AdvertisementAdvertisement

Ekonomi dan Ideologi dalam Secangkir Kopi

Content Partner

DALAM perjalanan dari Yogyakarta menuju Makassar hari ini, saya mengalami dua pengalaman ngopi yang sangat berbeda—bukan hanya dari harga, tapi juga dari makna.

Pagi menjelang siang, saya singgah sejenak di emperan Malioboro. Ngopi gratis, dari layanan self-service di sebuah toko parfum.

Kopi kapal api sachet, tanpa gula, diseduh dalam gelas plastik. Harganya? Mungkin hanya lima ratusan. Rasanya? Nikmat, apalagi diminum di emperan Malioboro, di antara lalu lalang orang dan semilir angin jalanan.

Sore harinya, pengalaman ngopi kedua terjadi di ruang tunggu Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) Kulon Progo.

Kali ini, Americano panas tanpa gula, kopi robusta, dibeli seharga Rp37.500—belum termasuk pajak. Tempatnya lebih nyaman, ber-AC, rapi. Tapi rasa kopinya? Tidak jauh berbeda dari kopi pagi tadi.

Sekali ngopi gratisan, sekali ngopi mahalan. Bedanya? Hanya soal waktu dan tempat. Selebihnya, soal rasa dan semangat, tetap sama.

Cerita ini bermula dari sahur subuh tadi, bersama para santri Cahyaqu di Pakem, Jogja. Saya sudah berniat puasa, meskipun dalam keadaan safar. Namun, dalam perjalanan menuju bandara, saat mampir membeli parfum, sebuah tawaran sederhana mengubah segalanya.

“Monggo, Pak, silakan minum. Tersedia minuman dingin, kopi, dan teh,” ujar pelayan toko, ramah.

Tawaran itu menggoda. Saya teringat bahwa musafir tak dibebani kewajiban puasa Ramadan, apalagi puasa sunnah. Pikiran saya sederhana: kenapa menolak nikmat ini?

Saya seduh satu sachet kopi kapal api, menambahkan sedikit madu yang saya bawa dari Makassar. Kopi panas itu lalu saya bawa keluar, ke emperan Malioboro, sambil membuka bekal bakpia. Sederhana, ekonomis, tapi penuh makna.

Ngopi kedua terjadi setelah informasi mendadak: pesawat delay, bahkan berganti maskapai. Dari jadwal 14.40 menjadi 20.00.

Ada enam jam menunggu. Di ruang tunggu itu, saya membeli segelas Americano, sekadar menjaga ritme: kopi tetap mengalir, waktu tetap berjalan.

Dua pengalaman ngopi, dua dunia berbeda. Yang satu murah meriah, yang satu mahal dan berkesan boros. Tapi bagi saya, keduanya berbicara tentang satu hal: menjaga spirit ngopi.

Dalam dunia ekonomi, istilah “ekonomis” mengacu pada bagaimana kita mengelola sumber daya — tentang produksi, distribusi, konsumsi barang dan jasa. Tapi dalam keseharian, “ekonomis” bukan sekadar angka-angka. Ia tentang pilihan, tentang bagaimana kita mengukur apa yang cukup.

Pertama, soal efisiensi: memanfaatkan apa yang ada untuk mencapai tujuan — bahkan kalau tujuannya hanya sekadar menikmati kopi.

Kedua, tentang manajemen biaya: kapan perlu hemat, kapan harus keluar lebih.

Ketiga, tentang keputusan: kapan kita harus rasional, dan kapan membiarkan hati memilih.

Dalam teori, modal kecil bisa menghasilkan dampak besar. Tapi dalam praktik, kadang kita sengaja “mengabaikan” hitung-hitungan itu, demi sesuatu yang lebih: pengalaman, perasaan, bahkan prinsip.

Ngopi, bagi sebagian orang, mungkin hanyalah soal memenuhi kebutuhan kafein. Tapi bagi sebagian lainnya—seperti saya hari ini—ngopi adalah bagian dari prinsip hidup. Bukan sekadar aktivitas pragmatis, melainkan sebuah ritual kecil yang sarat nilai dan perlawanan terhadap rutinitas.

Ngopi bisa menjadi soal pilihan: antara sekadar mengisi waktu, atau meneguhkan diri dalam prinsip.

Hari ini saya belajar, bahwa ekonomi penting. Tapi ideologi kadang lebih penting.

Ngopi bukan soal murah atau mahal. Di emperan jalan atau di bandara megah, ngopi tetap ngopi. Bedanya hanya soal cara kita memaknai.

Ngopi, bagi saya, adalah soal kesadaran.

*) Sarmadani Karani, penulis adalah wartawan senior dan dai penjelajah nusantara. Saat ini emban amanah sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Kabupaten Sidenreng Rappang

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ngopi Ngobrol Siang-Siang, Neno Warisman Paparkan Gagasan ‘Galaksi Kebudayaan’

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Dalam suasana santai, Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta menjadi tempat pertemuan ide tentang masa depan kebudayaan Indonesia,...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img