting untuk memastikan pesan Islam dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan,” ujarnya.
Berikutnya, Nursyamsa melihat pentingnya kolaborasi dengan berbagai Komunitas. Dia menegaskan bahwa kolaborasi dengan berbagai komunitas dan kelompok masyarakat merupakan cara efektif untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam.
Di penghujung sambutannya, Nursyamsa menyerukan pentingnya semangat kolaborasi dan pembaruan di kalangan para dai.
“Kita semua adalah bagian dari perjuangan dakwah Islam. Mari terus bergerak bersama untuk membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” imbuhnya sambil mendorong agar Rapat Kerja Yayasan Persaudaraan Dai Indonesia semakin memantapkan arah dakwah Islam di masa depan dan mampu menjadi motor penggerak dakwah yang inklusif dan relevan di tengah dinamika zaman. (ybh/hidayatullah.or.id)