Narasi pemuda ideal belakangan mulai kurang terdengar, seperti sebuah produk teknologi, seakan-akan idealisme adalah barang usang yang mesti ditinggalkan.
Pemuda sekarang senang dengan posisi prestise di dalam organisasi, lebih-lebih yang secara langsung memberikan keuntungan materi, duduk sebagai A, B, dan C. Pada mereka yang ada di posisi itu, banyak anak muda memandang bahwa itulah keberhasilan, itulah kesuksesan. Bisa jadi benar, itulah kesuksesan. Akan tetapi, benarkah itu keberhasilan ideal?
Jika posisi itu memberikan daya dorong terhadap kemajuan umat, rakyat, bangsa dan negara, maka insya Allah itu kebaikan besar yang memang harus diperoleh. Namun jika ternyata hanya berdampak pribadi, maka itu adalah hal yang mesti diwaspadai.
Menarik catatan Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi MA dalam artikelnya di Majalah Gontor Edisi Mei 2020 bahwa “..ada orang yang berbuat hanya untuk sekedar urusan perutnya. Mendirikan pesantren hanya untuk mencari pengaruh, wibawa, kekuasaan, atau rezeki. Orang seperti itu tak beda dengan burung yang kerjanya hanya mencari makan, kawin, dan punya anak.”
Dan, menurut Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor itu, tantangan terberat saat ini adalah perubahan pola berpikir.
“Perubahan zaman dan perubahan pola pikir kini menjadi ujian berat para kader pejuang ketika terjun ke dalam masyarakat kelak. Mereka harus berjuang keras melawan arus yang memang sudah keliru, bukan hanya membendungnya. Sudah kuat atau belum (idealisme) kita ini.”
Dalam kata lain, pemuda sekarang berhadapan dengan gelombang arus besar bernama materialisme yang telah merenggut kecerdasan banyak orang, ketulusan sebagian besar orang, bahkan telah membayar idealisme banyak sosok yang sebelumnya dikenal segabai penyeimbang dan berposisi melawan setiap kebijakan yang bertentangan dengan nurani lebih-lebih UUD 45.
Dasar Idealisme
Idealisme secara sederhana dapat dimaknai sebagai superioritas yang menjadikan seseorang tidak tunduk apalagi dijajah oleh siapapun, selain dari kebenaran yang divalidasi iman, akal sehat, dan tujuang besar bersama di dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan, andai idealisme itu ditawar, dibayar dengan kedudukan tinggi yang menggiurkan, sang pemuda idealis tak akan pernah mau menjualnya.
Namun apa yang mendasari idealisme itu sendiri?
Jika belajar pada Nabi Ibrahim, maka dasar idealisme itu adalah pemahaman mendalam tentang siapa Allah sebagai Tuhan semesta alam. Maka tidak heran jika sepak terjang Ibrahim adalah sangat luar biasa, lebih dari sekedar heroik, tapi benar-benar visioner. Menariknya, itu dilakukan hanya seorang diri.
Jika belajar pada Nabi Muhammad SAW idealisme itu adalah kemenangan dakwah, tegaknya Islam, dan selamatnya umat manusia dari menyembah berhala. Maka saat tawaran kedudukan dan kenikmatan wanita datang, beliau menyatakan bahwa andai matahari dan rembulan diberikan, beliau tidak akan pernah menanggalkan risalah Islam ini.
Jika dua makna sekaligus manivestasi dari idealisme ini diejawantahkan para pemuda saat ini, maka akan ada cahaya baru, harapan baru, bahkan perubahan baru. Sebab jika tidak, maka disadari atau tidak, negeri ini akan menuju kehancuran. Karena kaum muda hidup tanpa idealisme lagi. Mereka terseret arus yang mementingkan materialisme di atas apapun, bahkan di atas iman dan ukhuwah perjuangan.
Menariknya, Hidayatullah memiliki Manhaj Sistematika Wahyu dan GNH sebagai model manivestasi yang jika ini benar-benar hidup dalam diri, insya Allah idealisme itu masih bisa diselamatkan, masih ada tenaga besar untuk membuat semangat melawan arus. Namun, jika tidak, maka lenyaplah idealisme dalam diri. Hidup tidak lagi penting berpikir umat, apalagi sampai berjuang dan berkorban, mendiskusikannya pun sudah tidak lagi bersemangat.
Oleh karena itu, pesan bapak pimpinan dalam sarasehan pemuda di Pesantren Hidayatullah Depok, Pemuda itu harus punya idealisme yang amat sangat. Bahkan saking kuatnya itu idealisme, kata beliau dalam tausiyah Munas Pemuda Hidayatullah di Jakarta, tidur pun (kalau bisa) dalam kondisi berlari.
Langkah Strategis
Pertanyaannya kemudian apa langkah yang diperlukan untuk menjadi ideal. Menurut KH. Syukri Zarkasyi ada tiga. Pertama, insiatif. Kedua, memanfaatkan jaringan dengan baik. Ketiga, dapat dipercaya.
“Dan tiga hal ini juga menjadi unsur penting bagi keberhasilan perkembangan seseorang, lembaga, maupun pesantren. Karena itu, dalam menjalankan kehidupannya, seseorang hendaknya, Pertama, selalu banyak mengambil inisiatif, tidak pasif, tapi justru agresif. Ia harus mengambil langkah-langkah inisiatif untuk memajukan pesanteren, lembaga pendidikan, atau dirinya sendiri.
Ia juga harus progresif, dengan selalu berpikir ke depan. Itualah ciri manusia modern. Dengan begitu ia akan selalu dinamis, terus bergerak, dan menggerakkan kehidupan.”
Saya kemudian teringat ungkapan Ustadz Abdullah Said bahwa kader dai harusnya tidak melewati sedetik pun kecuali untuk kemajuan dakwah dan tarbiyah. Semoga, uraian sederhana ini dapat membantu segenap kader muda Hidayatullah menemukan alat ukur dan mengembangkannya agar idealisme di dalam dada dan pikirannya tidak diganti oleh materialisme. Allahu a’lam.
Imam Nawawi, Ketua Pemuda Hidayatullah