
PALANGKARAYA (Hidayatullah.or.id) — Dalam suasana yang khidmat dan penuh semangat, ratusan kader Hidayatullah perwakilan dari berbagai penjuru Kalimantan Tengah berkumpul di Aula SMH Hidayatullah Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), 3-4 Dzulhijah 1446 (30–31/5/2025).
Mereka datang tidak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai bagian dari ikhtiar besar: menyambut 50 tahun kedua perjuangan Hidayatullah dengan kesadaran ideologis yang diperbarui.
Acara yang bertajuk “Temu Kader dan Upgrading Kader Ulaa-Wustha Hidayatullah Kalimantan Tengah” ini menghadirkan spektrum kader dari berbagai tingkatan mulai pengurus DPD, kader basis, serta organisasi otonom seperti Muslimat Hidayatullah (Mushida) dan Pemuda Hidayatullah. Lebih dari sekadar pertemuan rutin, forum ini dirancang sebagai ruang refleksi, konsolidasi, dan penajaman jati diri gerakan.
Kisman Maku, Ketua Dewan Murabbi Wilayah Hidayatullah Kalimantan Tengah, membuka kegiatan dengan penegasan tujuan strategisnya.
Kata dia, penguatan militansi kader bukanlah proyek jangka pendek, melainkan fondasi kelangsungan gerakan Islam dalam lanskap kebangsaan yang terus berubah.
“Kegiatan ini kami rancang untuk memperkuat semangat juang kader Hidayatullah Kalteng,” katanya.

Refleksi Memasuki 50 Tahun Kedua Hidayatullah
Puncak kegiatan ini ditandai dengan kehadiran dan paparan anggota Dewan Pertimbangan Pusat Hidayatullah, Dr. Ir. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakakkar atau karib disapa AQM.
Sebagai mantan anggota MPR RI tiga periode (1999–2014) dan kader tulen gerakan dakwah, Dr. Aziz membawa kredibilitas intelektual dan spiritual yang menyatu.
Dalam penyampaian reflektifnya, ia menguraikan empat warisan ideologis dari pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said, yang penting untuk dijaga dan dikembangkan. Keempat warisan ini menjadi jantung pemikiran gerakan.
Pertama, sistematika wahyu sebagai manhaj tarbiyah dan dakwah. Artinya, jelas dia, alur pendidikan dan penyadaran umat tidak boleh berpijak pada filsafat Barat ataupun pragmatisme dakwah belaka, tetapi harus berakar pada pola nuzul wahyu yang otentik.
“Wahyu bukan sekadar sumber hukum, melainkan struktur epistemologi yang membentuk cara pandang dan cara hidup,” terangnya.
Kedua, konsep kepemimpinan yang disebut imamah jamaah. Kepemimpinan dalam Hidayatullah, jelasnya, bukan sekadar struktur administratif, melainkan penggerak ruh kolektif yang bertumpu pada ketaatan, keteladanan, dan keberpihakan pada nilai-nilai Islam.
Ketiga, lembaga perjuangan yang dirumuskan sebagai Al Harakah Al Jihadiyah Al Islamiyyah. Dalam pengertian ini, terang Aziz, jihad bukan dalam makna sempit yang sering disalahpahami, tetapi sebagai totalitas perjuangan untuk menegakkan Islam dalam kehidupan—mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga sosial-politik.
Keempat, sistem berkampus sebagai ruang konkret peragaan ajaran Islam. Kampus dalam perspektif Hidayatullah bukan sekadar tempat belajar, tetapi miniatur masyarakat Islam yang ideal.
Terkait pilar kampus ini, Aziz mengutip pernyataan Pemimpin Umum Hidayatullah, KH Abdurrahman Muhammad: “Kampus Hidayatullah harus memiliki empat pilar, yaitu aktivitas ruhiyah (spiritual), aktivitas keilmuan, etika dan estetika, serta kepemimpinan dan manajemen.”
Kampus sebagai wadah aktivitas ruhiyah berarti seluruh warga kampus harus memakmurkan masjid dan menjadikan spiritualitas sebagai atmosfer utama.
Kedua, aktivitas keilmuan meliputi kajian keislaman yang terstruktur, termasuk program tahsin dan pembelajaran Al-Qur’an sebagai minimum wajib.
Berikutnya, kampus dengan pilar etika dan estetika, yakni menjadikan kampus sebagai ruang yang bersih, rapi, dan mencerminkan adab. Dan, terakhir, pilar kepemimpinan dan manajemen.
Dalam hal ini, Aziz menegaskan pentingnya struktur organisasi yang efektif dan efisien, demi terjaminnya gerakan yang terukur.
Sebagai penutup, Aziz menegaskan tiga prinsip jati diri Hidayatullah yang harus selalu menjadi identitas kolektif yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Jama’atun minal Muslimin, dan Al-Wasathiyah.
Ketiga identitas ini, tegas Aziz, bukan label semata, melainkan orientasi manhajiyah dan harakiyah dalam menjawab tantangan zaman.
Melalui Temu Kader ini, Hidayatullah Kalimantan Tengah membuktikan bahwa revitalisasi perjuangan bukanlah romantisme sejarah, tetapi tindakan sadar dan terstruktur.
Di tengah arus disrupsi nilai, Aziz berpesan, Hidayatullah perlu terus meneguhkan dirinya sebagai gerakan yang tak sekadar bertahan, melainkan terus bertumbuh dengan akar ideologi yang dalam dan sayap perjuangan yang luas dalam rangka berkhidmat untuk kemajuan agama, bangsa, dan negara.