
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) – Pusat Dakwah Hidayatullah menggelar acara Ngopi Bareng Sejarawan bersama Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum., pada Jumat, 21 Safar 1447 (15/8/2025).
Dalam forum ini, Tiar membawakan materi bertema “Umur Gerakan Islam”, yang menelaah dinamika sejarah harakah Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga perkembangan kontemporer.
Dalam paparan awalnya, Tiar menjelaskan kerangka dasar gerakan Islam yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Menurutnya, fase awal dakwah Islam di Makkah berfokus pada penyebaran gagasan iman, ibadah, dan akhlak. Sementara fase Madinah ditandai dengan institusionalisasi syariah dalam kehidupan masyarakat.
“Institusionalisasi, terutama percepatannya di Zaman Umar, sangat penting karena dengan ini penyebaran gagasan risalah Ilahiyah dalam semua sektor kehidupan bisa dilakukan secara massif dengan perluasan wilayah yang cepat lewat dakwah dan jihad,” jelas Tiar.
Namun, lanjutnya, fase institusionalisasi tidak selalu berjalan mulus. Ketika proses tersebut mulai mapan dan menimbulkan kejenuhan, biasanya muncul disorientasi dalam gerakan.
“Puncak disorientasi itu konflik internal. Biasa itu dalam sejarah. Ada pihak yang melakukan percepatan institusionalisasi, ada yang melihat efek disorientasi. Konfliknya begitu,” ungkapnya.
Untuk menjawab kondisi tersebut, Tiar menekankan pentingnya kehadiran ulama yang berperan sebagai mujaddid atau pembaru. Ia mengutip nubuwah Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa setiap 100 tahun akan ada tajdid (pembaruan) yang dilakukan oleh para ulama pewaris Nabi.
“Maka, harakah wajib selalu memelihara dan meningkatkan kualitas para ulamanya dan memberikan independensi keilmuan, supaya selalu mentajdid gagasan harakah, agar mereka bersuara keras, jernih, dan berani mengembalikan harakah ketika ada tanda-tanda disorientasi,” tegasnya.
Sejarawan yang juga pengajar ini menuturkan bahwa perjalanan sejarah umat Islam mengalami perubahan signifikan setelah masa Khulafaur Rasyidin. Jika sebelumnya tantangan utama lebih banyak berasal dari internal, maka pada periode setelahnya dunia Islam menghadapi kondisi yang sangat berbeda.
“Setelah Khulafaur Rasyidin, lalu Dinasti-dinasti, Alam Islami memasuki zaman yang berbeda sama sekali yaitu zaman dijajahnya negeri-negeri Muslim oleh bangsa-bangsa Kafir. Ini belum pernah terjadi sebelumnya terutama dalam skala wilayah yang luas. Konfliknya bukan internal, tapi lawan kuffar,” ujarnya.
Dari konteks inilah, lanjut Tiar, muncul berbagai gerakan Islam modern yang dikenal hingga saat ini. Ia menjelaskan bahwa dalam perspektif sejarah, umur sebuah gerakan Islam dapat dipahami dari dua dimensi yaitu gagasan dan institusi.
“Jadi umur harakah atau gerakan Islam itu ada dua dimensi yaitu umur gagasan (risalah) dan umur institusi,” terang sejarawan Universitas Indonesia ini.
Tiar menggarisbawahi bahwa tidak jarang terjadi perbedaan antara keberlangsungan institusi dan relevansi gagasan. Sebuah institusi, kata dia, dapat saja bertahan lama secara formal, tetapi tidak lagi membawa misi awal yang diembannya.
“Bisa saja institusinya berumur panjang, tapi gagasannya sudah mati, setelah mengalami disorientasi. Slogannya masih ada, tapi institusinya sudah tidak benar-benar membawa gagasan awal,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa salah satu tantangan besar dalam perjalanan institusionalisasi adalah kecenderungan kader untuk lebih berfokus pada capaian-capaian administratif.
“Karena, institusionalisasi secara alamiah menyibukkan para kader pada angka dan program. Sampainya gagasan ke akal dan hati orang bukan lagi ukuran,” terangnya.
Acara Ngopi Bareng Sejarawan di Pusat Dakwah Hidayatullah ini dihadiri oleh pengurus, unsur pemuda, dan mahasiswa.
Forum yang dipandu oleh Ketua Departemen Hubungan Antarbangsa DPP Hidayatullah Dzikrullah W. Pramudya ini menjadi ruang refleksi bersama mengenai dinamika sejarah gerakan Islam serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga kesinambungan gagasan dan institusi.