Hidayatullah.or.id — Berita yang mengandung fitnah itu seringkali berdampak luas. Berita fitnah tidak mencerdaskan bangsa tetapi justru malah membodohi bangsa. Sehingga penting bagi kaum muda Muslim untuk terjun ke kancah jurnalistik atau lebih dari itu menekuni citizen journalism.
Demikian dikatakan mantan wartawan perang Irak Meutya Viada Hafid saat melatih tekhnik jurnalistik para santri di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Tanjung Morawa, Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, ditulis Jum’at (07/02/2014).
Disinilah, kata Meutya, pentingnya generasi muda Islam khususnya santri Hidayatullah untuk menguasai jurnalistik agar jangan non-muslim saja yang menguasainya, sehingga diperlukan keseriusan mencetak jurnalis muda muslim untuk menguasai Media.
“Hari ini kita menyaksikan bahwa perusahaan-perusahaan media lebih banyak dimiliki oleh kalangan non-muslim sehingga pemberitaan-pemberitaan yang ada, misalnya mengenai terorisme cenderung mendiskreditkan Islam,” kata mantan wartawan sejumlah televisis swasta ini.
Oleh karena itu, menurut Meutya, ummat Islam harus menguasai media supaya pemberitaan tentang Islam menjadi berimbang dan jangan sampai kita tidak perduli sama sekali, imbuhnya.
Dalam pelatihan yang dihadiri sedikitnya 200 santri Hidayatullah Medan ini Meutya Hafid membawakan materi dengan suasana belajar yang santai, fun, dan penuh canda. Dalam kegiatan itu Meutya Hafid juga menjelaskan tentang arti dan seluk beluk Jurnalistik dikaitkan dengan sejumlah pengalaman dia selama menjadi pewarta nasional dan luar negeri.
“Seorang jurnalis adalah seseorang yang secara teratur menulis berita berupa laporan yang kemudian dimuat di Media massa. Jika ada yang mengaku sebagai jurnalis tetapi tidak pernah melihat tulisannya dimuat di media, berarti dia adalah bohong,” kata Meutya.
Kendati demikian, Meutya menegaskan bahwa saat ini telah berkembang tradisi baru dalam dunia pewartaan yakni Citizen Journalism atau jurnalisme warga, yang memungkinkan siapa saja untuk menjadi jurnalis non mainstream.
Citizen Jourlaism menurut Meutya ke depan menjadi penting. Ia mencontohkan, kita sering melihat ada berita televisi kiriman dari warga. Sehingga ia memandang kedepan mungkin semua stasiun televisi harus punya kanal Citizen Journalizm, kolom atau rubrik yang diberikan kepada pemirsa atau pembaca untuk memberikan beritanya, karena kedepan masyarakat ingin berbicara, urun rembug ikut serta untuk memberikan informasi.
“Hal ini penting karena bisa menjembatani keterbatasan jurnalis dalam meliput semua kejadian atau peristiwa yang sewaktu–waktu terjadi diluar dugaan, prediksi dan jangkauan wartawan,” terangnya yang mengenakan jilbab merah jambu.
Disamping itu hal, kata dia, ini bisa menghindari sentralistik dalam pemberitaan, misalnya setiap hari yang ada hanya berita tentang banjir yang melanda Jakarta saja. Padahal wilayah Indonesia ini luas. Maka harus ada warga yang bisa merekam kejadian-kejadian di sekelilingnya dan mengirimkannya kepada media untuk diberitakan.
Soal liputan peran penting jurnalisme warga, Meutya mencontohkan ketika terjadi tsunami di Aceh. Pada saat awal terjadinya, tak seorangpun dari kalangan wartawan yang hadir di sana. Karena sesungguhnya tak satupun wartawan yang bisa memprediksi sebuah kejadian bencana seperti itu.
Kata Meutya, jurnalisme warga itu terjadi karena ada warga yang bukan berprofesi sebagai wartawan, namun karena memiliki kepekaan terhadap peristiwa yang ada dilingkungannya, dia memiliki insting kewartawanan, kemudian merekam peristiwa-peristiwa penting yang disaksikannya, kemudian melaui bantuan wartawan atau membawanya sendiri ke media untuk disebarluaskan, maka itulah yang disebut Citizen Jurnalizm.
“Maka sebenarnya citizen journalism itu penting kita miliki juga untuk merekam peristiwa diluar jangkauan para wartawan dan itu sangat berguna bagi masyarakat dan membantu tugas para wartawan dan media,” tukasnya. (cha/hio)