
DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Ketua Departemen Sumberdaya Insani Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Dr. Muhammad Arfan AU, S.Si, M.Pd, menegaskan bahwa puasa merupakan instrumen langsung dari Allah untuk mengendalikan hawa nafsu manusia.
Ibadah ini menurutnya diberikan tempo istimewa selama bulan suci Ramadhan agar umat Islam dapat menunjukkan eksistensinya secara universal.
Sejak diperintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, puasa telah menjadi jati diri umat Islam dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, terdapat perbedaan mencolok antara praktik puasa di zaman Nabi ﷺ dengan generasi masa kini, terutama yang dikenal sebagai Generasi Z.
Arfan membuka kajian dengan mengklasifikasikan berbagai generasi, mulai dari Generasi Tradisionalis (1922-1945), Baby Boomers (1946-1964), Generasi X (1965-1980), Generasi Y (1981-1996), Generasi Z (1997-2012), hingga Generasi Alpha (2013-sekarang).
Istilah pembagian generasi ini sendiri mulai dikenal luas melalui buku Generation X: Tales for an Accelerated Culture karya Douglas Coupland, yang menggambarkan kehidupan Generasi X sebagai generasi yang merasa hampa dan termarginalkan.
Salah satu perbedaan mendasar yang disoroti oleh Dr. Muhammad Arfan adalah cara berbuka puasa dimana hal ini mencerminkan bagaimana puasa yang seharusnya menjadi latihan pengendalian diri justru berubah menjadi ajang konsumsi berlebihan.
“Saat zaman Nabi, beliau hanya berbuka dengan tiga butir kurma, sedangkan kita saat ini semua makanan dibabat habis,” katanya dalam Kajian Ramadhan 1446 di Masjid Ummul Quraa Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat, bertajuk “Puasa Era Nabi vs Puasa Gen Z”, Sabtu, 8 Ramadhan 1446 (8/3/2025).
Selain aspek ibadah, Dr. Muhammad Arfan juga mengangkat isu krusial lainnya: mentalitas Gen Z. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat pengangguran tertinggi, mencapai 9,9 juta jiwa atau sekitar 50% dari total pengangguran terbuka di Indonesia.
“Mayoritas dari mereka adalah lulusan SMK yang kesulitan mendapatkan pekerjaan,” katanya.
Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran mental Gen Z adalah era digital native yang membuat mereka terlalu bergantung pada teknologi. “Era digital native juga berdampak pesat terhadap kemunduran mental yang dialami Gen Z,” jelasnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Arfan menekankan pentingnya counter budaya berbasis Islam melalui renovasi lingkungan agar menjadi lebih islami.
“Penanaman nilai melalui lingkungan, baik secara fisik maupun komunitas, sangat penting karena lingkungan berpengaruh besar pada jalan hidup manusia,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Lingkungan akan melahirkan culture, culture akan melahirkan pemahaman, pemahaman berasal dari aksi yang diislamisasi.”

Membangun Mentalitas Unggul Melalui Literasi
Selain lingkungan, literasi juga menjadi aspek penting dalam membangun counter budaya. Dr. Muhammad Arfan menegaskan bahwa umat Islam harus memiliki kemauan serta kemampuan untuk menulis agar tidak sekadar menjadi konsumen di era digital.
“Merupakan sunatullah siapa yang pandai menulis maka pikirannya akan melampaui zamannya,” tuturnya.
Ia juga mengkritisi bagaimana Gen Z sering kali terkontaminasi oleh era digital, sehingga tidak memiliki keterampilan menulis yang baik. “Gen Z tidak pandai menulis dikarenakan terkontaminasi dengan era digital native,” tambahnya.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa bangsa Barat, meskipun mayoritasnya non-Muslim, tetap mengakses ayat-ayat Al-Qur’an untuk memperoleh kemajuan.
“Mereka maju dikarenakan mengikuti firman Allah, Iqra’ (bacalah). Siapa yang meneliti dengan serius maka akan mendatangkan hasil besar, tanpa memandang status agama,” jelasnya.
Sayangnya, umat Islam sendiri justru kurang mengkritisi dan mendalami Al-Qur’an secara mendalam. “Kita diberikan Al-Qur’an, kita dapat menemukan kebenaran, tetapi tidak mampu mengkritisi kebenaran tersebut secara mendalam,” tegasnya.
Setelah sesi penyampaian materi selesai, sesi tanya jawab dibuka dengan dua pertanyaan dari jamaah. Pertanyaan pertama mengenai cara pembinaan yang tepat bagi Gen Z, sedangkan pertanyaan kedua tentang langkah yang harus diambil jika hasil yang diharapkan tidak sesuai.
Menjawab pertanyaan tersebut, Arfan kembali menegaskan bahwa lingkungan yang islami adalah kunci utama pembinaan. Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya ketekunan dan evaluasi dalam mencapai cita-cita.
“Ketika memasang target dalam menyongsong cita-cita, haruslah bersungguh-sungguh disertai evaluasi mendalam,” ujarnya, seraya menegaskan umat Islam harus kembali kepada nilai-nilai fundamental, menguatkan lingkungan yang islami, dan mengembangkan kemampuan literasi untuk menghadapi tantangan zaman.[]
(Laporan naskah oleh Faisal Daariy dan foto oleh Mercyvano Ihsan, santri kelas IX peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok)