BATAM (Hidayatullah.or.id) – Bertempat di Aula Gedung Asia Raya Hidayatullah, Pondok Pesantren Hidayatullah Batam, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Hidayatullah Batam menggelar Seminar Kebangsaan “Islam dan NKRI”, pada hari Ahad (24/12/2017).
Acara yang dihadiri ratusan mahasiswa civitas akademika STIT ini, menghadirkan pemateri Wakil Ketua Forum Umat Islam (FUI) Majelis Ulama Indonesia Batam, Ustadz Erwin Abu Gaza dan Ketua STIT Muhammad Ramli.
Tampil sebagai pembicara pertama, Erwin menjelaskan sejarah dan kronologi masuknya Islam di Nusantara dan pengaruhnya dalam keagamaan masyarakat di Indonesia.
Menurutnya, sejak abad ketujuh Masehi, Islam sudah mulai masuk di wilayah Sumatera, yang menjadi cikal bakal kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu Kerajaan Samudera Pasai.
“Masuknya Islam di Nusantara, bukan pada abad ke-13, tapi sejak masa Sahabat dan Tabi’in,” jelas Erwin mengawali makalahnya.
Justru, lanjut Erwin, pada abad ke-13 lah Kerajaan Samudera Pasai mencapai kejayaannya. Setelah itu, berkembang terus kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
“Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan di Kalimantan, Sulawesi, dan terus meyebar ke pelosok Nusantara,” papar Erwin.
Itu semua, tegas Erwin, karena penyebaran Islam dilakukan dengan jalan damai, sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Sehingga pengaruh Islam sangat kuat pada mereka.
Pada kesempatan tersebut, Erwin juga menyinggung tentang upaya untuk menyingkirkan Islam dari Nusantara.
“Islam masuk dengan damai, tapi kenapa kemudian digembor-gemborkan dengan radikal,” tegas Erwin yang juga pemerhati sirah ini.
Erwin menjelaskan, Islam terkesan hendak dinihilkan dari sejarah Indonesia. Padahal, jika berkaca pada sejarah, sangat besar andil Islam di negeri ini.
Seolah-olah, jelas Erwin, Islam itu bertentangan dengan NKRI dan Pancasila serta dianggap tidak cocok di Indonesia. Inilah tantangan umat akhir zaman ini, pungkas Erwin.
Selanjutnya, pembicara kedua, Ketua STIT Ramli memaparkan sejarah dan falsafah Pancasila.
Mengawali materi, Ramli menjelaskan tentang pentingnya kembali ke akar masalah, yaitu sejarah terbentuknya Pancasila, jika hendak berbicara Pancasila.
“Jangan sampai ada orang teriak ‘Pancasila harga mati’, ‘Pancasila sudah final’, tapi tidak ngerti sejarah awalnya,” tegas Ramli penuh semangat.
Pancasila, lanjut Ramli, tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, yang merupakan kesepakatan bersama dalam tim BPUPKI dan selanjutnya mengerucut pada Panitia Sembilan di PPKI.
Muatan Pancasila, sambung Ramli, ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah hasil dari rumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Pada kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan tentang pengaruh pandangan Islam dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari para tokoh Islam yang merancang dasar negara Indonesia, tutup Ramli.
Akhir acara, ada sesi penyerahan penghargaan kepada kedua pemateri. Acara berlangsung meriah, dan diselingi persembahan nasyid dari mahasiswa.*/Azhari