Ditulis oleh Ustadz Abdul Ghofar Hadi (Ketua STIS Hidayatullah)
Rabu, 12 September 2012 10:00
ADA seorang wanita yang sudah memiliki anak 3 berkeluh kesah atau curhat masalah biduk rumah tangganya. Dia merasa menjadi wanita yang paling menderita di dunia karena beratnya penderitaan yang dialami.
Memilki suami tapi seperti hidup sendiri karena tidak pernah disentuh, ekonomi juga mencari sendiri, mengurus anak dari keseharian sampai biaya sekolah juga sendiri. Minta cerai, suami tidak mau, mau gugat cerai tapi tidak memiliki uang cukup. Tiga kali sudah mencoba untuk bunuh diri tapi tidak berhasil.
Setelah panjang lebar dia bercerita dan penulis sudah mencoba memberikan beberapa solusi. Tapi nasehat tersebut sepertinya belum sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Akhirnya penulis memberikan nasehat sabar.
Spontan dia marah, “Memangnya selama ini saya belum sabar, bertahun-tahun saya sudah bersabar dengan hidup ini dan sabar itu ada batasnya. Iya ustadz enak bilang sabar dan sabar, coba ustadz sendiri yang mengalami, pasti juga mau bunuh diri.”
Sabar adalah kata yang mudah dinasehatkan kepada orang yang lagi berkeluh kesah dengan masalahnya. Namun belum tentu mereka yang bermasalah bisa menerima dengan nasehat sabar. Karena mereka selama ini sudah merasa bersabar dan selalu bersabar.
Sabar memang hanya terdiri lima huruf, tapi sabar tidak hanya berakhir di huruf “r”. Sabar itu tidak ada batasnya. Sebab jika sabar ada batasnya maka bukan kesabaran namanya.
Uji kesabaran bukan hanya di awal saat musibah datang tapi di akhir ketika menyikapi musibah tersebut. Pertolongan Allah biasanya juga menunggu detik-detik akhir kesabaran seseorang.
Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadist Rasulullah tentang perintah dan keutamaan dari sabar. Ini tentu bukan basa-basi tapi sebagai indikasi dari pentingnya sabar dalam kehidupan orang-orang beriman karena dunia ini ada yang cocok dan tidak cocok dengan keinginan manusia.
Kehidupan di dunia ini sebagai kehidupan yang penuh ujian memerlukan dua hal yaitu syukur dan sabar. Kesyukuran relatif lebih mudah dilakukan meskipun terkadang tidak tepat cara bersyukurnya dan banyak juga manusia yang lalai untuk bersyukur saat mendapatkan nikmat dari Allah.
Contoh yang paling nyata adalah kehidupan para Nabi dan pejuang-pejuang kebenaran. Tidak ada satupun nabi yang pernah diutus oelh Allah di muka bumi ini yang mulus dalam menjalankan amanah kenabiannya. Kesulitan, rintangan, godaan dan halangan bertubi-tubi sehingga selalu Allah menyerukan untuk bersabar menghadapinya. Tanpa ada kesabaran maka mereka mungkin sudah lari dan inginnya pensiun saja menjadi nabi.
Beratnya risalah Allah ini jika tidak ditunjang dengan kesabaran maka mustahil risalah bisa sampai kepada umat dan tersebar keseluruh pelosok dunia. secara pribadi saja memerlukan sabar apalagi dalam mengurus umat dan masyarakat yang bermacam-macam karakter tentu permasalahan semakin komplek dan pelik.
Sabar lima menit sering kali disampaikan oleh ustadz di pesantren ini kepada santri yang guncang ingin pulang kampung. Lima menit bukan dalam arti 60 menit kali 5 tapi sebagai kiasan untuk bersabar sebentar.
Sebab, kepanikan dan ketidaktenangan jiwa membuat pikiran kalut sehingga berbuat nekat seolah sudah tidak ada jalan keluar selain pulang kampung. Sabar lima menit adalah bentuk usaha untuk menetralisisr perasaan yang terguncang untuk bisa lebih tenang dan lapang. Wallahu a’alam bish shawwab.