SUBHANALLAH ada begitu banyak tulisan bagus dalam rangka menyambut Rapat Kerja Wilayah Hidayatullah Sulawesi Selatan. Baru kemarin tulisan Ustadz Irfan Yahya disuguhkan dengan menarik. Hari-hari ini ada suguhan lain. Ada tulisan Ustadz Dr. Nasrullah Sappa, begitu pula tulisan ustadz dengan nama pena Cakdul.
Tulisan para ustadz tersebut berpijak pada paradigma khas masing-masing. Ustadz Irfan Yahya lebih berpijak pada nilai-nilai historitas dan kerangka teori sosiologis, Ustadz Dr. Nasrullah Sappa pada nilai-nilai historitas dengan sedikit komparasi dengan teoritisasi barat, sementara Cakdul pada dalil-dalil naqli. Betapa sesungguhnya ketiga pendekatan ini bisa saling melengkapi dan menguatkan.
Persoalan yang kemudian sering dihadapi di lapangan praktis adalah implementasi. Bagaimana pemikiran-pemikiran dari para pemikir dapat diekstrasi menjadi langkah-langkah implementasi praktis, kurang lebih demikian pertanyaannya. Tulisan ini berusaha memberikan sedikit masukan.
Jika memotret keilmuan Islam, satu sistematika ilmiah dapat ditemukan. Paling tidak dari pembukaan kitab fikih berjudul Al-Yaqut An-Nafis, ada sepuluh poin yang perlu dipenuhi agar sebuah cabang ilmu menjadi kokoh.
Kesepuluhnya sebagai berikut. Definisi, Topik, Manfaat, Pokok persoalan, Nama cabang ilmu, Sumber cabang ilmu, Hukum syara’ terhadap cabang ilmu, Penisbatan cabang ilmu kepada ilmu-ilmu lain, Keutamaan cabang ilmu, dan Pelopor/tokoh di cabang ilmu.
Dari kesepuluh poin ini dapat dipahami mengapa sebagian kitab karya ulama bisa berjilid-jilid. Rasanya sulit mencari orang yang bisa membacanya secara utuh, dari muqaddimah sampai khatimah. Sebagian besar pembaca membaca di bagian yang dibutuhkan saja.
Oleh karena itu lahirlah mukhtashar, kitab ringkasan. Ini ditujukan kepada kaum muslimin kebanyakan. Istilahnya awam atau muqallid.
Di sisi lain sebuah kitab kadang mengalami elaborasi. Wujudnya kitab syarh (penjelasan). Ada banyak kitab dari berbagai cabang ilmu yang di-syarh.
Kepentingan kitab syarh adalah menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh kitab induk. Cakupannya pada diksi, juga pada isi. Redaksinya diulas, kontennya dibahas. Luar biasa, masya Allah.
Sementara itu, jika memotret keilmuan barat, satu sistematika ilmiah dapat ditemukan. Bahwa sebuah teori harus menjalani tahap-tahap tertentu sebelum diimplementasi. Sehingga kemudian ada kekokohan yang baik atas teori tersebut. Usianya relatif panjang.
Tahapan-tahapan tersebut ada bukunya masing-masing. Sehingga pembaca bisa membaca sesuai kepentingannya. Disilakan juga seorang pembaca untuk membaca keseluruhannya.
Tahapan-tahapan yang dimaksud sebagai berikut. Filosofi, Teori dan eksperimen, Implementasi, dan Evaluasi
Akhir-akhir ini ditemukan penyederhanaan. Buku filosofi, teori, dan eksperimen cenderung disatukan. Kemungkinan besar karena kepentingan akademik. Agar para pengkaji bisa memiliki satu sumber untuk melakukan dua kajian sekaligus.
Nah, dua arus ilmiah tersebut memberikan gambaran betapa etos ilmiah diperlukan. Selain tekun, minimal dua karakteristik lain hadir, yakni komprehensivitas dan akuntabilitas.
Komprehensivitas berarti keutuhan penjelasan. Sang ilmuwan mampu menjelaskan secara utuh koneksi di internal cabang ilmu ataupun antarcabang ilmu. Sementara akuntabilitas mengarah kepada pertanggungjawaban yang bisa diterima banyak pihak. Tidak ada plagiasi, juga tidak ada kedustaan.
Etos ilmiah ini juga perlu hadir dalam ekstraksi pemikiran menjadi kebijakan, program, arah gerak, atau apapun istilahnya. Sehingga implementasi lebih mudah dilakukan, begitu pula pengembangannya. Problemnya tidak mudah mencari sosok sedemikian tekun, komprehensif, dan akuntabel.
Di sisi lain budaya instan menghambat lahirnya sosok ini. Runtutan bicara yang dimulai dari teoritisasi dianggap menggurui. Lingkungan lebih ingin langsung praktik, ada format administratifnya. Istilahnya sat set.
Padahal begitu banyak program dan pendekatan gagal dilaksanakan. Problemnya itu tadi, ketidaksabaran dalam mengekstraksi teori menuju implementasi. Lebih parah, sosok tekun nan akademis dihabisi karakternya. Dianggap tidak kompeten, hanya bisa bicara.
Inilah lingkaran setan yang dihadapi banyak komunitas semisal organisasi. Jika ini tidak segera disadari, kemungkinan besar nasib sebagai pengekor akan menimpa.
Nahasnya, jarak antara ekor dengan kepala semakin hari semakin jauh. Kebingungan semakin menjadi. Seperti semut hitam di malam hari, di tengah laut dengan ombak tinggi dan hujan lebat. Kegelapan di atas kegelapan. Na’udzubillah. Wallah a’lam.[]
*) Fu’ad Fahrudin, penulis alumni Leadership Training Hidayatullah Institute Batch 10