
RAIS ‘Aam Hidayatullah KH Abdurrahman Muhammad menegaskan dalam Musyawarah Nasional Muslimat Hidayatullah ke VI, salah satunya tentang urgensi syura dalam Islam.
Syura atau musyawarah adalah bagian penting dalam kepemimpinan. Inilah menjadi benteng pertahanan untuk menjaga moral masyarakat. Allah sendiri menegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an di antaranya surat Ali Imron ayat 159 yang secara eksplisit memerintahkan untuk syura kepada Rasulullah dan orang-orang beriman
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka menjauh dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah bertekad bulat, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”
Ibn Katsir menegaskan: jika Rasul yang mendapat wahyu saja diperintahkan bermusyawarah, maka umat lebih pantas menjadikannya prinsip hidup. Ayat ini menunjukkan bahwa syura bagian dari akhlak kepemimpinan, bukan karena Nabi membutuhkan pendapat sahabat, tetapi agar umat belajar adab, kebersamaan, dan partisipasi.
Syura diabadikan menjadi nama surat al Qur’an yang ke 42, ini tanda besarnya kedudukan syura. Diabadikannya “Asy-Syura (الشورى)” sebagai nama surat menunjukkan bahwa syura adalah prinsip agung, pilar syariat, dan identitas moral umat Islam, bukan kebetulan.
Penamaan surat ini menunjukkan bahwa syura bukan hanya prinsip teknis pengambilan keputusan, tetapi pilar peradaban Islam, sehingga Allah mengabadikannya sebagai tema pokok sebuah surat Makkiyah yang penting. Syura bukan hanya metode berpikir, tetapi benteng yang menjaga kejernihan niat, kebersamaan jamaah, dan keutuhan perjuangan.
Rasulullah ﷺ sebagai uswatun hasanah bukan hanya mengajarkan syura secara lisan, tetapi menjadikannya praktik kepemimpinan yang hidup. Padahal beliau adalah manusia paling mulia, paling bijaksana, dan maksum terjaga dari kesalahan. Namun justru karena kemuliaan itulah beliau menunjukkan bahwa syura adalah prinsip abadi dalam memimpin, bukan sekadar kebutuhan teknis atau kompromi sosial.
Dalam shirah Nabawiyah, Nabi ﷺ menerima masukan sahabat dalam musyawarah terkait strategi Perang Uhud, pembangunan parit (Khandaq), penentuan tawanan Badar, pengelolaan urusan keluarga dan negara. Rasulullah tidak membungkam pendapat, tidak menutup ruang kritik, dan tidak mengklaim kepemilikan tunggal atas kebenaran.
Rasulullah ﷺ adalah pemimpin maksum yang tetap mengambil syura, agar umat memahami bahwa kepemimpinan yang benar bukan bertumpu pada kesempurnaan individu, tetapi pada kebersamaan, adab, dan keterhubungan batin dengan Allah.
Dalam kepemimpinan negara ataupun organisasi, musyawarah adalah benteng moral. Syura adalah syariat dari Allah dan sunnah yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Maka jangan beralasan untuk tidak hadir dalam undangan musyawarah atau rapat karena itu bagian penting dalam moral kepemimpinan.
Seorang pemimpin juga jangan meniadakan musyawarah, karena pemikiran banyak orang tentu lebih baik daripada pemikiran sendiri. Apalagi seorang pemimpin hanya manusia biasa, terbatas pengetahuan, keahlian dan pengalamannya.
Salah satu bukti bahwa syura itu bersifat menyeluruh meliputi urusan negara hingga urusan domestik yang paling kecil adalah bahwa Al-Qur’an memerintahkan musyawarah dalam hal penyusuan anak, sebuah isu rumah tangga yang sangat personal. Sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 233
فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالٗا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ
Artinya:
“Jika keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih (anak) dengan kerelaan di antara keduanya dan dengan permusyawaratan di antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa keputusan mengenai penyapihan (kapan anak berhenti menyusu) harus didasarkan pada kerelaan dan musyawarah antara suami dan istri. Ini luar biasa, karena penyapihan adalah urusan sangat pribadi, terkait kesehatan anak, menyangkut kapasitas ibu dan memerlukan pertimbangan bersama. Namun Al-Qur’an tetap menegaskan musyawarah.
Syura adalah standar moral keluarga. Tafsir al-Tabari menyebutkan bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa keluarga Muslim tidak boleh memakai otoritarianisme, tetapi dialog, persetujuan, dan kesepakatan batin. Musyawarah menjadi mekanisme dalam keluarga untuk menghindari ketegangan, menjaga keharmonisan dan memastikan keputusan yang terbaik bagi anak.
Salah satu indikator keluarga bahagia adalah adanya musyawarah atau dialog dalam keluarga. Dalam syura ada ketenangan, ketentraman dan penghormatan kepada pasangan dan anggota keluarga.
Sebaliknya keluarga biasanya akan berantakan atau putus di tengah jalan ketika tidak ada musyawarah di dalamnya sehingga sering terjadi perselisihan, pertengkaran, kesalahpahaman yang terus menerus. Inilah yang menjadi sebab pertama perceraian akhir-akhir ini
Jika urusan sekecil penyusuan saja harus dimusyawarahkan, apalagi urusan besar. Ini adalah kaidah tarbawi penting yang Ulama mengambil istinbat: bahwa jika syura diwajibkan untuk perkara kecil, maka syura lebih wajib lagi untuk perkara besar dalam masyarakat dan negara.
*) Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis Ketua Bidang Perkaderan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah






