SEBAGAIMANA kita ketahui, pergerakan atau organisasi keagamaan di Indonesia cukup beraneka ragam. Masing-masing ormas Islam tersebut memiliki ciri yang sangat khas dalam mewujudkan visi dan misinya.
Adapun yang menjadi landasan dasar bagi tiap-tiap organisasi tersebut adalah al-Qur’an dan Hadis. Diantara sekian banyak teks-teks al-Qur’an dan hadis, ada sekian teks yang paling diprioritaskan oleh masing-masing pergerakan, sehingga teks itu hidup dalam suatu organisasi.
Hidayatullah adalah sebuah gerakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang dawah dan pendidikan. Dan, yang menjadi spirit bagi Hidayatullah dalam mewujudkan visi dan misinya adalah al-Qur’an dan Hadis.
Salah satu hadis yang dijadikan spirit perjuangan Hidayatullah Oleh Ustadz Abdullah Said Rahimahullah, sebagimana yang dijelaskan oleh Ustaz Hasyim HS, adalah sabda Rasulullah yang bersumber dari Abdullah bin Salam yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad:
أيها الناس ، أفشوا السلام ، وصلوا الأرحام ، وأطعموا الطعام ، وصلوا بالليل والناس نيام ، تدخلوا الجنة بسلام.
“Rasulullah SAW bersabda: “Wahai sekalian manusia sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali silaturrahim, shalatlah diwaktu malam sedangkan manusia sedang tidur, kemudian masuklah Surga dengan selamat”
Hadis di atas menjadi spirit bagi Hidayatullah sejak awal berdirinya, dimana kandungan hadis tersebut terdiri dari empat perkara yang diimplementasikan oleh warga Hidayatullah yaitu: menyebarkan salam, memberi makan, menjalin hubungan silaturrahmi dan mengerjakan shalat malam.
1. Menyebarkan Salam
Menyebarkan salam merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan persaudaraan, persatuan dan dapat menumbuhkan rasa kasih sayang diantara sesama muslim.
Salam merupakan salah satu dari nama-nama Allah. Rasa saling mengasihi merupakan karunia dari Allah yang sangat besar yang dapat mendorong seseorang menjadi mukmin sejati.
Di Pesantren Hidayatullah penyebaran salam sudah menjadi tradisi sejak awal berdirinya pesantren. Setiap santri ketika berjumpa sesama temannya selalu diawali dengan ungkapan salam.
Ada seorang senior, Ust Ahmad Fitri, ketika awal masuk di pesantren ini, menurut dia yang paling terkesan baginya adalah ucapan salam. Karena setiap santri ketemu dengan temannya langsung mengucapkan salam. Tidak lama berjumpa lagi mengucapkan salam lagi, dan seterusnya seperti itu.
Sebagai tradisi lembaga, budaya salam ini harus selalu dijaga, jangan sampai lebur. Sebab terkadang didapati sebagian santri ketika berjumpa dengan teman atau gurunya, ucapan salam tidak menggema seperti dahulu kala.
Ketika budaya ini mulai luntur, muncul beberapa saran, baik dari pembimbing, pengurus, warga atau dari santri, agar budaya salam terus dijaga sebagaimana dahulu ketika pesantren ini berdiri.
2. Memberi Makan
Memberi makan termasuk salah satu perbuatan yang sangat terpuji. Memberi makan kepada orang lain merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan sifat kikir yang selalu menggorogoti jiwa seseorang. Perbuatan ini dihitung sebagai sedakah yang menuai pahala berlipat ganda.
Kebiasaan warga yang ada di Pesantern Hidayatullah, ketika memasak, entah berupa kue, gorengan, dan makanan, ia tidak segan untuk memberikan makanannya kepada tetangga terdekatnya.
Ada yang menarik lagi. Ketika tamu berkunjung ke pesantren, sebagian warga langsung mengajak ke rumahnya. Ketika sampai, tamu disambut dengan berbagai aneka minuman; mulai dari air putih dan teh, bahkan kopi Radix. Menu makanannya ada yang terdiri dari gorengan, pisang sanggar, singkong goreng, dlsb.
3. Menjalin Hubungan Silaturrahim
Menjalin hubungan silaturrahim merupakan akhlak yang terbaik. Di Pondok Pesantren Hidayatullah budaya silaturrahim terus dijaga. Salah satu budaya siturahim yang eksis hingga saat ini adalah Silaturrahim Nasional (Silatnas), yang diadakan setidaknya satu kali dalam lima tahun.
Acara Silatnas bertempat di Pesantren pusat Hidayatullah Balikpapan. Peserta silaturrahim terdiri dari pengurus, simpatisan dan warga Hidayatullah yang ada di daerah-daerah dari Sabang sampai Merauke.
Diantara tujuan dari silaturrahim tersebut adalah mempertajam garis komando kepemimpinan, supaya kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan di pesantren pusat (di masa Abdullah Said, sekarang kebijakan DPP) terlaksana dengan baik, mulai dari tingkat pusat, wilayah dan pesantren yang ada di daerah-daerah.
4. Shalat Malam
Salah satu ciri dari kader-kader Hidayatullah adalah shalat lail (tahajjud). Shalat sunnah yang sangat diupayakan agar tidak tanggal. Perhatian kepada shalat ini menghampiri perhatian kepada shalat fardhu.
Abdullah Said selalu menekankan bahwa sebagai seorang pejuang yang dipunggungnya ada beban berat yang menekan, shalat lail ini sangat terasa urgensinya. Ibadah ini sangat potensial mengantar diri kita dekat kepada Allah SWT.
Sering dianalogikan oleh Ustadz Abdullah Said, sebagaimana diceramahkan oleh ustadz senior, bahwa kalau kita melakukan shalat lail dengan baik, sama dengan menghadap Allah SWT di “kantor-Nya”.
Artinya, kita diterima secara khusus oleh Allah SWT, kita dapat berdialog dengan enak, mengajukan dan mengadukan segala problem yang kita tengah hadapi. Karena seolah-olah cuma kita berdua dengan Allah. Apalagi kalau doa kita diiringi dengan cucuran air mata yang menandakan kesungguhan kita berdoa. Akan muncul keyakinan bahwa Tuhan akan mengijabah doa kita.
Ustadz Abdul Qadir Abdullah, salah seorang pembimbing mengatakan, bahwa di awal perjuangan Hidayatullah, semua santri (tingakat MA) dan warga mengikuti shalat lail secara berjamaah mulai jam 12 hingga jam 04. Mereka tidak mengenal lelah dan kantuk.
Karena, kalau tidak mengikuti shalat lail berjamaah, kata Ustadz Abdul Qadir Abdullah, rasanya malu, apalagi sampai ketahuan oleh Ustadz Abdullah Said. Jadi meskipun kantuk mereka paksa untuk datang ke Masjid shalat lail berjamaah yang dipandu langsung oleh beliau.
Dalam pertengahan shalat itu ada sebagian santri yang kantuk. Saking ngantuknya ada sebagian santri tersungkur ketika ruku. Ustadz Qadir Abdullah menjelaskan: “Saya sendiri pernah tersungkur ketika rakaat kedua”. Dan ada juga sebagian santri, ketika sujud tidak bangkit-bangkit lagi, kerena sudah tertidur lelap.[]
________
*) KUSNADI ABU ULYA, penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan