Hidayatullah.or.id – Tindakan radikalisme atas nama agama menciderai semangat persatuan dan kesatuan. Paham radikalisme juga menghambat kemajuan bangsa.
Hal ini disampaikan Ketua Departemen Hubungan Antar Lembaga DPP Hidayatullah, Jamaluddin Nur, pada dialog keagamaan yang digagas oleh Forum Pemberdayaan Pesantren (FPP) Kepri, Rabu, (28/09/2016).
Acara yang berlangsung di Komplek Pondok Pesantren Hidayatullah Batam ini mengusung tema ‘Tantangan Radikalisme dan Upaya Penanggannya’.
“Radikalisme bertentangan dengan nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi ada upaya dari tindakan-tindakan radikal untuk merubah ideologi Pancasila,” ujarnya.
Jamaludin juga mengatakan bahwa Pancasila sudah final dan keberadaannya merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Pasang surut pemahaman akan penting tidaknya ideologi Pancasila, perlu mendapatkan perhatian bersama.
“Selama 71 tahun usia kemerdekaan Indonesia, mengalami pasang surut pemahaman ideologi. Namun, bagi kita, Pancasila sudah final, dan tidak akan mengalami perubahan,” ujar Jamaludin Nur.
Kehadiran Pancasila adalah investasi besar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, Pesantren harus menjadi duta Pancasila.
“Kita berharap ke depannya banyak institusi dan lembaga-lembaga pemerintahan yang diisi dari lulusan pondok pesantren, ” katanya.
Hadir sebagai narasumber Wakasat Intelkam Polresta Barelang Joko Purnawanto, Majelis Ulama Indonesia Kota Batam H. Lukman Rifai, serta dari kalangan akademisi Dr. Said Maskur, M.Ag.
H. Lukman Rifai dalam paparannya mengatakan bahwa radikalisme tidak bisa hanya dikaitkan dengan kelompok agama tertentu. Setiap kelompok memiliki kemungkinan untuk melakukan tindakan yang radikal.
“Ada dua faktor penyebab radikalisme, yaitu faktor internal karena lemahnya pemahaman tentang agama, dan faktor exsternal karena adanya ketidakadilan dan pemerataan,” katanya.
Fenomena yang terjadi saat ini, masyarakat dalam memahami tentang agama tidak lagi melalui sumber-sumber yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, masyarakat cenderug memahami tentang agama melalui ‘Google’ yang keabsahannya perlu dikaji kembali.
“Dengan kemajuan teknologi, masyarakat khususnya genersi muda sudah tidak mendapatkan pengetahuan agama dari guru dan ustadz melalui instansi pendidikan maupun lembaga resmi lainnya. Maka dari itu, untuk meningkatkan pemahaman mengenai agama, sebaiknya menggali informasi melalui guru atau ustadz,” katanya.
Sedangkan, narasumber dari Kementrian Agama Kota Batam yang diwakili oleh Kasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam, H. Sarbaini menyebut bahwa Kementrian Agama bersama-sama Pemko Batam dan Polresta Barelang telah membuat MoU bersama pimpinan Pondok Pesantren untuk mengantisipasi munculnya jaringan radikal dan teroris di Kota Batam.
“Kementrian Agama bersama Polresta Barelang dan Pemko Batam melakukan MoU yang berisi tentang kurikulum pesantren. Diharapkan setiap pesantren mengajarkan pendidikan moral Pancasila, deradikalisasi, nasionalisme, ukhuwah Islamiyah dan lain sebagainya,” katanya.
Setiap Pesantren wajib mengikuti arahan dan MoU yang sudah dibuat. Jika tidak maka akan dikenakan saksi. Pesantren juga diharapkan bebas dari radikalisme, narkoba, dan LGBT.
Kegiatan yang dihadiri oleh ratusan peserta tersebut, diikuti oleh mahasiswa Hidayatullah Batam, organisasi Islam Batam, serta beberapa kelompok majelis taklim. (ybh/hio)