JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah Ust. Abdul Ghofar Hadi menyampaikan bahwa istiqamah adalah pekerjaan berat. Dia pun mencontohkan bagaimana istiqamah dipraktikkan oleh dua makhluk Allah Ta’ala yang hendaknya menjadi renungan bagi kita.
“Yang paling istiqamah itu malaikat dan setan. Malaikat istiqamah menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya sehingga ia mulia dengan itu. Sementara setan ‘istiqamah’ melakukan pembangkangan dan mengajak pada kemunkaran sehingga dia terkutuk sepanjang masa,” katanya.
Wejangan itu disampaikan Ust. Abdul Ghofar Hadi saat menyapa staf muda DPP Hidayatullah dalam koordinasi pagi rutin di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Cipinang Cempedak, Otista, Polonia, Jakarta, Rabu, 19 Dzulhijah 1445 (26/6/2024).
Ghofar Hadi mengimbuhkan, sebagai seorang muslim kita tinggal menentukan mau memilih ikut jalan malaikat yang istiqamah dalam kebaikan atau tunduk pada rayuan setan yang menyeret pada kesesatan yang mencelakakan.
“Karena manusia memiliki kecenderungan pada keduanya, meneladani keistiqamahan malaikat atau mengikuti kelancangan setan yang memang memiliki obsesi menjauhkan kita dari Tuhan,” katanya.
Agar terhindar dari bujukan setan melakukan perbuatan sia sia yang mencelakakan, menurut Ghofar Hadi, maka kita hendaknya berusaha istiqamah dalam tuntunan Ilahi. Menurutnya, istiqamah merupakan salah satu pilar fundamental dalam kehidupan seorang muslim untuk tumbuhnya etos kerja.
Ia menjelaskan, istiqamah adalah keteguhan hati dan komitmen dalam menjalankan sesuatu dengan penuh keteguhan dan konsistensi, tanpa terpengaruh oleh godaan atau rintangan yang menghadang.
“Dalam konteks membangun kebiasaan disiplin sejak muda, istiqamah ini harus dilatih dan dipaksa. Seperti dalam shalat berjamaah di masjid, ini memang harus dipaksa istiqamah,” katanya menekankan.
Pertanyannya sekarang, lanjut Abdul Ghofar Hadi, adalah kenapa istiqamah itu berat. “Karena kita tidak tahu kapan kita meninggal,” katanya mengimbuhkan.
Kenyamanan, kemudahan, dan serba kecukupan terkadang membuat lupa diri yang akhirnya merasa bahwa itu semua abadi. Demikian pula sebaliknya, kesempitan dan ketidakberdayaan justru tidak semakin membuat diri dekat pada Tuhan.
Disinilah sikap istiqamah diuji sehingga dalam kondisi apapun orientasi hidup tidak bergeser dari yang telah digariskan oleh Allah Ta’ala. Karenanya, istiqamah dalam ibadah perlu ikhtiar kuat bahkan harus memaksakan diri untuk itu.
“Ibadah itu kalau gak berat, jangan jangan itu bukan ibadah. Ibadah itu memang memiliki halangan berat, begitu cara menantang diri kita. Apa yang kita istiqamahkan semoga itu juga menjadi kebiasaan kita hingga akhir hayat kita,” katanya.
Ambak dan Ambyar
Masih dalam kesempatan yang sama, Ghofar Hadi menyebutkan diantara problem etos kerja yang masih sering dikesampingkan adalah masalah kedisiplinan.
Padahal, terang dia, Islam adalah agama yang menekankan pentingnya produktifitas dengan kedisiplinan sebagaimana tercermin dalam ritual ibadah dimana kita dituntun untuk tepat waktu, bersih, dan terencana.
“Sebagaimana dalam ibadah shalat jamaah lima waktu, kita harus melakukan perencanaan sebaik baiknya sehingga semua berjalan dengan baik dan optimal,” tegasnya.
Ghofar Hadi lantas menyajikan analogi untuk menelaah ‘istiqamah’ yang relevan dengan keseharian.
Dia mencontohkan, individu yang memiliki obsesi pada kegiatan tertentu maka ia akan menjalani aktifitas itu dengan penuh daya maksimal, disipilin, dan totalitas tinggi.
“Lihatlah orang yang hobi futsal. Walaupun kakinya mungkin keseleo, pekan depan pasti main lagi,” kata alumni STAIL Surabaya ini.
Dorongan semangat bermain futsal tersebut tumbuh kuat meski sedang cidera karena adanya kesadaran akan sesuatu yang dikerjakan tersebut, yang dalam istilah Ghofar Hadi, diistilahkan dengan “ambak” atau, “apa manfaatnya buat aku?”.
Seseorang yang mengerti dan sadar akan manfaat sesuatu atau ambak, maka ia akan menjalankan sesuatu itu dengan sepenuh hati, tanpa paksaan dan intervensi dari pihak manapun.
“Setiap hari kita sibuk untuk dunia, kita menikmati itu karena ambak, ada manfaat yang didapat,” seloroh lulusan Pondok Tengah/ Pesantren Hidayatut Thullab (PPHT) Trenggalek yang dikenal sebagai salah satu ponpes tertua di Tanah Air.
Demikianlah dalam kehidupan yang sementara ini, kata Ghofar Hadi, maka hendaknya kita memahami betul apa tujuan hidup dan mampu menangkap muatan muatan utama “ambak” dari setiap aktifitas ibadah yang dilakoni.
“Pengetahuan yang benar terhadap ibadah yang dijalani akan melahirkan kesungguhan, kedisiplinan, dan ibadah bukan lagi hanya sebagai kewajiban tapi kebutuhan,” terangnya.
Dia menegaskan, tidak paham tujuan hidup dan ketidaktahuan akan manfaat dari ritual ibadah dijalani adalah awal dari kesiasiaan yang pada akhirnya membuat hidup menjadi ambyar.
“Nggak ada ambak, maka ambyar. Jika kita menyelami ambak terhadap ibadah yang kita lakukan, insya Allah, kita akan terhantar menjadi biasa, istiqamah, dan akhirnya husnul khatimah,” ujarnya, menandaskan. (ybh/hidayatullah.or.id)