
BUMI sedang berduka di tengah gemerlap modernitas dan ambisi pembangunan. Hutan-hutan yang menjadi napas kehidupan terus terkikis, keanekaragaman hayati terancam, dan ekosistem rapuh di ambang kehancuran.
Isu deforestasi, khususnya yang dipicu oleh aktivitas penambangan liar, kembali mencuat dengan sorotan tajam pada Raja Ampat, sebuah surga biodiversitas di Papua Barat Daya yang kini terancam oleh keserakahan industri ekstraktif.
Di tengah krisis ini, pemuda muncul sebagai harapan sekaligus kekuatan kritis untuk mengembalikan keseimbangan ekologi.
Namun, pertanyaannya, seberapa besar peran pemuda dalam menjaga lingkungan hidup tetap lestari, dan bagaimana mereka dapat mengguncang kesadaran kolektif untuk menghentikan laju kerusakan bumi?
Dalam hal ini, tentu kita tidak menolak tambang selama ia dikelola sebaik baiknya, sehormat hormatnya, sesuai regulasi dan nyata dampaknya seluas luasnya untuk rakyat.
Kita tahu, penambangan yang brutal tidak hanya menghancurkan tutupan hutan primer yang menyimpan cadangan karbon besar, tetapi juga merusak ekosistem keranekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam.
Sorotan publik terhadap isu ini, menunjukkan betapa mendesaknya tindakan kolektif untuk menghentikan eksploitasi. Namun, di balik narasi kemarahan dan keprihatinan, ada celah harapan kepada pemuda. Dengan energinya, idealisme, dan keberaniannya, dapat menjadi agen perubahan yang signifikan.
Pemuda dan Lingkungan
Pemuda memiliki posisi strategis dalam perjuangan lingkungan. Mereka adalah generasi yang akan mewarisi bumi—entah dalam keadaan lestari atau hancur.
Sebagai digital native, pemuda memiliki akses luas ke informasi dan teknologi, yang memungkinkan mereka untuk menyebarkan kesadaran, mengorganisir gerakan, dan menekan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Dalam konteks isu yang belakangan hangat, aksi lembaga swadaya Indonesia dan koalisi masyarakat sipil yang menyuarakan penolakan terhadap tambang nikel menunjukkan bagaimana pemuda dapat memanfaatkan platform digital untuk menggalang dukungan global.
Kampanye ini bukan sekadar protes, tetapi juga panggilan untuk mengubah paradigma pembangunan yang mengorbankan alam demi keuntungan jangka pendek.
Namun, peran pemuda tidak hanya terbatas pada aksi demonstrasi atau kampanye daring. Pendidikan lingkungan sejak dini menjadi fondasi penting untuk membentuk generasi yang peduli terhadap keberlanjutan.
Melalui pendidikan, pemuda dapat memahami kompleksitas ekosistem, dampak deforestasi, dan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Lebih jauh, pemuda dapat berperan sebagai inovator, menciptakan solusi teknologi ramah lingkungan atau model bisnis berkelanjutan yang mendukung pelestarian hutan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal.
Kritik tajam perlu dialamatkan kepada pemerintah dan pemilik modal yang sering kali menjadi aktor utama di balik kerusakan lingkungan.
Pemerintah, sebagai pengatur kebijakan, memiliki tanggung jawab untuk menegakkan regulasi yang ketat terhadap aktivitas penambangan dan mendorong praktik pengelolaan hutan lestari.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum. Hal ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan yang memprioritaskan kepentingan korporasi di atas kelestarian lingkungan.
Sementara itu, pemilik modal, khususnya perusahaan tambang, sering kali mengabaikan dampak jangka panjang dari aktivitas mereka.
Keuntungan finansial yang mereka kejar mengorbankan hutan primer, sumber penghidupan masyarakat adat, dan cadangan karbon yang krusial untuk mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah dan korporasi harus menyadari bahwa eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali bukanlah kemenangan ekonomi, melainkan bom waktu ekologis.
Deforestasi di banyak tempat berpotensi melepaskan lebih banyak lagi emisi karbon dioksida ekuivalen ke atmosfer. Ini jelas merupakan peringatan bahwa kita sedang menghabiskan modal alam yang tak tergantikan.
Pemerintah perlu memperkuat komitmen terhadap Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, yang menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan hutan lestari.
Sementara itu, korporasi harus mengadopsi praktik bisnis yang bertanggung jawab, seperti reklamasi lahan bekas tambang dan penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Membangun Kolaborasi Lintas Sektor
Pemuda, dengan idealismenya, dapat menjadi pengawas moral bagi kedua pihak tersebut. Mereka dapat menekan pemerintah melalui advokasi kebijakan dan memobilisasi opini publik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi.
Gerakan seperti yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil di Konferensi Nikel Internasional 2025 adalah bukti bahwa suara pemuda tidak bisa diabaikan.
Namun, untuk mencapai dampak yang berkelanjutan, pemuda juga perlu membangun kolaborasi lintas generasi dan sektor, termasuk dengan masyarakat adat, LSM, dan akademisi, untuk menciptakan solusi holistik.
Krisis deforestasi, sebagaimana terlihat di banyak tempat di negeri ini, adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.
Pemuda bukan hanya harapan, tetapi juga kekuatan nyata yang dapat mengubah arah masa depan bumi. Mereka harus terus didorong untuk menjadi pelopor kesadaran lingkungan, inovator solusi berkelanjutan, dan pengawas bagi pemerintah serta korporasi.
Tetapi, sekali lagi, perjuangan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dengan memperketat regulasi terhadap penambangan liar dan mendorong program reboisasi. Pemilik modal harus beralih ke praktik bisnis yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memprioritaskan keberlanjutan.
Sudah saatnya mengevaluasi ulang izin-izin tambang yang merusak dan memperluas kawasan konservasi. Bagi korporasi, investasi pada teknologi hijau dan tanggung jawab sosial harus menjadi prioritas, bukan sekadar formalitas.
Hutan adalah napas bumi. Jika kita gagal menjaganya, kita bukan hanya kehilangan keindahan, tetapi juga masa depan.
Pemuda, dengan semangat dan keberaniannya, harus menjadi pelopor dalam pertarungan ini—karena bumi bukan warisan, melainkan titipan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.*/
*) Deden Sugianto Darwin, penulis Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah