AdvertisementAdvertisement

Mindset Dunia versus Mindset Surga: Antara Kegelapan dan Kegembiraan

Content Partner

ALLAH Ta’ala menganugerahkan kelengkapan indera kepada manusia bukan tanpa sebab. Tak lain adalah agar kita memanfaatkannya semata-mata untuk membesarkan nama-Nya. Dan, sejatinya dalam hal apapun, termasuk pola pikir mestinya juga berada dalam koridor yang digariskan Tuhan.

Namun, sedikit yang masih enggan mengelola pola pikir (mindset) sesuai dengan digariskan Tuhan. Akibatnya kemudian, alih-alih menemukan kebahagiaan atau apa yang kemudian dipersepsi sebagai “kesuksesan”, malah melulu tak pernah puas dengan apa yang ada.

Kenapa kecemasan dan ketidakpuasan selalu ada? Tak lain karena pikiran yang dijejali beragam diktum yang mendekonstruksi kesejatian manusia itu sendiri, bahkan itu berlangsung di ruang intelektual. Tak pelak, kondisi ini mengantar kita keliru dalam melihat hidup dan menyikapi kehidupan nan fana ini.

Ketika duduk di bangku SMA, kita dicekoki oleh teori Auguste Comte yang dijuluki bapak sosiologi yang menyebut masyarakat yang maju adalah yang mendewakan berpikir logis-empiris, tidak lagi menganut Teologi sebagai bagian penting dari kehidupan ini.

Di bangku SMP, bahkan generasi muda mulai bersinggungan dengan pandangan-pandangan Adam Smith yang dijuluki Bapak Ekonomi. Teori Smith merasuk jauh ke dalam alam pikiran bawah sadar kita bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sementara sumber daya alam sangat terbatas. Sehingga tak heran lahirlah manusia-manusia serakah dan koruptif yang selalu merasa tidak pernah cukup.

Pada titik ini, jelas Barat keliru jika dijadikan sebagai acuan dalam membangun mindset hidup. Sebab, konstruk nalar mereka tentang manusia hanya sebatas pada hal lahiriyah dan empirik semata. Adapun nilai-nilai keagungan moral yang terdapat dalam ajaran agama sama sekali tak penting. Dibuang.

Bahkan, saking gelapnya peradabannya, mereka sampai mendeklarasikan “Tuhan telah mati”seperti dipopulerkan oleh tokoh sosialis Karl Max, yang –sangat menyedihkan- tak sedikit anak muda mengidolakannya.

Sebab itulah kemudian lahirlah term baru bernama “mindset surga” untuk menawarkan kepada khalayak pada nilai-nilai luhur yang sebetulnya sangat manusiawi dan universal . Dan apa yang disebut terakhir ini dapat digapai dengan akal yang sehat.

Mindset surga melihat segala hal dengan bingkai Ilahiyah sebab selalu ada hakikat di balik sesuatu. Misalnya makna dari peristiwa Nabi Nuh dengan bahteranya yang mengarungi lautan banjir yang menelan bumi. Peristiwa ini sejatinya penuh ibrah bagi pemilik mindset surga. Peristiwa tersebut sangat relevan dengan situasi dan kondisi umat Islam abad ini. Pertama, bahtera. Kedua, banjir.

Bahtera Nabi Nuh (As-safinatun Nuh) merupakan penyelamat satu-satunya bagi umat manusia kala itu. Sekarang mari kita berpikir adakah sesuatu yang dapat kita gunakan sebagai satu-satunya penyelamat kehidupan umat Islam modern, seperti bahtera Nabi Nuh?

Mungkin banyak orang tidak mengetahui, bahkan sebagian menganggapnya tidak perlu. Tetapi apakah mungkin Allah mengisahkan riwayat Nabi Nuh tanpa ada relevansinya dengan kondisi umat Islam sekarang? Tidak mungkin. Berarti ada relevansinya.

Karenannya, penulis berpandangan, bahwa bahtera Nabi Nuh di abad modern ini adalah masjid. Mengapa masjid? Selanjutnya jawabannya bisa dibaca di halaman 72-75 buku ini yang dipaparkan oleh penulis dengan narasi yang mudah dicerna.

Masih banyak lagi serpihan kisah untold story yang diketengahkan oleh penulis untuk membangun pemahaman tentang istilah mindset surga di dalam buku ini.

Catatan penulis pada bab-bab lainnya pun terasa sayang untuk dilewatkan karena sarat dengan kedalaman refleksi yang seakan menarik kita masuk ke dalam dimensi-dimensi dan menembus pola-pola. Juga memuat telaah yang memancing nalar seraya mengiringinya dengan perenungan yang mendalam.

Pada kesimpulannya, penulis membeberkan sejumlah hal yang juga nampaknya pelan-pelan telah luput dari perhatian umat khususnya pribadi-pribadi umat Islam. Buku ini disajikan secara reflektif yang berpadu dengan narasi teks yang terbilang akademis, yang ini dipengaruhi oleh latar belakang penulis sebagai aktifis dakwah dan yang dalam studi kersarjanaannya berkonsetrasi pada pemikiran Islam.

Kendati demikian, buku ini tetap recommended untuk dibaca oleh semua kalangan apalagi bahasa yang digunakan juga populer. Sangat tepat menjadi pendamping bagi kaum muda yang sedang mencari jati diri.

Nilai lebih lain dari buku ini adalah desainnya yang lux. Menggunakan font California FB dengan penerapan yang eye-catching. Pun dengan sampulnya yang emboss terbilang elegan dengan penerapan warna yang tak tumpang tindih.

Selain itu, penempatan kutipan di setiap bab pembuka, menjadi semacam simpul penegas arah tulisan sehingga akan lebih mudah diresapi. Ketukan paragraf satu dengan lainnya yang tak berapatan seperti umumnya buku-buku “berat” sangat memanjakan mata sehingga enak dibaca.

Lebih dari itu, kertas yang digunakan buku ini ternyata bukan kertas biasa, melainkan kertas imperial bookpaper dengan kualitas impor. Sekilas, nampak seperti kertas koran, tapi sangatlah berbeda sebab tidak mudah lusuh, kertas halus dan tegas. (ybh/hio)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Membangun Generasi Islami Berdaya melalui Pesantren Masyarakat Cibuntu

KUNINGAN (Hidayatullah.or.id) -- Pengurus Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai) baru-baru ini melakukan anjangsana silaturrahim ke komunitas warga binaan Pesantren Masyarakat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img