MEMBELI barang dengan cara kredit sudah menjadi kelaziman di zaman ini. Besar atau kecil, mulai dari rumah sampai penggorengan, semua bisa dimiliki dengan cara diangsur. Akan tetapi, perilaku masing-masing orang berlainan di dalamnya.
Ada yang berdisiplin pada perjanjian yang telah disepakati, tetapi ada pula yang membandel sehingga dikejar-kejar oleh debt-collector (penagih hutang). Ada yang menyelesaikan kewajibannya pas sesuai tenggat, ada yang telat, tetapi ada juga yang lunas sebelum jatuh tempo.
Sekarang, pernahkah Anda membayangkan kehidupan ini sebagai semacam kontrak untuk “membeli” sesuatu di akhirat nanti? Kita telah meneken perjanjian sejak di alam ruh dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb, dan itu berarti kita siap menerima konsekuensinya yaitu hidup dalam iman dan amal shalih.
Allah berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf: 172).
Namun, ternyata kehidupan ini mempertontonkan pertunjukan yang mirip kasus kredit barang-barang tadi. Ada manusia-manusia yang taat pada akad yang telah disepakati, tetapi ada juga yang berbuat semau sendiri. Oleh karena itu, nasib mereka di akhirat pun berbeda-beda.
Bila kita menengok kehidupan para Sahabat Nabi, kita mendapati orang-orang yang membeli surga dan keridhaan Allah dengan seluruh milik mereka di dunia ini. Waktu, tenaga, pikiran, harta, ilmu, kedudukan, pengaruh, keluarga, seluruhnya dikerahkan untuk melunasi harga yang Allah tetapkan.
Sedemikian serius dan sungguh-sungguhnya mereka mengangsur harga itu, sampai-sampai banyak diantara mereka yang bahkan telah melunasinya ketika masih segar-bugar.
Kita mendengar ada 10 orang Sahabat yang telah dijamin masuk surga, juga Sahabat-sahabat lain yang dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai ahli surga. Mereka masih hidup sekian tahun lagi setelah beliau mengucapkan jaminan itu, namun harga surga sudah mereka lunasi.
Sa’id bin Zaid berkata, “Aku bersaksi atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa aku mendengar beliau bersabda: ada sepuluh orang yang berada di surga; Nabi di surga, Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair bin Awwam di surga, Sa’ad bin Malik (Abu Waqqash) di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, dan andai aku mau pasti aku sebutkan yang kesepuluh.” Orang-orang bertanya, “Siapa dia?” Sa’id diam. Orang-orang bertanya lagi, “Siapa dia?” Beliau menjawab, “Dia adalah Sa’id bin Zaid.” (Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih).
Dalam riwayat lain disebutkan juga nama Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai salah satu dari 10 Sahabat itu. (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Hibban, dari Abdurrahman bin Auf. Hadits shahih).
Apakah mereka hanya kelompok istimewa yang tidak ada duanya di kalangan Sahabat? Ternyata tidak. Sebab, dalam berbagai kesempatan Rasulullah pun menyebut nama-nama lain seperti Bilal bin Rabah, Ukasyah bin Mihshan, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah az-Zahra’, Aisyah, dan masih banyak lagi.
Iman dan amal shalih mereka sangat luar biasa dan patut dicontoh, sehingga sebelum ajalnya tiba sudah dinyatakan meraih apa yang diimpi-impikan di akhirat nanti. Meski sebenarnya surga tidak bisa diraih semata-mata dengan amal, akan tetapi tanpa amal maka ia tidak mungkin diberikan.
Sebenarnya, harga surga sangatlah mahal, sehingga kita hanya bisa memperolehnya berkat rahmat dan karunia Allah semata. Hanya saja, rahmat dan karunia itu juga tergantung pada seberapa serius dan tulusnya iman serta amal kita.
Rasulullah bersabda, “Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik), dan bergembiralah! Sungguh, tidak seorang pun yang dibuat masuk surga oleh amalnya.” Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Beramallah kalian, karena sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu, meskipun hanya sedikit.” (Riwayat Muslim, dari ‘Aisyah).
Dalam riwayat lain, dikatakan: “Tidak seorang pun yang diselamatkan oleh amalnya.” Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik)! Beramallah di pagi hari, siang hari, dan sebagian dari penghujung malam! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Niscaya kalian akan sampai (kepada tujuan).” (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah).
Sebaliknya, di zaman itu pun terdapat kelompok lain yang berdiri di seberang mereka. Kelompok ini adalah orang-orang yang telah melunasi harga neraka bahkan ketika masih segar-bugar di dunia. Salah satunya adalah Abu Lahab, paman Rasulullah sendiri. Ia adalah sosok yang dinyatakan pasti masuk neraka jauh sebelum kematiannya!
Diceritakan bahwa tatkala Rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan, beliau berdiri di Bukit Shafa dan memanggil kerabatnya dari kaum Quraisy. Setelah mereka berkumpul, beliau menyatakan kenabiannya secara terbuka dan mengajak mereka untuk menjadi rombongan pertama pendukung risalahnya, sebelum orang lain.
Mereka diam, kecuali Abu Lahab yang berseru marah, “Hanya untuk inikah kaukumpulkan kami?! Binasalah engkau, hai Muhammad!” Rasulullah sangat terpukul mendengar umpatan sang paman ini, sampai Allah menghiburnya dengan menurunkan surah Al-Lahab: 1-5:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam neraka yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, si pembawa kayu bakar itu. Yang di lehernya ada tali dari sabut.”
Menurut para ahli tarikh, peristiwa ini terjadi pada tahun ke-3 setelah kenabian, sementara Abu Lahab diketahui mati mendadak pada tahun 2 Hijriyah, karena sangat terkejut setelah mendengar kekalahan besar kaum musyrikin dalam Perang Badar.
Rasulullah sendiri berdakwah di Makkah selama 13 tahun, sebelum akhirnya diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah. Alhasil, tidak kurang dari 12 tahun sebelum kematiannya, Abu Lahab telah lunas membayar angsuran nerakanya! Na’udzubillah!
Sekarang, terbentang dua masa yang entah masih berapa lama lagi disediakan oleh Allah untuk masing-masing dari kita. Bila kita menginginkan surga dan keridhaan-Nya, maka jangan lengah membayar harganya.
Walau kita tidak sanggup melunasinya di dunia ini, minimal Allah tidak menggolongkan kita sebagai kaum yang melalaikan kewajiban dan masuk blacklist (daftar hitam). Adapun harga surga selebihnya, semoga Allah melimpahi kita dengan rahmat-Nya dan mengizinkan Rasulullah mengulurkan syafa’atnya. Amin. Wallahu a’lam.[]
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur