
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Tahun baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah kembali hadir, bukan sekadar penanda kalender, melainkan panggilan nurani untuk merenung, menata arah, dan melangkah ke depan dengan kesadaran baru.
Di tengah derasnya arus zaman dan tantangan global, momen ini menjadi panggilan untuk hijrah.
Hijrah bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah keadaan—dari kelesuan menuju gerak, dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Bergerak, Berubah, Bangkit
Hijrah Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah adalah titik balik sejarah peradaban Islam. Ia bukan pelarian, melainkan strategi.
Dari Madinah, dakwah Islam bangkit menjadi sistem politik, ekonomi, dan sosial yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Di sanalah lahir pemerintahan yang adil, masyarakat yang inklusif, dan peradaban yang mencerahkan dunia.
Hijrah adalah simbol perubahan terencana. Dan hari ini, umat Islam memerlukan hijrah serupa—bukan melintasi padang pasir, melainkan menembus sekat-sekat yang selama ini membelenggu potensi umat: ketertinggalan ekonomi, ketergantungan teknologi, kelemahan geopolitik, dan ketidakmandirian dalam membangun sistem kehidupan sendiri.
Berubah Dimulai Dari Dalam
Allah telah menetapkan sebuah hukum perubahan yang tegas dan tak berubah oleh waktu:
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubahnya” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ini adalah panggilan untuk tidak bergantung pada faktor eksternal. Perubahan bukan dimulai dari luar, melainkan dari dalam.
Tidak akan ada kemajuan tanpa usaha, tidak ada kebangkitan tanpa pergerakan. Maka 1 Muharram bukan hanya selebrasi, tapi seruan untuk bertindak.
Kita tidak bisa terus berharap peradaban Islam bangkit hanya dengan romantisme sejarah atau doa tanpa aksi. Perubahan menuntut kesadaran kritis dan ikhtiar kolektif.
Maka, marilah kita mulai dari hal yang paling dasar. Memulai dari mengubah pola pikir dari penerima menjadi pemberi, dari budaya konsumtif menjadi budaya produktif, dan merubah orientasi hidup dari individualisme menjadi perjuangan kolektif membangun umat.
Pilar-Pilar Hijrah Strategis
Hijrah Ekonomi
Kita harus keluar dari jerat sistem ekonomi kapitalistik yang menumpulkan keadilan.
Sistem keuangan Islam melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf harus dikelola secara profesional, akuntabel, dan berdampak luas.
Inilah fondasi ekonomi yang mandiri dan berdaya, bukan hanya secara spiritual, tapi juga struktural.
Hijrah Kepemimpinan
Umat membutuhkan pemimpin yang bukan sekadar shalih secara pribadi, tetapi juga kuat secara manajerial.
Pemimpin yang tak hanya tahu arah, tapi mampu menuntun ke sana. Pemimpin yang membangun umat, bukan memanfaatkannya.
Kepemimpinan seperti inilah yang dapat membawa umat kepada peradaban yang layak diperjuangkan.
Hijrah Sosial
Peradaban Islam bukan nostalgia, tapi visi masa depan. Ia akan hidup kembali jika nilai-nilai dasarnya ditegakkan: keadilan, ilmu, amal, akhlak, dan ukhuwah.
Maka, kita perlu memperkuat institusi pendidikan, media, teknologi, dan budaya yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Dari sinilah lahir generasi yang tangguh, cerdas, dan berintegritas.
Tahun Baru, Kesadaran Baru, Langkah Baru
Tahun baru Hijriah ini bukan saatnya berhenti di ucapan “Selamat Tahun Baru 1447 H.” Ini adalah momen untuk memperbarui tekad, menata arah, dan melangkah dengan kesadaran baru.
Jika dahulu Rasulullah ﷺ berhijrah untuk menyelamatkan dan membangun peradaban, maka hari ini kita pun harus berhijrah: dari stagnasi menuju gerak, dari kemunduran menuju kejayaan.
Hijrah bukan hanya soal berpindah lokasi, tetapi soal perubahan makna dan arah hidup. Dan perubahan sejati, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, dimulai dari dalam diri kita sendiri.
Selamat tahun baru Islam 1447 Hijriah.
Saatnya berhijrah untuk bangkit, membangun, dan menegakkan kembali peradaban Islam yang mulia.[]
*) Drs. Wahyu Rahman, penulis Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah