AdvertisementAdvertisement

Dunia Maya Mengatur Dunia Nyata

Content Partner

Oleh Imam Nawawi

DUNIA maya mengatur dunia nyata, saya jadikan judul dalam tulisan ini, sesaat setelah saya melihat akun FB dan IG dari Ustadz Mohammad Fauzil Adhim yang diblokir 24 jam karena postingan beliau yang berjudul “Monyet Kudisan yang Mengusir Penolongnya.”

Judul artikel yang sebenarnya fakta sejarah itu memang disertai foto orang-orang Yahudi yang tampak kumuh dan amat memprihatinkan. Dalam kondisi amat membutuhkan pertolongan itu, mereka datang ke Palestina sebagai pengungsi pada tahun 1947.

Dan, saya pikir perlu kita ambil paragraf pertama dari tulisan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim itu.

“Dahulu monyet-monyet kudisan tanpa alas kaki dan tanpa baju ini datang dalam keadaan terusir. Tidak ada satu pun negeri di Eropa mau menerima kehadiran mereka. Satu-satunya negeri yang mau menerima mereka adalah Palestina dan menyambut hangat kehadiran mereka. Muslimin Palestina memperlakukan mereka layaknya manusia. Bukan sebagai monyet kudisan.”

Patut Dipertanyakan

Dari kasus yang dialami Ustadz Mohammad Fauzil Adhim atas postingannya di FB dan IG kita patut bertanya. Apa sebenarnya media sosial yang selama ini kita gunakan. Benarkah itu hanya sebatas media sosial biasa atau juga sejatinya hendak mengatur arus informasi dan apa yang boleh dan tidak boleh diposting.

Saya pun coba klik di google, “mengapa fb memblokir postingan tentang israel”

Ternyata saya diarahkan pada berita Detik.com di sini yang mengutip Aljazeera yang diposting belum lama ini.

“Perusahaan media sosial membungkam suara Palestina saat mereka berjuang untuk kelangsungan hidup mereka,” ujar Marwa Fatafta, Anggota Kebijakan dari lembaga pemikir Al Shabaka dikutip dari Al Jazeera, Selasa (11/5/2021).

“Ini bukan insiden satu kali, ini adalah lanjutan dari sensor sistematis dan diskriminasi yang lebih luas yang menargetkan, terutama mereka yang terpinggirkan dan tertindas, seringkali atas perintah rezim yang menindas,” ungkap Fatafta.

Ia mendesak Facebook yang juga menaungi Instagram, menghentikan sensor yang dilakukannya terhadap konten serangan Israel dan menjelaskan kepada publik mengapa menghapus konten tersebut.

Menarik kita perhatikan kata “Sensor Sistematis” kemudian “diskriminasi.”

Artinya, media sosial (FB dan IG) sejatinya adalah ruang yang masih menyisakan pertanyaan serius, apakah ini adalah dunia maya yang bebas, objektif, dan membela kemanusiaan atau justru ini adalah dunia maya yang hendak mengatur manusia dengan keinginan kelompok tertentu dengan membatasi, menyensor apa-apa yang dinilai tidak relevan dengan kepentingan dari media sosial itu sendiri.

Pada saat yang sama, tidak sedikit umat Islam yang telah merasa nyaman di media sosial dalam kondisi tidak sadar bahwa sejatinya mereka dibatasi dan diatur untuk bisa posting dan diskusi. Jadi, umat Islam harus kembali melihat lebih jauh bahwa kita butuh ruang maya yang benar-benar jujur, adil, dan objektif.

Kendati demikian, patut disyukuri karena masih ada yang waras dalam menyikapi tragedi yang menimpa tanah suci Palestina itu. Hal itu misalnya dilakukan oleh sekelompok karyawan Google Yahudi yang meminta raksasa teknologi itu untuk meningkatkan dukungannya kepada warga Palestina.

Permintaan itu muncul di tengah serangan Israel ke wilayah Gaza yang telah menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk di antaranya ana-anak.

Dalam sebuah petisi, pekerja Google mendesak CEO Sundar Pichai untuk mengeluarkan pernyataan yang mengutuk serangan tersebut. Termasuk di dalamnya juga pengakuan langsung atas kerugian atas kekerasan yang dilakukan oleh militer Israel terhadap warga Palestina.

“Warga Palestina sangat terpengaruh oleh kekerasan pendudukan militer yang terjadi di walayah itu,” demikian bunyi surat tersebut, dilansir Kompas.com yang dikutip dari Middle East Eye di sini.

Kuatkan Dunia Nyata

Dengan peristiwa ini umat Islam harus semakin mengerti bahwa dunia maya dalam konteks tertentu sangat mengatur kita. Dan, karena itu, langkah konkret yang harus dilakukan oleh umat ini adalah benar-benar memperkuat barisan di dunia nyata.

Pertama, dengan mempertanyakan kepada FB dan IG mengapa mereka mendiskriminasi penindasan yang dialami oleh rakyat Palestina.

Kedua, membangun sikap kritis terhadap arus informasi yang ada, terlebih pada hal-hal yang memang secara fakta patut dicurigai, dipertanyakan bahkan disanksikan.

Ketiga, silaturrahim harus mengarah pada kesatuan hati dan langkah di dalam dunia nyata, sembari mendorong anak-anak muda Muslim yang mengerti IT untuk membuat media sosial alternatif yang didukung oleh seluruh umat Islam.

Dengan langkah-langkah konkret yang memang membutuhkan komitmen, di sinilah umat Islam harus mulai membangun konsentrasi kuat, sehingga memiliki arus sendiri dan tidak terpedaya oleh isu-isu picisan yang kadang ditampilkan seolah besar, tapi yang terjadi, umat Islam terus kehilangan momentum dan selalu kalah cepat dalam kesadaran dan langkah nyata. Allahu a’lam.*

Imam Nawawi, Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Final HiFest di Kampus Ar Rohmah IIBS Uji Kemampuan Santri di Bidang Diniyah, Bahasa dan Sains

MALANG (Hidayatullah.or.id) -- Kampus Ar Rohmah International Islamic Boarding School (IIBS) Malang, Jawa Timur, menjadi saksi kemeriahan final HiFest...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img