AdvertisementAdvertisement

Indonesia di Persimpangan Pangan, Bukan Sekadar Soal Perut Kenyang

Content Partner

Gambar ilustrasi petani menanam padi (Foto: Olah Ai/ hidayatullah.or.id)

PERNAHKAH kita membayangkan hidup di negeri yang dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa” namun justru bergantung pada pangan impor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?

Paradoks ini menjadi semakin mencolok ketika supermarket di Indonesia dipenuhi produk impor, sementara hasil bumi lokal terpinggirkan. Fenomena ini menggarisbawahi urgensi kemandirian dan ketahanan pangan, sebuah konsep yang esensial bagi keberlanjutan bangsa.

Negara dengan sumber daya alam melimpah dan iklim tropis yang ideal, seharusnya menjadi salah satu lumbung pangan dunia. Namun, realitas menunjukkan bahwa negeri ini masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Ironisnya, dalam situasi ini, pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025, yang berpotensi memengaruhi harga kebutuhan harian termasuk pangan domestik. Hal ini menambah kompleksitas permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.

Ketahanan pangan, sebagaimana didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu yang dicerminkan dari ketersediaan pangan yang cukup, berkualitas, aman, bergizi, merata, dan terjangkau. Namun, mewujudkan ketahanan pangan bukanlah perkara sederhana.

Produksi pangan di Indonesia kerap kali dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perubahan iklim, bencana alam, dan keterbatasan infrastruktur distribusi. Pada saat yang sama, kebijakan impor sering kali menjadi pilihan instan untuk menutupi kekurangan produksi domestik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Indonesia mengimpor komoditas pangan strategis dalam jumlah yang signifikan, seperti beras, gula, dan kedelai. Pada tahun ini, impor beras tercatat mencapai 1,6 juta ton, meningkat dari tahun sebelumnya.

Lonjakan impor ini menjadi penanda tantangan besar dalam mewujudkan swasembada pangan, terutama di tengah proyeksi pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Ketergantungan pada impor bukan hanya menekan daya saing petani lokal, tetapi juga berisiko terhadap stabilitas pangan nasional di tengah ketidakpastian geopolitik global.

Sinergi dan Potensi Swasembada

Indonesia memiliki potensi besar untuk swasembada pangan. Dengan luas lahan pertanian yang mencapai 7,4 juta hektar dan kekayaan sumber daya alam, negeri ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Namun, tantangan seperti alih fungsi lahan, rendahnya adopsi teknologi modern, dan minimnya dukungan infrastruktur menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.

Di tengah tantangan tersebut, Lembaga Amil Zakat (LAZ) memiliki peran strategis dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Melalui pendekatan berbasis komunitas, LAZ dapat memberdayakan petani dan nelayan dengan memberikan bantuan modal, pelatihan, dan pendampingan untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Program pemberdayaan ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja tetapi juga meningkatkan kapasitas produksi pangan lokal. LAZ juga dapat menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim. Teknologi seperti irigasi pintar, benih unggul, dan alat pertanian modern dapat meningkatkan efisiensi produksi.

Selain itu, LAZ dapat menjadi instrumen dalam mendukung pembangunan gudang penyimpanan, pasar tradisional, dan sarana transportasi untuk memperlancar distribusi pangan. Infrastruktur yang memadai akan mengurangi kehilangan hasil panen dan meningkatkan akses pangan di daerah terpencil.

Tentu saja, dalam hal ini pemerintah tetap memiliki tanggung jawab utama memainkan perannya untuk membangun ketahanan pangan melalui kebijakan yang pro-petani dan investasi infrastruktur.

Namun, keberhasilan upaya ini bergantung pada sinergi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Melibatkan LAZ dalam ekosistem pangan nasional adalah langkah strategis untuk membangun ketahanan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

Misalnya, program sinergi antara pemerintah dan LAZ dapat diarahkan pada pengelolaan lahan tidur menjadi lahan produktif. Lahan-lahan ini dapat dimanfaatkan untuk menanam komoditas strategis seperti padi, jagung, dan kedelai dengan melibatkan petani lokal. Selain itu, pelibatan teknologi berbasis digital dalam pemasaran hasil pertanian dapat meningkatkan akses pasar bagi petani.

Kita menyadari ketahanan pangan adalah salah satu pilar utama dalam menjaga kedaulatan bangsa. Dalam menghadapi tantangan global dan domestik, Indonesia perlu mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya melalui pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan.

Penguatan peran aktif LAZ yang selama ini sudah berjalan dalam pemberdayaan petani, pengembangan teknologi, dan pembangunan infrastruktur dapat menjadi katalisator penting dalam mewujudkan swasembada pangan.

Dengan sinergi antara pemerintah, LAZ, dan masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan visi kemandirian pangan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memperkuat posisi negara di panggung internasional.

Ketahanan pangan bukan sekadar tentang perut kenyang, tetapi juga tentang kemandirian, kesehatan, dan kesejahteraan bangsa. Lebih jauh dari itu, ini tentang kemampuan Indonesia bertahan, survive, dan berpengaruh ke depan.

*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

[KHUTBAH JUM’AT] Dua Dimensi Shalat dan Karunia yang Harus Disyukuri

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img