AdvertisementAdvertisement

Istighfar di Waktu Sahur, Menggapai Ampunan dan Kesucian Jiwa

Content Partner

AMALAN kedua pada pagi hari setelah shalat Tahajjud adalah istighfar terutama di waktu sahur. Sebenarnya beriringan waktu istighfar dengan shalat Tahajjud dan keduanya saling menyempurnakan.

Istighfar secara esensi sebagai bentuk pengakuan terhadap lemahnya diri hamba yang berlumur dosa untuk meminta ampun kepada Allah SWT. Ada rasa khawatir dan takut jika dosa tidak terampuni oleh Allah SWT.

Dalam hal ini, kuantitas istighfar sangat tergantung dengan kesadaran seorang hamba. Tentu semakin banyak semakin baik dengan iringan kesadaran dan keyakinan diri. Tidak perlu memperdebatkan jumlah istigfar yang lebih utama. Tapi bagaimana dosa terhapus, tertutupi atau terampuni.

Pada umumnya doa sebagian orang, dari masa anak-anak hingga umur dewasa atau tua senantiasa minta harta, materi, kekayaan, uang yang melimpah. Bukan salah doa tersebut tapi seharusnya bisa naik level dengan doa yang lebih berkelas yaitu doa minta ampunan atau istighfar. Ketika Allah sudah mengampuni dosa-dosa seorang hamba maka jaminan sukses dan kebahagiaan dunia akherat.

Mengapa Harus Istighfar?

Pada dasarnya manusia terlahir dalam kondisi suci tanpa dosa karena belum terbebani kewajiban dan larangan. Instrumen akal dan panca Indera masih bersifat alamiah dan kodrati.

Bayi juga tidak membawa dosa keturunan, meski ia terlahir dari kedua orang tua pendosa dengan cara berdosa. Karena bayi tidak bisa memilih lahir dari orang tua seperti apa dan siapa. Allah dengan iradah-Nya menentukan bayi akan lahir dari orang tua yang mana dan semuanya sudah ada ketentuan taqdir yang terbaik.

Namun demikian dalam perjalanan kehidupannya, setelah dewasa ternyata sebagian manusia yang bergelimang dosa. Mereka lalai melaksanakan kewajibannya dan terjerumus berbuat kemaksiatan dan kemusyrikan yang menjadi larangan Allah.

Bahkan Sebagian manusia malah menentang Allah sebagai Penciptanya. Menentang perintah-perintah Allah, tidak mengakui kekuasaan Allah dan merasa sombong dengan mengerjakan larangan-larangan Allah. Mereka membuat makar, konspirasi dengan mendustakan ayat-ayat Allah.

Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 4:

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata”

Ayat di atas, sangat menohok pesannya dan menjadi peringatan besar bagi orang-orang beriman untuk tidak lalai dari asal-usulnya. Meski ketika telah tumbuh besar menjadi penguasa, pengusaha atau orang besar harus tetap menyadari bahwa semua dari Allah dan akan kembali kepada Allah untuk diminta pertanggungjawabkan.

Allah juga menegaskan dalam salah satu ayat dari surat al-Qur’an yang pertama diturunkan yaitu al-‘Alaq:

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”

Ketika manusia menyadari bahwa dirinya hanyalah insan yang tercipta dari al-‘Alaq (air mani yang hina), terlahir di dunia tidak bisa apa-apa selain menangis. Panca indera belum berfungsi kecuali pendengarannya, maka seharusnya manusia secara naluri tumbuh ketaatan dan ketergantungan kepada Allah.

Manusia pada umumnya tidak maksum dari kesalahan dan dosa, kecuali Rasulullah SAW. Tabi’at manusia sebagai makhluq (diciptakan) yang secara internal dirinya tidak luput berbuat salah, khilaf, lupa, lalai dan pasti ada kekurangannya. Ada nafsu yang ada di dalam jiwa, senantiasa menghiasi dan mengajaknya kepada keburukan dan dosa.

Secara eksternal, ada syetan baik berupa jin ataupun manusia yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an sebagai musuh nyata bagi orang-orang beriman. Syetan sebagai musuh sejati tentu tidak ada kata berhenti untuk mengajak, menjebak, menjerat, menggoda dan menjerumuskan dengan sejuta jurusnya agar manusia mengikuti langkah-langkahnya sebagai penentang perintah Allah.

Syetan dalam menjalankan visi besarnya sangat professional, proposional, sistematis dan sabar dalam menggoda manusia. Dalam hal ini Allah bukan hanya memberikan informasi penting tapi juga memberikan perintah untuk tidak mengikuti syetan, salah satunya di Surat al-Baqarah ayat 168:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”

Menyadari kondisi tantangan manusia, baik internal jiwanya dan eksternalnya yang berpotensi besar berdosa. Maka istghfar menjadi satu kebutuhan mutlak bagi orang-orang beriman.

Secerdas apa pun seseorang takkan mampu mengetahui dan menghitung jumlah dosa yang telah ia perbuat dalam sehari, baik kecil maupun besar. Secanggih apapun kompeter sebagai alat modern yang ditemukan manusia, karena dimensi dosa bersifat lahir dan bathin. Maka tidak akan pernah bisa mendeteksi semua perbuatan dosa yang telah diperbuat manusia.

Tehnologi Artificial Intelligence (AI) tidak akan mampu mendeteksi dosa-dosa manusia. Mau memakai rumus algoritma ataupun rumus lain. Karena AI juga buatan manusia dan manusia ciptaan Allah.

Istighfar menjadi kunci solusi untuk menghapus dosa-dosa kepada Allah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Istighfar juga menjadi media komunikasi seorang hamba ke Allah untuk dzikir atau mengingat karunia.

Rasulullah saw saja yang terjaga dari perbuatan dosa dan kesalahan atau maksum masih istighfar 70 kali dalam sehari. Inilah kesadaran iman, istighfar menjadi kebutuhan atas keimanannya kepada Allah.

وعَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Demi Allâh aku sungguh beristighfar dan bertaubat kepada Allâh setiap harinya lebih dari tujuh puluh kali” [HR. Al-Bukhari]

Rasulullah menyebut: “lebih dari tujuh puluh kali” merupakan bentuk anjuran kepada umat Islam untuk bertaubat dan beristighfar. Sebaik-baiknya makhluk beristighfar dan bertaubat lebih dari tujuh puluh kali. Istighfar Rasulullah bukan dari sebab dosa tapi dari sebab keyakinan bahwa diri Rasulullah tidak sempurna dalam ibadah yang layak bagi Allah Azza wa Jalla.

Allah tidak memerlukan istighfar hamba-hamba-Nya, tidak ada kepentingan sedikit bagi Allah terhadap istighar manusia. Seandainya semua hamba beristighar ribuan kali setiap hari, tidak akan menambah sedikit kemuliaan Allah. Sebaliknya jika tidak ada satupun hamba yang beristighfar juga tidak akan mengurangi sedikitpun kemuliaan Allah.

Sebenarnya yang berkepentingan besar untuk istighfar adalah para hamba, terutama orang-orang beriman. Karena ada rasa khawatir dengan lumpur dosa yang mengotori jiwanya menjadi penghalang untuk bisa menghadap Allah Dzat Maha Suci.

Padahal kebahagiaan yang paling besar di akherat adalah bisa bertemu melihat Allah. Sebagaimana dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim).

Pada waktu sahur, ketika keheningan malam menyelimuti, istighfar menjadi lebih bermakna karena pada saat itu Allah mendekatkan diri kepada hamba-Nya, membuka pintu pengampunan dan rahmat-Nya.

Bukan sekadar amalan lisan, istighfar adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh pengakuan dan ketundukan. Dengan beristighfar, seorang hamba meraih kebahagiaan hakiki yang tak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Pesan dari Tabligh Akbar Hidayatullah Karo, Jaga Kerukunan dan Bentengi Akidah Umat

BRASTAGI (Hidayatullah.or.id) -- Pondok Pesantren Hidayatullah Karo selenggarakan Tabligh Akbar yang bertempat di Masjid Muhammad Cheng Hoo, Kecamatan Berastagi,...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img