AdvertisementAdvertisement

Kita Melawan, Bukan Dijajah!

Content Partner

SETIAP kata yang kita ucapkan memiliki kekuatan untuk membentuk realitas. Dalam konteks sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemilihan diksi “dijajah” yang selama ini kita gunakan secara luas, telah tanpa sadar menanamkan benih inferioritas dalam sanubari bangsa. Sudah saatnya kita mengubah narasi ini dan membangun kembali jati diri Indonesia sebagai bangsa pejuang. Tujuh puluh sembilan tahun bangsa ini telah merdeka, namun hingga saat ini masih terpuruk diberbagai aspek.

Kenyataan tersebut di atas, bisa jadi disebabkan oleh selama bertahun-tahun, kita terbiasa mendengar dan mengucapkan frasa “Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, termasuk dijajah oleh Inggris, Portugis dan Spanyol”. Kalimat ini terdengar nyaring di ruang-ruang kelas, pidato-pidato kenegaraan, dan tertulis dalam berbagai literatur sejarah. Namun, tanpa kita sadari, penggunaan kata “dijajah” telah menciptakan persepsi bahwa bangsa kita adalah korban pasif, bukannya pejuang aktif yang gigih melawan penindasan.

Kata “dijajah” menempatkan kita sebagai korban yang pasif, yang hanya menerima nasib dan keadaan tanpa ada perlawanan. Penggunaan istilah ini, secara tidak sadar, bisa menanamkan sifat inferior dalam diri kita sebagai bangsa. Kita mungkin menganggap bangsa lain lebih hebat, lebih kuat, dan lebih berkuasa. Efeknya, pola pikir ini dapat membentuk karakter nasional yang minder dan inferior. Kita menjadi bangsa yang selalu melihat ke belakang, kepada masa-masa sulit, tanpa melihat bahwa kita adalah bangsa yang juga penuh semangat juang dan perlawanan.

Psikolog sosial, Albert Bandura, dalam teori kognitif sosialnya menjelaskan bahwa manusia belajar melalui pengamatan dan peniruan. Ketika generasi muda Indonesia terus-menerus dipaparkan pada narasi “dijajah”, mereka secara tidak langsung mengadopsi pola pikir inferior. Hal ini dapat berkembang menjadi apa yang disebut oleh Frantz Fanon sebagai “colonialism inferior complex” – kondisi psikologis di mana masyarakat bekas jajahan merasa lebih rendah dibandingkan bekas penjajahnya.

Menggubah Narasi Dari “Dijajah” Menjadi “Melawan”

Membentuk ulang narasi sejarah kita bukan berarti menyangkal kenyataan pahit masa lalu. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk melihat sejarah dari sudut pandang yang lebih memberdayakan. Alih-alih “dijajah selama 350 tahun”, kita bisa mengatakan “berjuang melawan kolonialisme selama 350 tahun”. Perubahan sederhana ini menggeser fokus dari pasivitas menjadi aktivitas, dari kekalahan menjadi perlawanan.

Sudah saatnya kita menggubah narasi ini. Konsekwensi logisnya adalah, kita harus berhenti melihat diri kita sebagai bangsa yang “dijajah” dan mulai melihat diri kita sebagai bangsa yang “melawan”. Perubahan kecil dalam pemilihan kata ini bisa berdampak besar pada cara kita memandang diri sendiri dan masa depan bangsa. Dengan membangun narasi sebagai bangsa pejuang, kita akan membentuk karakter bangsa yang tangguh, berani, dan percaya diri.

Istilah “berjuang” atau “melawan” menggambarkan semangat para pejuang dan para pahlawan serta para ulama yang tidak mau tunduk pada keadaan dan keuasaan penjajah. Kata ini menunjukkan bahwa kita bukan korban yang pasrah, tetapi pejuang yang aktif berusaha merebut kembali hak dan martabat yang sejatinya milik kita. Dengan mengubah narasi, kita menanamkan dalam diri kita bahwa nenek moyang kita bukan hanya dijajah, tetapi mereka melawan dengan gigih hingga titik darah penghabisan. Mereka adalah pahlawan, bukan korban.

Pentingnya bahasa dalam membentuk realitas sosial telah lama diakui oleh para ahli linguistik. Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa seseorang mempengaruhi cara mereka memahami dan berinteraksi dengan dunia. Dengan mengubah diksi dari “dijajah” menjadi “melawan” atau “berjuang”, kita tidak hanya mengubah cara kita berbicara tentang sejarah, tetapi juga cara kita memahami identitas nasional kita, dan pada saatnya menjadi bagian dari bagaimana kita merekonstruksi peradaban.

Hal yang sama juga di terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (HR: al-Bukhari dan Muslim). Artinya pemilihan diksi pada saatnya akan membentuk karakter seseorang atau sebuah bangsa.

Fakta Sejarah

Oleh karenanya diperlukan perubahan narasi yang dikaitkan dengan fakta sejarah bangsa Indonesia. Di mana selama periode kolonial, rakyat Indonesia tidak pernah berhenti berjuang melakukan perlawanan. Dari Perang Aceh, Teuku Umar, Cut Nya Dien yang berlangsung selama puluhan tahun, di Sumatra Barat ada Tuanku Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII dlsb, sementara itu Sultan Agung, Perang Diponegoro di Jawa dlsb, di Kalimantan ada Pengeran Antasari dlsb, di Sulawesi adan Sultan Hasanudin dlsb, hingga perlawanan Pattimura di Maluku, belum lagi perlawanan masyarakat lokal yang banyak dipimpin oleh ulama dan tokoh masyarakat lainnya, sangat banyak jumlahnya dan tersebr di berbagai wilayah.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa sejarah Indonesia dipenuhi dengan kisah-kisah heroik perlawanan terhadap kolonialisme. Sehingga, menggunakan diksi “melawan” atau “berjuang” lebih akurat menggambarkan semangat pantang menyerah leluhur kita, dan realitas ini sesungguhnya menggambarkan karakter bangsa Indonesia, bahkan sejak masa kerajaan, dan kesultanan yang mewarnai semanagt petarung dan ekspansif.

Dalam Islam, perjuangan melawan ketidakadilan adalah salah satu prinsip utama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kata “jihad” dalam Islam berarti berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Jihad ini tidak selalu berarti perang fisik, tetapi juga bisa berarti perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, baik secara moral, sosial, maupun ekonomi. Prinsip ini relevan dengan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Nenek moyang kita bukanlah bangsa yang menyerah pada nasib, tetapi mereka berjuang, berkorban, dan melawan penindasan kolonial.

Diksi dan Pembentukan Karakter Bangsa

Pemilihan diksi dalam narasi sejarah bukanlah hal sepele. Kata-kata memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk pikiran, sikap, dan perilaku. Dalam jangka panjang, pilihan kata yang kita gunakan bisa membentuk DNA karakter bangsa. Jika kita terus-menerus menginternalisasi kata “dijajah,” maka kita akan terbiasa melihat diri kita sebagai bangsa yang lemah, yang hanya menerima nasib.

Sebaliknya, jika kita memilih kata “berjuang” atau “melawan,” kita membangun karakter bangsa yang tangguh, optimis, dan penuh semangat juang. Kita tidak lagi melihat diri kita sebagai bangsa yang kalah, tetapi sebagai bangsa yang terus berusaha, berjuang, dan melawan hingga meraih kemerdekaan. Ini adalah cara pandang yang penting untuk ditanamkan dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter bangsa.

Nelson Mandela pernah berkata, “Bahasa adalah senjata paling kuat yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.” Jika kita terus-menerus menggunakan kata-kata yang menggambarkan diri kita sebagai korban, maka itulah yang akan kita yakini dan terima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika kita menggunakan kata-kata yang menggambarkan kita sebagai pejuang, maka itulah yang akan kita yakini dan perjuangkan.

Lebih jauh lagi, perubahan narasi ini dapat membantu membentuk karakter bangsa yang lebih tangguh dan percaya diri. Konsep “national character building” yang diperkenalkan oleh Soekarno menekankan pentingnya membangun identitas nasional yang kuat . Dengan mengubah cara kita berbicara tentang sejarah, kita juga mengubah cara kita memandang diri sendiri sebagai bangsa.

Membangun Mindset Pejuang: Dari Inferior ke Superior

Mengubah narasi dari “dijajah” menjadi “melawan” akan membawa perubahan signifikan dalam mindset kita sebagai bangsa. Dari yang sebelumnya merasa inferior, kita dapat bertransformasi menjadi bangsa yang superior, yang percaya diri dan bangga dengan warisan sejarah kita. Perjuangan melawan penjajah bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti kekuatan dan ketangguhan kita sebagai bangsa.

Mindset ini sangat penting untuk masa depan Indonesia. Bangsa yang percaya pada dirinya sendiri akan lebih mampu menghadapi tantangan global dan tidak mudah menyerah pada tekanan dari luar. Kita harus membangun karakter bangsa yang siap bersaing, bukan dengan mentalitas korban, tetapi dengan mentalitas pejuang. Sehingga bangsa ini dapat melakukan perlawanan atas ketimpngan dalam  aspek ekonomi, politik, militer, ekonomi, sosial budaya, teknologi, lingkungan dan lain sebagainya

Namun, mengubah narasi yang telah mengakar selama bertahun-tahun bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan upaya sistematis dan konsisten dari berbagai pihak. Para pendidik, sejarawan, pemimpin masyarakat, dan media massa memiliki peran krusial dalam menyebarkan narasi baru ini. Revisi buku teks sejarah, pelatihan guru, dan kampanye publik dapat menjadi langkah awal dalam proses transformasi ini.

 

Perubahan Diksi untuk Perubahan Bangsa

Pada akhirnya, mengubah diksi dari “dijajah” menjadi “melawan” atau “berjuang” bukan sekadar permainan kata-kata. Ini adalah langkah fundamental dalam membentuk ulang identitas nasional kita. Dengan narasi baru ini, kita membangun fondasi untuk generasi Indonesia yang lebih percaya diri, bangga akan sejarahnya, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Sebab, tidak ada kata yang netral. Setiap kata membawa makna dan dampak psikologis yang berbeda. Oleh karena itu, perubahan diksi dari “dijajah” menjadi “melawan” adalah langkah penting untuk membangun karakter bangsa yang lebih kuat. Ini bukan sekadar soal sejarah, tetapi soal bagaimana kita ingin membentuk masa depan Indonesia.

Sudah saatnya kita mengubah cara kita bercerita tentang sejarah bangsa ini. Kita bukan bangsa yang dijajah, kita adalah bangsa yang melawan penjajahan. Narasi ini harus menjadi bagian dari setiap pelajaran sejarah, setiap pidato, dan setiap percakapan tentang masa lalu kita. Kita mesti membudayakan story telling  dengan narasi baru tersebut, dengan memperbanyak story teller, yang memiliki pehaman positifme dengan mengubah diksi dari “dijajah”, menjadi “melawan” atau “berjuang”. Hal ini dapat dilakukan diberbagi aktitas termasuk pemanfaatan  media sosial, maupun platform digital lainnya. Dengan demikian, kita dapat membentuk generasi yang memiliki mentalitas pejuang, bukan mentalitas korban.

Dengan demikian maka, marilah kita mulai hari ini, dengan memperbaiki setiap kata yang kita ucapkan, untuk menanamkan dalam diri kita dan generasi mendatang bahwa kita adalah bangsa pejuang, bukan bangsa yang dijajah. Kita melawan, bukan dijajah. Ini adalah narasi baru yang membangkitkan dan menggerakkan yang harus kita bangun untuk masa depan yang lebih superior dan hegemonik. Wallahu a’lam.

*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img