Jika diibaratkan sinar matahari, pemuda adalah masa di mana sinarnya benar-benar menyengat bahkan membakar, bisa dikatakan pukul 10.00 hingga pukul 14.00 adalah masa dimana sinar mentari benar-benar terasa dan bermanfaat besar bagi kehidupan umat manusia. Itulah masa pemuda, yang seharusnya mendorong jiwa dan cara berpikir mereka menjadi pemenang bukan pecundang.
Kala kita hubungkan dengan kehidupan sehari-hari, menjemur pakaian, padi, atau apapun yang butuh sinar kuat di luar jam 10.00 – 14.00 adalah kerugian, karena sinar mentari sudah melewati masa terkuatnya.
Oleh karena itu patut kita merenugnkan dengan mendalam apa yang Imam Syafi’i uraikan dalam bentuk syair.
“Barangsiapa tidak merasakan pahitnya belajar walau hanya sekejap maka ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang terlambat menuntut ilmu pada masa mudanya, takbirlah empat kali atas kematiannya. Pemuda sejati, demi Allah sesuai kadar ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam diri seorang pemuda maka tiada nilai dalam dirinya.”
Demikianlah pemuda sejatinya, ia momentum, ia kesempatan, ia keunggulan, yang jika tidak disadari hanya akan menjadi beban hidup dan beban masa depan. Padahal, saat ini kita tidak saja diminta sadar sekedar sebagai pemuda, tetapi lebih dari itu, yakni pemuda pembangkit peradaban.
Pembangkit artinya orang yang membangunkan sesuatu bisa berdiri tegak, berjalan, dan berfungsi. Dalam konteks peralatan, pembangkit bisa berupa alat yang menjadikan rangkaian sistem hidup dan berjalan dengan baik, seperti pembangkit listrik dan lain sebagainya. Artinya, kita harus bisa menjadi pemuda yang membangkitkan peradaban.
Belajar dari Al-Fatih
Satu di antara indah dan sempurnanya ajaran Islam adalah selalu ada figur yang bisa kita teladani. Sebuah realitas ajaran yang tidak dimiliki oleh agama lain atau pun isme-isme di dunia. Rata-rata ada idealita dan pemikiran, namun tidak jelas harus merujuk kepada siapa. Islam tidak, semua yang diajarkan ada figur yang bisa diteladani. Dalam konteks pemuda pembangkit peradaban kita bisa belajar kepada Muhammad Al-Fatih yang kemenangannya tetap dirasakan kuat oleh umat Islam setiap 29 Mei.
Ternyata, setelah rangkaian sejarah dan persiapan futuhat Konstantinopel, terbukalah rahasia keberhasilan Al-Fatih mampu menjadi sosok pembangkit kemenangan peradaban Islam. Kala itu, penaklukkan telah tuntas, tiba waktunya untuk sholat berjama’ah. Maka Al-Fatih meminta sang guru menjadi imam, namun ia menolak. Hingga akhirnya diumumkan, sebuah kriteria penting untuk bisa menjadi imam sholat.
Berserulah Al-Fatih, “Siapakah di antara kalian yang dari sejak usia baligh tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu?” Semua tentara berdiri. Pertanyaan selanjutnya, “Siapakah di antara kalian yang sejak baligh tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu berikut sunnah-sunnahnya?” Hanya separuh yang berdiri. Pertanyaan terakhir, “Siapakah di antara kalian yang sejak usia akil balig tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu beserta sunnahnya seta shalat malam?”
Tidak ada yang berdiri kecuali Muhammad Al-Fatih. Akhirnya dialah yang menjadi imam shalat.
Riwayat ini mungkin masih sulit dicerna oleh sebagian pemuda, bagaimana hal itu berpengaruh dalam sebuah kemenangan besar. Sistem penjelas mengenai hal ini dijabarkan oleh Adian Husaini dalam bukunya Hegemoni Kirsten Barat dalam Studi Islam pada bahasan bagaimana pengaruh ilmu dan peran Imam Al-Ghazali dalam kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Baitul Maqdis.
Sebuah hadits menyebutkan bahwa jika sholat beres, maka kelak hisab di hadapan Allah akan mudah. Ternyata ini juga berlaku dalam kehidupan saat ini, dimana tidak mungkin seorang pemuda bisa menjadi pembangkit kebaikan jika sholatnya buruk, apalagi tidak sholat. Sedangkan saat ini, kita tidak tahu apakah para pemimpin yang ada di negeri ini benar-benar menjaga sholatnya. Artinya, sederhana sekali kalau kita ingin menjadi pemuda pembangkit peradaban, perhatikan sholat kita.
Saat sholat tidak menjadi perhatian, maka soal lain akan luput pula. Akibatnya sering salah kaprah di dalam hampir semua konsep hidup. Mulai dari waktu, kedisiplinan, hingga ibadah dan produktivitas. Al-Fatih bisa itu semua bukan ujug-ujug, tapi karena kedekatannya dengan ulama rabbani.
Dr. Ahmad Shalabi dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menjelaskan bahwa semua itu diraih dari pendidikan sejak kecil.
“Sejak kanak-kanak Muhammad Al-Fatih sudah dididik oleh ulama-ulama Rabbani. Misalnya Ahmad bin Ismail Al-Kurani, sosok ulama yang sholeh dan takwa. Dia adalah pembimbingnya di masa kekuasaan ayahnya, Sultan Murad II. Saat itu Muhammd ditunjuk untuk menjadi penguasa di wilayah Magnesia.
Dengan demikian dua kunci kita temukan, pertama adalah kedekatan diri dengan ulama rabbani, kedua menjalankan prinsip dasar agama sesuai sistematikanya, dalam hal ini adalah penekanan kedisiplinan, kesungguhan, dan komitmen di dalam mendirikan sholat. Jika ada pemuda ingin menjadi sosok pembangkit, maka dua hal harus jadi nafasnya, yakni sholat dan duduk berlama-lama bersama ulama yang Rabbani.
Spirit Ustadz Abdullah Said
Sisi yang menjadikan para Pemuda Hidayatullah beruntung adalah karena sosok pendiri, Allahuyarham Ustadz Abdullah Said mampu menjadi peraga spirit serupa. Beliau malah berpesan sangat tegas kepada kita semua.
“Umat Islam harus aktif mengambil prakarsa pada setiap perubahan menuju perbaikan nasib.” (Kuliah Syahadat halaman: 84).
Perbaikan nasib, tentu saja tidak dalam konteks miskin atau kaya, tetapi lebih jauh adalah superioritas peradaban dan tegaknya keindahan nilai Islam itu sendiri. Oleh karena itu narasi Ustadz Abdullah Said sederhana namun mendasar, yakni bagaimana menampilkan keindahan Islam ini. Sebuah ungkapan yang tak mungkin lahir melainkan dari panjangnya perenungan dan kiprah dalam dakwah membangkitkan kesadaran umat untuk sama-sama menegakkan peradaban.
Kini, pemuda itu adalah kita. Bersiaplah menjadi pemuda pembangkit, jika tidak sampai pada tegaknya peradaban, setidaknya mampu menjadi pembangkit lahirnya generasi yang bervisi peradaban. Jadikan ini spirit, kesadaran, bahkan nafas kehidupan kita semua.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah