Andaikan sebuah pertanyaan harus disampaikan, “Siapakah pemilik Indonesia?” maka semua pasti sepakat menjawab, “Rakyat.” Akan tetapi, mengapa dalam roda kehidupan berbangsa dan bernegara, pertentangan (katakan kebijakan untuk rakyat oleh pemerintah) kerap sering dihadirkan?
Tidak main-main, pemerintah dan masyarakat terutama di media sosial terlibat pertentangan sengit. Katakanlah isu tenaga kerja asing, pemindahan ibu kota baru, berikut sosok kontroversial yang diangkat sebagai pemegang kebijakan otorita ibu kota baru, bahkan yang paling konyol, perihal salam Pancasila.
Masyarakat atau rakyat sering merasa aspirasinya tidak diperhatikan. Pada saat yang sama pemerintah menegaskan bahwa setiap kebijakannya adalah untuk kebaikan rakyat. Cukup sulit dicerna, namun fakta itu terus menganga.
Di sini semua pihak mesti menyadari bahwa membangun bangsa dan negara ini, lebih-lebih merawat warisan Indonesia yang damai dan bersatu bukan perkara biasa. Pemerintah, sebagai pihak yang memegang amanah untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat, mesti benar-benar sadar dan membela hak-hak rakyat.
Logika ini, sebenarnya secara otomatis dapat mendorong pikiran para pemegang kebijakan mengorientasikan setiap kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.
Langkah ini hanya mungkin dilakukan, ketika pemerintah memang mau membuka telinga lebar-lebar, dan membuka hati seluas-luasnya, sehingga tidak phobia dengan kritik dan aspirasi rakyat.
Secara konkret, hal itu dibuktikan dengan keterbukaan pemerintah menerima masukan, bahkan memberi ruang keterlibatan rakyat dalam upaya bersama mewujudkan kemajuan bagi bangsa dan negara.
Dalam konteks ini, maka sejatinya jabatan dan kekayaan negara bukanlah hal yang patut diperebutkan, apalagi sampai saling sikut dengan sesama anak bangsa.
Akan tetapi, sebagai sebuah amanah, tanggung jawab, yang tak boleh maju melainkan yang merasakan derita rakyat sekaligus kokoh dalam kejujuran dalam mengemban kepemimpinan, dimana tidak ada kata terbaik selain meneladankan kebaikan.
Seperti penilaian seorang Natsir terhadap kawan dekatnya, Kasman Singodimejo. “Begitu bila satu kali Kasman sudah mengatakan, ‘Ya!’ Kasman tidak membiasakan diri hanya menganjurkan sesuatu kepada orang lain. Dia melaksanakan lebih dulu apa yang dia anjurkan. Begitulah Kasman.” (Buku Merawat Indonesia; Belajar dari Tokoh dan Peristiwa).
Dengan kata lain, pemerintah semestinya membuka diri terhadap beragam rencana dan kebijakan yang akan diambil, sebagai wujud bahwa tidak ada langkah akan diambil melainkan telah dipahami dan disetujui oleh rakyat. Pada saat yang sama, pemerintah mesti mampu menjadikan media sosial sebagai ruang aspirasi rakyat. Sehingga, kritik yang konstruktif dapat diambil sebagai penawar dari kelalaian pemerintahan yang selama ini berjalan.
Tetapi, mungkinkah itu terjadi kala kepemimpinan negeri ini tersandera oleh kepentingan kapital dan desakan pihak bermodal?
Saat itu terjadi, maka siapapun penguasa, presiden, atau apapun akan berhadapan dengan spirit sejarah yang amat penting di negeri ini, yakni spirit bangsa, bahasa, dan bertanah air satu, Indonesia. Jika kepentingan modal lebih dominan maka jelas, upaya merawat Indonesia dengan sendirinya akan hilang, sirna.
Saat merawat tak lagi menjadi komitmen, maka pertengkaran adalah keniscayaan. Ujaran, keadilan, hukum, dan ketertiban sosial akan terus terjadi, sehingga pemerintah tidak dipandang sebagai wakil rakyat. Sedangkan pemerintah tidak memandang rakyat melainkan sebagai hambatan kepentingan yang harus ditekan, dibungkam, dan dikendalikan.
Di sinilah, beragam kebijakan akan keluar yang semakin mengoyak persatuan rakyat dengan pemerintah yang secara formal dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Omnibus Law, agama musuh terbesar agama, hingga tenaga kerja asing, adalah wujud bahwa pemerintah telah kehilangan kemampuan menerima nasihat, kritik, dan seruan dari rakyat yang dipimpinnya sendiri. Alih-alih sadar, kini dikenal istilah buzzer yang diberikan peluang besar untuk melakukan beragam hal terkait informasi agar publik percaya dan mendukung pemerintah. Sebuah langkah yang sejatinya kian menjauhkan pemerintah dari sikap yang seharusnya.
Situasi akan semakin runyam kala sebagian dari penguasa, selain mengurus urusan publik, ternyata juga ikut bermain dalam bisnis atau perdagangan. Dalam pasal ke-40 Ibn Khaldun dalam Mukaddimah menuliskan, “Perdagangan yang dilakukan Sultan merugikan rakyat dan merusak pendapatan pajak.”
Lebih jauh Ibn Khaldun menerangkan, “Ketika suatu kerajaan (kini pemerintahan) hasil pajaknya menjadi berkurang karena hal-hal sebagaimana telah kami kemukakan, yaitu kemewahan, banyaknya tradisi, belanja-belanja, penghasilan tidak mencukupi dengan berbagai kebutuhan dan belanjanya dan perlu adanya tambahan harta dan pajak, maka kadangkala ditetapkanlah berbagai macam pajak atas transaksi-transaksi jual beli dan pasar-pasar rakyat.”
Sekalipun Ibn Khaldun hidup berabad-abad silam, penjelasannya itu seakan memandu kita semua untuk melihat lebih objektif, bagaimana belakangan ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan sedang agresif menetapkan cukai untuk minuman berpemanis saat menghadiri rapat dengan Komisi XI DPR (19/2).
Sebaliknya, terhadap mereka yang bukan rakyat biasa, pemerintah terkesan memanjakan. Seperti santer dalam pemberitaan Maret 2019, Kementerian Keuangan sempat menyatakan ke media bahwa tarif pajak penjualan barang mewan (PPnBM) atas kendaraan bermotor akan dikurangi tarif pajaknya. Alasannya semakin rendah emisi semakin rendah tarif pajak.
Masyarakat awam dengan mudah akan memberikan kesimpulan, kopi kena pajak, kendaraan bermotor, walau mahal harganya asal emisi rendah, tarif pajaknya dikurangi, berarti pemerintah lebih sayang kepada orang bermodal dibanding rakyatnya yang kesusahan. Jika pemerintah memang peduli dengan kesehatan masyarakat, bukankah solutif jika mendorong produsen minuman menghadirkan produk yang nihil pemanis atau sekaligus dilarang produksi makanan yang seperti itu, sehingga masyarakat tidak sakit apalagi sampai obesitas dan terserang diabetes.
Di sini, semua unsur mesti duduk bersama, jangan lagi ada yang merasa paling berkuasa, paling mengerti, sehingga masalah yang coba disolusikan ternyata tidak senafas dengan nilai Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat, yang biasa maupun yang kaya.
*Imam Nawawi (Ketua Umum Pemuda Hidayatullah)