
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Bidang (Kabid) Dakwah dan Pelayanan Umat (Dakwah Yanmat) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Drs. Nursyamsa Hadis, menyampaikan pandangan mengenai pentingnya positioning strategis Hidayatullah di tengah perubahan zaman terutama untuk menghadapi visi Indonesia Emas 2045.
“Kita sudah 80 tahun merdeka dan 2045 mendatang dicita-citakan menjadi Indonesia Emas, karenanya kini saatnya Hidayatullah semakin memberikan dampak yang lebih baik terhadap kemajuan bangsa,” kata Nursyamsa.
Hal itu disampaikan Nursyamsa saat sambutan membuka acara Bedah Buku “Manhaj Nabawi Merujuk Sistematika Wahyu” karya Ketua Umum DPP Hidayatullah Dr. H. Nashirul Haq, MA, di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Selasa, 8 Dzulqa’dah 1446 (6/5/2025).
Menurutnya, tantangan menuju visi tersebut merupakan panggilan bagi kader Hidayatullah untuk tidak sekadar menjadi penonton sejarah, melainkan aktor aktif dalam mewarnai perjalanan bangsa menuju puncak kejayaannya.
Ia menegaskan bahwa tantangan zaman modern ini menuntut perbaikan di seluruh sendi kehidupan. “Semua sektor masyarakat harus diupayakan menjadi lebih baik. Ini adalah dunia yang semakin modern,” lanjutnya.
Dia mengingatkan, dunia yang kini bergerak cepat dengan arus globalisasi dan disrupsi teknologi, menuntut umat Islam—khususnya kader Hidayatullah—untuk hadir membawa solusi, bukan sekadar nostalgia masa lalu.
Dalam mengurai narasi perubahan, Nursyamsa mengajak hadirin menyelami sejarah profetik sebagai sumber inspirasi gerakan.
“Simaklah sejarah para Nabi, sebagian Nabi diturunkan Tuhan untuk to initiate revolution karena memang kekuasaan sistem yang sedang berjalan saat itu sangat despotik; mempertahankan status quo dan jauh dari nilai-nilai keadilan. Maka seorang Nabi yang merupakan seorang intelektual hadir untuk menciptakan revolusi; perubahan sistem struktur kekuasaan,” jelasnya.
Di sini, ia ingin menegaskan bahwa gerakan dakwah bukan hanya bersifat ritual-spiritual semata, melainkan memuat misi besar perubahan sosial dan politik yang berakar pada nilai-nilai keadilan Ilahiah.
Namun, lanjutnya, perubahan tidak selalu bermakna revolusi frontal. Terkadang, seorang Nabi hadir di dalam sistem kekuasaan untuk menjadi inovator, bukan destruktor.
“Terkadang seorang Nabi hadir masuk dalam kekuasaan untuk memperbaiki dan memberikan inovasi yang menciptakan kreativitas,” tutur Nursyamsa.
Ia mencontohkan figur sentral Nabi Muhammad SAW dan Nabi Yusuf AS dalam dua model perubahan yang sama-sama strategis namun berbeda pendekatan.
Nabi Muhammad hadir untuk membuat revolusi dengan merubah struktur kekuasaan dan memperbaiki struktur sosial.
Sementara, Nabi Yusuf yang hadir mengarahkan kekuasaan yang ada pada saat itu untuk menciptakan sebuah sistem ekonomi, tata kelola keuangan dan perbendaharaan. Sehingga masyarakat bisa selamat dari paceklik, bisa makmur, bisa bahagia.
Lebih jauh, Nursyamsa memberikan refleksi seraya mengajukan tantangan intelektual yang serius bahwa kader harus menentukan posisi strategisnya dengan jalur inovatif yang mengoptimalkan potensi dalam sistem yang ada.
“Mungkin bedah buku ini dengan pisau analisinya Anregurutta Farid Saenong bisa membantu intelektual kader Hidayatullah dengan manhaj nabawi untuk menempatkan diri apakah sebagai seperti Nabi Muhammad SAW yang mengambil jalan revolusi ataukah menjadi Nabi Yusuf yang menempuh jalan sebagai inovator,” katanya.
Menutup sambutannya, Nursyamsa mengingatkan fondasi etis dalam gerakan dakwah dan perubahan sosial, dengan mengutip pandangan Dr. Farid yang menekankan prinsip maqasid al-shariah sebagai pedoman.
“Yang pasti, mengutip pandangan Dr Farid bahwa dalam Islam, prinsip maqasid al-shariah (tujuan syariah) menjadi pedoman penting, yang mencakup perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika ada ajakan yang melanggar lima prinsip ini, tinggalkanlah. Setelah itu, diskusikan dan pelajari bersama para tokoh agama,” pungkasnya.
Bedah buku dihadiri narasumber pembedah yauitu Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI KH. Farid F. Saenong, M.Sc., Ph.D., dan hadir pula penulis menyajikan point pont penting dalam buku tersebut.
Dalam materinya, Farid memberi sejumlah catatan penting terkait buku ini serta tidak menutup-nutupi adanya perbedaan pendekatan. Namun ia justru menekankan bahwa perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan.
Sementara itu, Nashirul memberi sanjungan, terimakasih, dan apresiasi yang tinggi atas kesediaan pembedah memberi sejumlah catatan tajam terhadap buku karyanya ini sebagai bahan telaah untuk penyempurnaan pada edisi berikutnya.*/