DALAM tulisan berjudul Kolaborasi sebagai Mata Uang Baru dalam Perspektif Islam: Ta’awun sebagai Kunci Ketangguhan Organisasi di Era Kontemporer, Asih Subagyo memaparkan urgensi kolaborasi bagi organisasi. Bahwa kolaborasi akan memberikan banyak manfaat, salah satunya efisiensi sumber daya.
Biasanya organisasi mengorbankan banyak sumber daya untuk kompetisi satu sama lain. Sementara dalam kolaborasi, sumber daya organisasi disalurkan untuk memperkuat satu sama lain. Sehingga organisasi-organisasi yang terlibat dalam suatu kolaborasi dapat mengharapkan benefit yang lebih besar.
Sisi menarik lainnya Asih Subagyo memaparkan landasan keislaman, semoga semakin memberikan motivasi agar organisasi-organisasi Islam meningkatkan kolaborasi yang telah terjalin. Bahwa kolaborasi bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam.
Bahkan, dalam banyak ritual, kolaborasi menjadi sesuatu yang menyatu. Semisal dalam shalat jama’ah, akan sangat sulit terlaksana jika tidak ada kolaborasi. Semuanya ingin menjadi imam, atau sebaliknya menjadi makmum.
Di sisi lain masih banyak ditemukan organisasi yang sulit berkolaborasi. Ada semacam penghalang mental untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, tulisan Asih Subagyo belum menguraikannya.
Tulisan ini diikhtiarkan untuk melengkapi apa yang belum diuraikan oleh Asih Subagyo, berisi langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan organisasi untuk memiliki karakter kolaboratif. Framework yang digunakan adalah 7 Habits of Highly Effective People dari Stephen Covey. Modifikasi dari konteks personal ke komunal sedikit diperlukan, namun bukanlah perkara rumit, relatif mudah untuk dipahami.
Sebelumnya diperlukan pengantar untuk menyegarkan kembali memori publik terhadap 7 Habits of Highly Effective People. Ini konsep lama tapi relevansinya masih sangat tinggi hingga saat ini.
Dalam perkembangannya, konsep ini menjadi 8 Habits, ditambahkan greatness (keagungan). Selain itu, sejumlah penyesuaian material dilakukan, mengikuti sasarannya. Misalkan 7 Habits for Teenager.
Hal lain yang perlu disampaikan juga adalah kerangka konsep 7 Habits. Terdapat dua bagian penting di dalamnya, yakni kepemimpinan individual dan sosial. Kemudian kedua kepemimpinan tersebut dibalut dalam semangat belajar berkelanjutan.
Kepemimpinan individual dan sosial tersebut merupakan perjenjangan. Artinya seseorang atau entitas organisasi sulit untuk memimpin komunitas sekitarnya jika belum selesai di tahap kepemimpinan pribadinya. Dalam redaksi yang biasa didengar, seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri sebelum kepada orang lain.
Dalam kepemimpinan individual ada tiga tahap: Menjadi proaktif, memulai dari akhir, dan mendahulukan yang perlu didahulukan. Dalam kepemimpinan sosial juga ada tiga tahap: Memahami sebelum dipahami, berpikir menang-menang, dan membangun kolaborasi.
Sebagaimana telah disampaikan, ada semangat belajar berkelanjutan yang membalut kedua model kepemimpinan. Mari memulai langkah-langkah praktisnya.
1. Menjadi Proaktif
Covey mendefinisikan proaktif dengan kuatnya nilai yang dimiliki. Sehingga seseorang memiliki minimal dua corak perilaku khas, gerak aktif dan respon khas. Kebalikan aktif, yakni pasif, hanya menunggu. Sementara respon khas didasarkan pada nilai yang diyakini, bukan respon sebagaimana kebanyakan orang alias sekedar ikut-ikutan.
Dalam konteks organisasi, proaktif diwujudkan dengan kepemilikan nilai-nilai yang kuat. Sang pendiri atau pemimpin merumuskan seperangkat nilai, lalu mengajak staf-stafnya untuk mewujudkannya dalam aktivitas berorganisasi. Tidak sekedar mengajak, sang pemimpin juga memberikan teladan. Pelayanan juga diberikannya kepada para staf agar semakin memahami dan menginternalisasi nilai-nilai organisasi.
2. Memulai dari Akhir
Kemana arah yang hendak dituju? Inilah sebuah pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh seseorang yang ingin menjadi efektif. Sehingga hal-hal derivatif bisa dirumuskan semisal langkah dan alat apa yang digunakan.
Dalam konteks organisasi, seluruh personalnya perlu merumuskan bersama tujuan organisasi. Bentuknya bermacam-macam. Ada visi, misi, tujuan, sasaran, dan rencana jangka panjang. Selanjutnya kesemua itu dirumuskan dalam rencana-rencana jangka pendek. Keberhasilan merumuskan perencanaan-perencanaan diharapkan memperkuat soliditas organisasi. Sehingga gerakannya terarah. Target yang ingin dicapai semoga lebih mudah dicapai.
Problemnya kerja perencanaan kadang disepelekan, diabaikan, dan dianggap formalitas. Sehingga dampaknya tidak terasa. Organisasi bergerak ke arah yang tidak jelas. Para staf akhirnya tidak memiliki semangat yang cukup untuk mengantarkan organisasi menuju target.
3. Mendahulukan yang Perlu Didahulukan
Covey membagi empat jenis aktivitas organisasi: Penting dan mendesak, tidak penting dan mendesak, penting dan tidak mendesak, tidak penting dan tidak mendesak.
Menurut Covey, seseorang yang efektif seharusnya fokus pada aktivitas penting dan tidak mendesak. Karena aktivitas ini bersifat membangun dan antisipatif. Bukan berarti aktivitas lainnya tidak perlu diberi porsi tapi bukan porsi energi terbesar. Semisal aktivitas penting dan mendesak, terlalu banyak memberikan porsi enegi ke aktivitas tipe ini membuat seseorang akan kelelahan. Karena ia tidak sempat membangun dan mengantisipasi.
Salah satu aktivitas penting dan tidak mendesak adalah membangun hubungan-hubungan produktif dengan berbagai pihak. Sehingga hasil dari hubungan-hubungan tersebut lebih mudah dihasilkan. Permisalan yang digunakan Covey, “Anda tidak bisa menghasilkan terlur dengan memotong bebek, tapi anda harus memeliharanya dengan baik.”
Dalam konteks organisasi, hendaklah dilakukan pembagian tugas. Ada personal yang bertugas di bagian strategis, ada di taktis, dan ada pula di teknis. Jika semua personal terjun pada hal-hal teknis, pembangunan organisasi bisa berhenti, terutama pada ketahanan serta pengembangan mindset. Hal ini berbahaya. Karena organisasi akan berubah menjadi mesin, terus-menerus beraktivitas berulang. Tak beda dengan robot, tak ada kehidupan mental dan ruhani di dalamnya. Akhirnya organisasi dan personalnya lemah.
Berbeda dengan organisasi yang memiliki area kerja terstruktur. Dinamika bisa terus terjadi. Kehidupan mental ruhani dapat dirasakan. Organisasi dan personalnya menjadi kuat, interaksi dengan organisasi lain menjadi sangat mungkin.
4. Berpikir Menang-menang
Saat suatu organisasi berinteraksi dengan organisasi lainnya, pikiran apa yang paling mendominasi? Apakah pemikiran, satu pihak harus menang dan untung sementara pihak lainnya boleh kalah? Atau bahkan harus kalah? Ataukah kedua pihak harus menang dan untung?
Tentu jawaban terbaik, kedua atau seluruh pihak menang, mendapatkan keuntungan. Tidak boleh ada yang dirugikan. Walaupun keuntungan para pihak bisa berbeda. Bisa jadi ada pihak yang mendapatkan keuntungan di aspek finansial, ada di aspek sumber daya insani. Tidak masalah, tergantung inventarisasi situasi para pihak.
Satu landasan penting dalam berpikir menang-menang adalah mental berkelimpahan. Bahwa alam semesta ini sudah diciptakan oleh Sang Pencipta dengan sumber daya yang melimpah. Saling berebut bukanlah tindakan bijaksana. Saling berbagi didasari empati dan kerjasama itu paling utama. Sehingga keamanan dan kenyamanan dapat dirasakan.
5. Memahami Sebelum Dipahami
Satu entitas seperti katakanlah gajah memiliki banyak sisi. Sedangkan banyak sisi ini mengakibatkan penafsiran dan pemahaman yang bisa jadi sangat berbeda satu sama lain. Akibatnya perbedaan bahkan konflik dapat terjadi.
Ilustrasi ini menggambarkan betapa seseorang perlu memahami terlebih dahulu orang lain, baru minta dipahami. Perspektif yang digunakan perlu diperjelas dulu. Baru perspektif lain dijelaskan.
Adapun dalam konteks organisasi, perlu kiranya mempersilakan organisasi lain memaparkan perspektif dan pemahamannya. Lalu diskusi dilakukan untuk mencari titik temu. Setelah itu, titik temu ini diperlebar untuk dijadikan area kolaborasi antarorganisasi.
6. Membangun Kolaborasi
Para pihak yang sudah memiliki peta diri dan rekannya kemudian saling memetakan sumber daya apa yang bisa diberikan dalam kolaborasi. Proporsinya bisa berbeda bagi para pihak, tergantung peta yang sudah dibuat dan disepakati. Ini berkemungkinan mudah karena berbagai tahap telah dilalui.
Pembelajaran Berkelanjutan
Kolaborasi akan terus berjalan bahkan menguat manakala ada pembelajaran yang berkelanjutan. Para pihak meng-upgrade dirinya masing-masing untuk terus berkontribusi dalam kolaborasi.
Manakala satu pihak berhenti belajar, maka kolaborasi menjadi sulit bertahan. Karena ada pihak yang menguat tapi ada pihak yang melemah. Terjadi ketidakseimbangan kolaborasi. Ibarat empat kaki kursi, ada kaki yang kokoh dan ada yang lemah. Akhirnya kaki yang kokoh rapuh dan hancur. Kursi tidak lagi bisa digunakan semestinya bahkan mungkin sudah tidak bisa digunakan.
Peta jalan kolaborasi perlu memasukkan pembelajaran berkelanjutan sebagai klausul. Agar kolaborasi seimbang terus berjalan. Agar hidup terus meningkat kualitasnya. Wallah a’lam.
*) Fu’ad Fahrudin, penulis alumni Pelatihan Kepemimpinan Hidayatullah Institute (HI) angkatan ke-10.