MENDIANG Steve Jobs, bos perusahaan teknologi multinasional Apple Inc, mengalami masa kuliah yang sulit dan tidak sukses. Hanya enam bulan bertahan di Reed College, sebelum akhirnya memilih drop out (DO). Salah satunya karena faktor biaya.
Namun, pada masa itu, ia sempat mengambil kelas kaligrafi, di mana ia mempelajari jenis-jenis huruf, membuat variasi spasi antar kombinasi kata, dan kiat membuat tipografi yang hebat.
Saat itu, ia sendiri tidak mengerti apa manfaat kaligrafi baginya. Tapi, sepuluh tahun kemudian, ketika mendesain komputernya yang pertama, Macintosh, semuanya baru kelihatan jelas.
Di Standford University, Steve Jobs menceritakan kisah tersebut dan berkata:
“Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak akan ada pula PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.”
Satu cerita lain, tentang William “Billy” Avery Bishop (1894-1956). Billy Bishop dibesarkan di Owen Sound, Ontario (Kanada), yang waktu itu diserang hama tupai. Ayahnya menawarkan 25 sen untuk setiap tupai yang ditembaknya, dan Billy mampu menjatuhkan tupai yang sedang berlari secara tepat dan telak.
Kepiawaian Billy ini sebenarnya tidak begitu menguntungkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan pada saat tinggal di Perancis bakatnya tersebut bahkan tidak mungkin dipergunakan. Ia bisa dipenjara karenanya.
Ketika masuk Royal Military College di Kingston, ia dianggap sebagai kadet terburuk yang pernah ada. Namun, dalam Perang Dunia I, ia menjadi pahlawan karena rekornya menembak jatuh 72 pesawat AU Jerman.
Sebagai pilot pesawat pemburu, penglihatan Billy yang tajam dan kemahirannya menembak obyek bergerak sangat berguna, meski keduanya tidak diakui di masa damai dan bahkan tidak bermanfaat (lihat: Why Things Go Wrong dan Encyclopaedia Britannica).
Ada banyak cerita lain yang serupa. Intinya, sesuatu yang pada mulanya dijalani sebagai hal biasa, bahkan diremehkan atau terpaksa, tiba-tiba menemukan momentum yang tepat pada suatu waktu dan kondisi berbeda.
Seperti kata Steve Jobs, pelakunya tidak mungkin menyadari kegunaannya seketika. Mereka baru bisa mengerti manfaatnya di masa depan, dalam rentang waktu yang cukup jauh dan tidak terjangkau prediksi manusiawi.
Pelajarilah Ilmu
Untuk itulah, dulu Ibnu Mas’ud pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Hendaknya kalian mempelajari ilmu sebelum ia dicabut, dan dicabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya para ahlinya. Hendaknya kalian mempelajari ilmu, sebab siapa pun dari kalian tentu tidak tahu kapan ia membutuhkannya — atau: membutuhkan kepada ilmu yang ada padanya. Hendaknya kalian mempelajari ilmu.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq, no. 20465).
Pada kenyataannya, perjalanan hidup kita tidak selalu mulus sesuai rencana. Banyak tokoh termasyhur yang latar belakang pendidikannya tidak berhubungan dengan profesinya saat ini. Tapi, masing-masing dari mereka mengakui bahwa pada suatu saat di masa lalu pernah mempelajari sesuatu yang sangat bermanfaat dan menjadi penopang utama kehidupannya sekarang.
Kadangkala, hal itu terjadi tanpa disengaja, terpaksa, dan tidak dipedulikan. Kini mereka tersenyum lega karena pernah melalui fase itu bertahun-tahun sebelumnya.
Jadi, hargailah kesempatan apa saja yang disodorkan oleh Allah saat ini. Kita tidak pernah tahu apa rencana-Nya di masa mendatang. Bukankah dalam sejarah hidup para Nabi pun kita mendengar cerita serupa?
Suatu saat, para Sahabat sedang memetik kabats, sejenis buah tin yang bisa dimakan manusia. Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Pilihlah yang hitam, karena itu yang paling enak.” Mereka bertanya, “Apakah Anda pernah menggembalakan kambing?” Beliau menjawab, “Adakah Nabi yang tidak pernah menggembalakannya?” (Riwayat Bukhari, dari Jabir).
Tampaknya, para Sahabat heran karena deskripsi secermat itu sulit diketahui orang yang tidak pernah menggembalakan kambing dan terpaksa memakan apa saja yang ditemuinya di semak-semak.
Tapi, yang lebih penting adalah manfaat menggembala itu setelah menjadi Nabi. Jelas tidak gampang menggembala puluhan sampai ratusan ekor kambing di tempat di mana rumput dan semak sangat sulit ditemukan. Ini bukan di Selandia Baru yang dipenuhi padang rumput, tapi di Jazirah Arab yang kering dan tandus.
Rasulullah sendiri sebenarnya menggembala karena terpaksa bekerja demi membantu pamannya, Abu Thalib. Beliau diupah beberapa qirath untuk pekerjaan itu (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah). Belakangan, keterampilan itu menjadi bekal penting saat memimpin umat yang terdiri dari beragam karakter, dan menuai sukses besar.
Nabi Musa juga menggembala karena terpaksa. Setelah kabur dari Mesir karena membunuh, beliau sampai di Madyan. Melewati serangkaian kisah, beliau akhirnya diambil menantu oleh Nabi Syu’aib.
Tapi, beliau pemuda pelarian yang melarat, sehingga diminta menggembala kambing selama 8 atau 10 tahun sebagai mahar bagi istrinya. Keterpaksaan ini berbuah di kemudian hari, ketika beliau memimpin Bani Israil yang terkenal keras kepala itu. Kita bisa membaca kisah selengkapnya dalam surah al-Qashash.
Maka, pelajarilah apa saja hari ini. Jangan membuang kesempatan dan meremehkan ilmu. Sungguh kita tidak pernah tahu kapan membutuhkannya, atau kapan ilmu itu dibutuhkan orang banyak. Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, pengasuh di Yayasan Pendidikan Ar Rohmah Hidayatullah Batu Malang, Jawa Timur