AdvertisementAdvertisement

Transformasi Iqra’ Bismirabbik, Meneguhkan Peran Islam dalam Pembangunan Manusia

Content Partner

WAHYU pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah yang sekilas mungkin terkesan sederhana namun sebenarnya memiliki makna mendalam: “Iqra’ Bismirabbik”—”Bacalah dengan nama Tuhanmu”.

Di tengah gemerlap peradaban Romawi yang mencapai puncak kejayaannya, Islam hadir bukan sekadar sebagai agama, tetapi sebagai sistem peradaban yang menempatkan pembangunan manusia sebagai inti kemajuan.

Bismirabbik menjadi pembeda dari cara-cara membaca konvensional, yang hanya mengutamakan aspek rasio tanpa bimbingan wahyu.

Membaca konvensional hanya mendorong manusia mengedepankan untung rugi secara materi, lalu melucuti kemanusiaannya sendiri.

Membaca dengan konsep Iqra’ Bismirabbik memajukan manusia untuk bisa berpikir bagiamana memberikan terang bagi alam, bagi seluruh umat manusia.

Islam punya metode yang sangat mendalam dan menyeluruh perihal membaca. Membaca yang tak mudah terkooptasi pretensi (hawa nafsu).

Momentum Transformasi Peradaban

Saat wahyu itu turun, dunia menyaksikan ketimpangan sosial yang mencolok. Peradaban besar seperti Romawi dan Persia memang maju dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, namun banyak masyarakatnya terjebak dalam praktik ketidakadilan dan eksploitasi.

Islam datang sebagai koreksi sosial, menyelaraskan kembali settingan yang salah dalam tatanan masyarakat. Tujuannya jelas: membangun sumber daya manusia yang berkualitas, yang tidak hanya berilmu tetapi juga berakhlak mulia.

Jika kemudian lahir sosok seperti Ibn Mas’ud yang pakar dalam hal Alquran, maka itu bagian dari buah Iqra’ Bismirabbik.

Termasuk sosok yang begitu populer dalam hal ekonomi, Abdurrahman bin Auf. Ia mendapat tawaran kenikmatan materi luar biasa dari persaudaraan yang ditetapkan Nabi. Namun ia hanya meminta diberi tahu, pasar ada dimana.

Abdurrahman tampak sangat memahami bahwa dengan menjadi Muslim yang taat, dengan bekal Iqra’ Bismirabbik, dirinya akan memperoleh kejayaan yang mendorong dirinya bermanfaat bagi perjuangan umat.

Jangan lupa ada pula sosok muda bernama Zaid bin Tsabit. Dalam 14 hari ia berhasil menguasai bahasa Yahudi. Kemudian dalam tempo 28 hari ia menjadi ahli dalam bahasa Suryani. Betapa kesadaran Iqra’ Bismirabbik mampu melahirkan revolusi belajar yang sangat kuat, meski saat itu belum dikenal alat penerjemah bahasa seperti sekarang apalagi AI.

Membangun Sumber Daya Manusia

Dalam sejarah peradaban Islam, manusia menjadi fokus utama pembangunan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Demikianlah yang tercermin dalam wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad, “iqra’ bismirabbik” itu, yang menjadi landasan epistemologis dan spiritual bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Peradaban Islam memahami ilmu sebagai anugerah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab. Di sini, pengetahuan bukan sekadar alat eksplorasi dunia materi, tetapi juga sarana mencapai kesadaran ilahi dan keseimbangan sosial.

Prinsip tersebut memastikan bahwa ilmu tidak hanya menciptakan kecerdasan teknis, tetapi juga membentuk manusia yang bermartabat dan beretika.

Sebagai contoh, era keemasan Islam pada abad ke-8 hingga ke-13 menunjukkan integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama. Para pemikir seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali menggambarkan bagaimana ilmu filsafat, kedokteran, dan teologi dapat berkembang berdampingan, menjawab kebutuhan spiritual dan praktis masyarakat.

Dengan demikian, spirit wahyu “iqra’ bismirabbik” tidak sekadar menjadi penanda dalam memahami tanda-tanda alam, merenungi ciptaan Tuhan, dan menggali hikmah di balik setiap peristiwa, tetapi sebuah panduan abadi bagi umat Islam untuk terus membangun peradaban yang menghormati hakikat kemanusiaan melalui ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Integrasi antara ilmu, moralitas, dan spiritualitas inilah yang menjadi keunikan serta kekuatan utama peradaban Islam. Saat Rasulullah SAW mendapat tawanan pasca perang Badar. Sebagian dari mereka ada yang ahli membaca dan menulis.

Maka, Nabi SAW memberi syarat pembebasan kepada tawanan itu dengan syarat, mampu mendidik anak-anak muda di Madinah membaca dan menulis. Dengan demikian, manusia diharapkan mampu berpikir kritis, visioner, dan bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi.

Menegakkan Keadilan dan Kebenaran

Telaah makna iqra’ bismirabbik sejatinya juga menawarkan refleksi yang tajam mengenai ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang menjadi tantangan universal sepanjang sejarah manusia.

Islam, dengan visi keadilan yang inheren, hadir sebagai respons progresif terhadap realitas ini. Salah satu instrumen utamanya adalah konsep zakat, infak, dan sedekah, yang berfungsi sebagai mekanisme distribusi kekayaan yang berkeadilan.

Zakat, dalam kerangka Islam, bukan semata kewajiban ritual, melainkan sebuah sistem sosial yang dirancang untuk mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. Dengan membebankan tanggung jawab kepada mereka yang memiliki kelebihan harta, zakat memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.

Disinilah makna mendalam Iqra’ Bismirabbik merefleksikan pentingnya ilmu yang diaplikasikan untuk kebaikan. Dalam konteks zakat, ilmu tentang keuangan dan sosial diterjemahkan menjadi aksi nyata untuk menciptakan kesejahteraan kolektif.

Dengan mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ini, Islam menawarkan paradigma yang relevan untuk mengatasi ketimpangan global di era modern.

Demikian pula dalam aspek pendidikan, dimana hal ini merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban yang berkelanjutan dan progresif.

Dengan pendekatan yang terintegrasi, pendidikan tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang esensial untuk melahirkan individu yang cerdas secara intelektual sekaligus tangguh secara spiritual, siap menghadapi kompleksitas tantangan zaman.

Sebagai investasi strategis, pendidikan memberikan dampak jangka panjang yang signifikan pada kemajuan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Iqra’ Bismirabbik Solusi Global

Di tengah kompleksitas tantangan global seperti ketimpangan sosial, krisis moral, dan degradasi lingkungan, kembali pada semangat Iqra’ Bismirabbik—membaca dengan kesadaran ilahiah—adalah langkah esensial. Dengan memahami realitas melalui perspektif keimanan, solusi yang menyentuh akar masalah dapat ditemukan.

Konflik Ukraina-Rusia, misalnya, dapat diakhiri jika pemimpin dunia melampaui pretensi rasional dan membaca situasi dengan mendalam. Demikian pula, keadilan untuk Palestina tidak akan menjadi utopia jika dunia membaca dengan hati nurani yang bebas dari kebencian historis.

Pertanyaan yang mendesak sekarang adalah, siapa yang siap memimpin penerapan Iqra’ Bismirabbik untuk membawa umat manusia menuju harmoni yang penuh kasih sayang? Sebuah panggilan untuk pemimpin sejati yang berkomitmen pada solusi holistik.[]

*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Peran Murabbi dalam Perjuangan Islam tidak Mengenal Kata Pensiun

MAKASSAR (Hidayatullah.or.id) – Peran murabbi dalam perjuangan Islam tidak mengenal kata pensiun. Hal itu kembali ditegaskan oleh Ketua Dewan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img