
DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Dewan Kemakmuran Masjid Ummul Quraa Pondok Pesantren Hidayatullah Depok menggelar Kajian Ramadhan Pekanan yang kali ini mengangkat tema “Ramadhan: Keadilan Sosial dan Kepemimpinan: Refleksi dari Al-Qur’an dan Sejarah Islam” dengan menghadirkan narasumber Anggota Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah Pusat Dr. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si, Ahad, 16 Ramadhan 1446 (16/3/2025).
Dr. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar membuka pemaparannya dengan menjelaskan kembali makna salam “Assalamualaikum Warahmatullahi wa Barakatuh” yang mengandung pesan keadilan, keselamatan, rahmah, dan keberkahan.
Beliau menjelaskan, keadilan adalah prinsip yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Islam, keadilan berarti memberikan hak kepada yang berhak dan tidak bertindak zalim kepada siapa pun.
Keadilan dibutuhkan di suatu negara akan tetapi untuk mencapai keadilan yang diinginkan tidaklah mudah. Tantangan ini, menurutnya, membutuhkan wadah yang jelas untuk menggali solusi dan menginspirasi tindakan nyata.
Lebih jauh, beliau menjelaskan dua maksud Allah SWT menempatkan manusia di dunia: “Manusia sebagai hamba Allah SWT” dan “Manusia sebagai khalifah.” Sebagai hamba, manusia memiliki dua dimensi utama: “Tauhid” dan “Ibadah.” Tauhid menjadi akar keyakinan, sementara ibadah adalah wujud pengabdian.
Namun, beliau menegaskan, peran manusia tak berhenti di ranah pribadi. Sebagai khalifah, manusia ditunjuk untuk memimpin dan mengelola bumi. Beliau menegaskan betapa pentingnya peran manusia sehingga Allah SWT, menunjuk manusia untuk menjadi pemimpin di bumi (khalifah fil ardh).
Beliau menyoroti tiga tema besar yaitu soal keadilan, soal kepemimpinan, tata cara dalam mengatur masyarakat. Keadilan menjadi benang merah yang mengikat semuanya. Beliau memberikan contoh konkret dalam dua ranah: ekonomi dan hukum.

Dalam ekonomi, riba adalah sumber dari kerusakan ekonomi dan juga kejahatan dalam ekonomi, jadi sudah sepatutnya kita menghilangkan kebiasaan riba, katanya. Riba, sebagai bentuk ketidakadilan, merusak tatanan sosial dan ekonomi.
Sebaliknya, infaq itu tidak harus memiliki banyak harta, akan tetapi kita rela mengeluarkan sebagian harta kita untuk orang lain, lanjutnya.
Ironisnya, beliau menyentil sikap modern dimana di zaman sekarang, jangankan infaq, tebar senyum saja masih ogah-ogahan, padahal itu adalah infaq yang paling rendah dasarnya.
Beliau menegaskan bahwa keadilan bukan monopoli umat Islam saja tapi untuk semua umat. Keadilan harus ada dimana saja, sebab prinsip keadilan dalam Islam bersifat universal, melampaui batas identitas, dan menjadi panggilan bagi setiap individu untuk berkontribusi pada tatanan yang lebih harmonis.
Ia lantas memberi contoh dengan mengangkat kisah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah kedelapan yang memerintah pada 717–720 M. Umar dianggap telah melakukan reformasi yang signifikan terhadap pemerintahan pusat Umayyah, dengan menjadikannya jauh lebih efisien dan egaliter.
Di bawah kepemimpinannya, 20 negara Arab makmur, ditopang oleh karakter mulia seorang Umar yang tidak ingin melihat orang lain susah, usaha yang kuat untuk mengubah masalah, dan rasa kasih sayang yang besar. Beliau menegaskan, sosok Umar bin Abdul Aziz menjadi cermin bahwa keadilan bukan utopia, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan dengan niat dan tindakan.
(Laporan naskah oleh Asawira Kusuma dan foto oleh Mercyvano Ihsan, santri kelas IX peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok)