TAK ADA surga dalam kehidupan dunia. Artinya tak ada orang hidup tanpa masalah, beban ataupun ujian. Namun itu tak berarti dunia adalah neraka. Semua soal dalam kehidupan justru harus semakin menyalakan api optimisme kita, bukan malah menjadi apatis.
Tetapi betapapun seseorang punya optimisme kalau salah pergaulan, bisa berubah menjadi orang yang apatis.
Secara definisi apatis artinya tidak peduli lagi, baik kepada orang lain ataupun kepada lingkungan sekitar.
Apatis artinya hilang kepedulian, rapuh kepercayaan dan menutup akal dari segala kemungkinan perubahan menjadi lebih baik. Seperti layang-layang putus, tak ada lagi pegangan, tak lagi dapat bergerak, kecuali atas kehendak angin.
Kuatkan Keyakinan
Belum lama ini saya bertemu kolega. Ia menceritakan beberapa fakta tentang orang yang merintis kebaikan.
Sayangnya seiring waktu berjalan, bukan penghargaan yang ia peroleh. Justru perintis kebaikan itu ditendang, keluar dari tempat yang ia peroleh dan perjuangkan sepanjang hidupnya.
“Saya jadi takut, jangan sampai saya sekarang habis-habisan mengelola urusan ini, suatu saat saya akan sama dengan orang itu,” ucapnya sangat cemas.
Pikiran seperti itu jika dibiarkan akan menjadi bola salju menguatnya sikap apatis.
Berbagai ide kerdil dan kekanak-kanakan boleh jadi akan menguasai hati, sehingga amal tak lagi berbasiskan niat tulus, tetapi tendensi instan.
Lambat laun hatinya semakin keruh bahkan gelap, kemudian nyala keyakinan dalam dada menjadi padam.
Orang yang sampai pada kondisi nyala keyakinan yang padam, tidak mungkin dapat melihat dengan jernih apa itu keuntungan sejati. Ia tahunya kerja-kerja kebaikan yang dilakukan harus mendapat kompensasi materi, harus dan harus.
Kita jadi lupa kisah bagaimana kaum Anshar menangis penuh penyesalan ketika Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada mereka, “Apakah kalian tidak ridha kepada penduduk Makkah yang baru mengenal Islam membawa kambing dan unta. Sedangkan kalian akan membawa Rasulullah pulang ke Madinah”.
Keyakinan itu adalah kemantapan hati bahwa dari apa yang kita lakukan hari ini, kelak Allah Ta’ala akan memberikan balasan terbaik untuk kehidupan kita. Bukan kita mengaku berjuang, tapi dalam mental dan hati terbesit kalimat besar, “Saya harus meraup untung besar dalam perjuangan ini”.
Fasilitas
Belum lama ini Wasekjen DPP Hidayatullah, Ust. Abdul Ghofar Hadi memberiku hadiah dokumen indah di masa lalu (Oktober 1995). Judulnya: “Pidato Iftitah Silatnas Pondok Pesantren Hidayatullah”.
Dokumen itu berisi penggalan pidato Ustadz Abdullah Said, potongannya seperti ini: “Fasilitas dan benda yang ada sekadar untuk dan guna mendukung dan memudahkan serta untuk lebih memperoleh lebih banyak lagi kenikmatan, dalam menghambakan diri kepada Tuhan”.
Artinya, fasilitas sejatinya adalah alat ukur apakah diri semakin nikmat dalam perjuangan dan pengorbanan. Bukan malah semakin hanyut dalam kesenangan duniawi, sehingga nilai-nilai dasar perjuangan luntur dan materialisme tumbuh subur.
Seperti Nabi Ibrahim Alaihissalam, semakin ia cinta kepada putranya Ismail, semakin ia tunduk pada kehendak dan perintah Allah Ta’ala. Sampai-sampai saat Allah memerintahkan Ibrahim menyembelih putranya, Ismail, Khalilullah itu tunduk patuh dengan penuh keyakinan.
Berjuang itu bukan “profesi”
Pasti peroleh gaji dan bisa haha hihi
Berjuang itu merawat keyakinan
Sampai nanti Tuhan berikan keridhaan
Sungguh, orang yang beruntung adalah yang optimis dalam iman. Bukan yang apatis walau sangat pandai mengatasnamakan keyakinan kepada Tuhan.[]
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)